Apakah sebenarnya zona nyaman itu? Pada apa dan seberapa luas, dalam, atau tinggikah zona nyamanmu? Pada tingkatan apa zona nyaman itu bermanfaat atau, sebaliknya, membuat kita tidak produktif?
Pertanyaan ini muncul Minggu malam (6 Juni 2010), ketika aku berada di stasiun kereta di Borgo San Lorenzo, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 25 km dari Florence, dalam perjalanan pulang ke Florence setelah kami menghabiskan sore hari dan senja di kota itu. Stasiun ini kecil, tapi lalu lintas penumpang lumayan ramai jika dibandingkan dengan ukuran fisiknya. Kami tiba di stasiun 45 menit sebelum jadwal kereta tiba, sengaja untuk singgah di bar dan mengajak Kaila mengenal lebih jauh tentang stasiun kecil ini.
Ketidaknyamananku bermula ketika seorang remaja masuk ke dalam bar, berjalan limbung, dengan sebotol bir di tangannya. Sementara itu, Kaila sibuk meminta es krim, yang sebenarnya dia baru saja memakannya setengah jam sebelumnya yang kami beli di toko spesialis es krim. Perhatianku mulai terpecah, antara menjelaskan kepada Kaila bahwa dia tidak bisa memakan es krim lagi dan memperhatikan remaja mabuk tadi. Berjaga-jaga, lebih tepatnya, sebab Si Pemuda ini berjalan ke arah kami. Meski ada seorang pramusaji sedang berdiri di dekat kami, yang aku percaya dia akan membantu jika Si Pemuda berulah, tetap saja aku merasa tidak aman. Terlebih ada Kaila bersamaku.
Akhirnya kami berhasil keluar dari bar, duduk bersama Luca di kursi di depan bar. Setelah menghabiskan minuman ringannya, Luca mengajak Kaila ke bagian selasar stasiun untuk melihat sebuah kereta yang sedang diparkir di sana. Tinggallah aku dan kereta dorong Kaila, sambil sesekali melongok ke dalam bar, memperhatikan Si Pemuda. Melihat gelagat dia akan berjalan keluar, segera aku mengambil tas punggung, berjalan menuju Luca dan Kaila sambil mendorong kereta Kaila. Bahkan tanpa Kaila di dekatku pun aku merasa tidak aman.
Di ruang tunggu belum banyak orang. Hanya ada sekelompok lelaki yang ribut karena mereka kurang paham dengan jadwal kereta yang harus mereka naiki. Sekitar 10 meter dari mereka, kulihat seorang lelaki sedang berkemas. Dia berpakaian lusuh (kalau tidak dikatakan kumuh) dengan sebuah tas besar yang diletakkan di sebuah kereta dorong; khas gaya orang yang tidak punya rumah seperti yang banyak aku lihat di Roma. Tahun lalu, ketika aku ke Roma, aku melihat beberapa orang tak berumah yang melengkapi dirinya dengan kereta dorong belanja--seperti yang ada di supermarket--untuk menyimpan barang-barang mereka. Macam itulah yang aku lihat malam itu di stasiun Borgo San Lorenzo, hanya saja keretanya lebih kecil.
Luca masih mengajak Kaila berkeliling, menjelaskan ini-itu, mengajaknya bercanda, sementara aku sibuk dengan rasa cemasku. Ya, rasa cemas! Sudah lama aku tak merasakan sensasi ini di ruang publik. Saat Luca dan Kaila menjauh dariku, maka aku akan segera menyusul mereka, atau berpindah ke ruang tunggu bagian dalam di mana lampu menyala terang dan ada satu keluarga dengan empat anak mereka. Ah, aku lumayan merasa aman di sini.
Tak berapa lama, masuklah Si Lelaki Berkereta ke ruang tunggu bagian dalam. Dia bertanya sesuatu kepada si Bapak Beranak Empat yang kemudian dijawab dengan agak kasar, "Saya tidak tahu!" Si Lelaki Berkereta kembali mengulang pertanyaannya dan kembali dijawab dengan kasar, "Tinggalkan kami sendiri!" Si Lelaki Berkereta pun meradang. Dia keluar dari ruang tunggu dengan mengomel dan menunjuk-nunjuk kepada Si Bapak Beranak Empat. Kulihat dia menuju bangku di mana dia tidur sebelumnya, mengemas barang-barangnya dan memasukkannya ke keretanya. Dia masih saja mengomel, mengata-ngatai Si Bapak Beranak Empat, bahkan menyinggung betapa orang Italia tidak lagi bermoral, dan masih banyak umpatan lainnya.
Maka aku pun kembali mencari Luca dan Kaila. Kami menjauh dari keriuhan, mulai membicarakan (atau mendiskusikan, seriusnya) situasi ini. Aku memunculkan tentang sensasi "tidak aman" yang aku rasakan. Dari sudut pandang lain, aku mengatakan, "Ehm ... aku terlalu nyaman di 'zona nyaman'-ku." Ya, zona nyaman. Pertanyaan lebih jauhnya, zona nyaman yang mana?
Merujuk pada Wikipedia, zona nyaman didefinisikan sebagai "..the set of environments and behaviours with which somebody is comfortable, without creating a sense of risk". Bisa jadi selama ini aku dimanjakan oleh pekerjaanku yang memfasilitasi perjalanan-perjalanan dengan fasilitas "mewah": pesawat terbang, kereta eksklusif, mobil sewaan pribadi, hotel berbintang, rumah tamu (baca: guesthouse); yang membuatku kurang mengakses ruang publik "yang sebenarnya".
Malam itu juga alarm di kepalaku berbunyi. Jika dugaanku itu benar, bahwa selama ini aku termanjakan oleh pekerjaan atau dukungan lainnya, maka aku harus keluar dari kemanjaan itu, dari zona nyaman itu. Pada situasi tertentu, memang zona nyaman adalah menyenangkan, menenangkan. Akan tetapi, ketika zona nyaman ini berubah menjadi sebuah kubus yang melenakanku, maka sudah saatnya aku harus keluar darinya. Hidup tak akan berwarna tanpa resiko, bagiku. Mungkin karena pandangan ini aku jadi sering melakukan hal-hal yang beresiko, bahkan kadang berlebihan mungkin.
Kembali ke soal "zona nyaman". Aku tidak akan bicara tentang apa yang sebaiknya dilakukan setiap orang dengan zona nyamannya, karena setiap orang adalah unik, maka--diharapkan--mereka lah yang paham dengan zona mereka. Aku termasuk orang yang kurang menikmati zona nyaman dalam waktu lama. Aku lebih suka keluar dari zona nyaman, ketika dia sudah cukup membantuku menenangkan diri dan mengenali diriku. Memang membutuhkan kerja keras untuk keluar dari zona nyaman ini. Keluar dari zona nyaman berarti bertemu dengan orang, karakter, dan hal-hal baru lainnya, yang membutuhkan kerja keras untuk mengenali, mempelajari, mencernanya, dan mengambil sikap atas hal-hal baru tersebut. Kadang melelahkan memang. Tapi manfaatnya, aku merasa semakin kaya dengan pengalaman dan pengetahuan. Kalau dalam bahasa para tokoh agama, "Mereka yang mampu melalui setiap ujian dalam hidup adalah mereka yang akan naik kelas, akan ditinggikan derajatnya di mata Tuhan," kalau aku mau menyebut pertemuan dengan hal-hal baru ini sebagai sebuah ujian.
Nah, apakah kita (termasuk aku) mengenali betul zona nyaman kita dan memahami bagaimana kita akan menyikapinya? Kita bisa saling belajar, tapi keputusan sikap mana yang akan kita ambil, kembali pada kita tentunya.
*Dari ini pula aku mulai merajut ide-ide untuk keluar dari zona nyamanku ini. Mungkin backpacker trip bisa menjadi ide menarik untuk membawaku kembali turun ke bumi (alah, KLA banget). Dan mungkin sebenarnya mencoba menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya juga bisa menjadi bentuk treatment yang menantang untukku. Ya, ibu rumah tangga. Siapa tahu? ;)
Pertanyaan ini muncul Minggu malam (6 Juni 2010), ketika aku berada di stasiun kereta di Borgo San Lorenzo, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 25 km dari Florence, dalam perjalanan pulang ke Florence setelah kami menghabiskan sore hari dan senja di kota itu. Stasiun ini kecil, tapi lalu lintas penumpang lumayan ramai jika dibandingkan dengan ukuran fisiknya. Kami tiba di stasiun 45 menit sebelum jadwal kereta tiba, sengaja untuk singgah di bar dan mengajak Kaila mengenal lebih jauh tentang stasiun kecil ini.
Ketidaknyamananku bermula ketika seorang remaja masuk ke dalam bar, berjalan limbung, dengan sebotol bir di tangannya. Sementara itu, Kaila sibuk meminta es krim, yang sebenarnya dia baru saja memakannya setengah jam sebelumnya yang kami beli di toko spesialis es krim. Perhatianku mulai terpecah, antara menjelaskan kepada Kaila bahwa dia tidak bisa memakan es krim lagi dan memperhatikan remaja mabuk tadi. Berjaga-jaga, lebih tepatnya, sebab Si Pemuda ini berjalan ke arah kami. Meski ada seorang pramusaji sedang berdiri di dekat kami, yang aku percaya dia akan membantu jika Si Pemuda berulah, tetap saja aku merasa tidak aman. Terlebih ada Kaila bersamaku.
Akhirnya kami berhasil keluar dari bar, duduk bersama Luca di kursi di depan bar. Setelah menghabiskan minuman ringannya, Luca mengajak Kaila ke bagian selasar stasiun untuk melihat sebuah kereta yang sedang diparkir di sana. Tinggallah aku dan kereta dorong Kaila, sambil sesekali melongok ke dalam bar, memperhatikan Si Pemuda. Melihat gelagat dia akan berjalan keluar, segera aku mengambil tas punggung, berjalan menuju Luca dan Kaila sambil mendorong kereta Kaila. Bahkan tanpa Kaila di dekatku pun aku merasa tidak aman.
Di ruang tunggu belum banyak orang. Hanya ada sekelompok lelaki yang ribut karena mereka kurang paham dengan jadwal kereta yang harus mereka naiki. Sekitar 10 meter dari mereka, kulihat seorang lelaki sedang berkemas. Dia berpakaian lusuh (kalau tidak dikatakan kumuh) dengan sebuah tas besar yang diletakkan di sebuah kereta dorong; khas gaya orang yang tidak punya rumah seperti yang banyak aku lihat di Roma. Tahun lalu, ketika aku ke Roma, aku melihat beberapa orang tak berumah yang melengkapi dirinya dengan kereta dorong belanja--seperti yang ada di supermarket--untuk menyimpan barang-barang mereka. Macam itulah yang aku lihat malam itu di stasiun Borgo San Lorenzo, hanya saja keretanya lebih kecil.
Luca masih mengajak Kaila berkeliling, menjelaskan ini-itu, mengajaknya bercanda, sementara aku sibuk dengan rasa cemasku. Ya, rasa cemas! Sudah lama aku tak merasakan sensasi ini di ruang publik. Saat Luca dan Kaila menjauh dariku, maka aku akan segera menyusul mereka, atau berpindah ke ruang tunggu bagian dalam di mana lampu menyala terang dan ada satu keluarga dengan empat anak mereka. Ah, aku lumayan merasa aman di sini.
Tak berapa lama, masuklah Si Lelaki Berkereta ke ruang tunggu bagian dalam. Dia bertanya sesuatu kepada si Bapak Beranak Empat yang kemudian dijawab dengan agak kasar, "Saya tidak tahu!" Si Lelaki Berkereta kembali mengulang pertanyaannya dan kembali dijawab dengan kasar, "Tinggalkan kami sendiri!" Si Lelaki Berkereta pun meradang. Dia keluar dari ruang tunggu dengan mengomel dan menunjuk-nunjuk kepada Si Bapak Beranak Empat. Kulihat dia menuju bangku di mana dia tidur sebelumnya, mengemas barang-barangnya dan memasukkannya ke keretanya. Dia masih saja mengomel, mengata-ngatai Si Bapak Beranak Empat, bahkan menyinggung betapa orang Italia tidak lagi bermoral, dan masih banyak umpatan lainnya.
Maka aku pun kembali mencari Luca dan Kaila. Kami menjauh dari keriuhan, mulai membicarakan (atau mendiskusikan, seriusnya) situasi ini. Aku memunculkan tentang sensasi "tidak aman" yang aku rasakan. Dari sudut pandang lain, aku mengatakan, "Ehm ... aku terlalu nyaman di 'zona nyaman'-ku." Ya, zona nyaman. Pertanyaan lebih jauhnya, zona nyaman yang mana?
Merujuk pada Wikipedia, zona nyaman didefinisikan sebagai "..the set of environments and behaviours with which somebody is comfortable, without creating a sense of risk". Bisa jadi selama ini aku dimanjakan oleh pekerjaanku yang memfasilitasi perjalanan-perjalanan dengan fasilitas "mewah": pesawat terbang, kereta eksklusif, mobil sewaan pribadi, hotel berbintang, rumah tamu (baca: guesthouse); yang membuatku kurang mengakses ruang publik "yang sebenarnya".
Malam itu juga alarm di kepalaku berbunyi. Jika dugaanku itu benar, bahwa selama ini aku termanjakan oleh pekerjaan atau dukungan lainnya, maka aku harus keluar dari kemanjaan itu, dari zona nyaman itu. Pada situasi tertentu, memang zona nyaman adalah menyenangkan, menenangkan. Akan tetapi, ketika zona nyaman ini berubah menjadi sebuah kubus yang melenakanku, maka sudah saatnya aku harus keluar darinya. Hidup tak akan berwarna tanpa resiko, bagiku. Mungkin karena pandangan ini aku jadi sering melakukan hal-hal yang beresiko, bahkan kadang berlebihan mungkin.
Kembali ke soal "zona nyaman". Aku tidak akan bicara tentang apa yang sebaiknya dilakukan setiap orang dengan zona nyamannya, karena setiap orang adalah unik, maka--diharapkan--mereka lah yang paham dengan zona mereka. Aku termasuk orang yang kurang menikmati zona nyaman dalam waktu lama. Aku lebih suka keluar dari zona nyaman, ketika dia sudah cukup membantuku menenangkan diri dan mengenali diriku. Memang membutuhkan kerja keras untuk keluar dari zona nyaman ini. Keluar dari zona nyaman berarti bertemu dengan orang, karakter, dan hal-hal baru lainnya, yang membutuhkan kerja keras untuk mengenali, mempelajari, mencernanya, dan mengambil sikap atas hal-hal baru tersebut. Kadang melelahkan memang. Tapi manfaatnya, aku merasa semakin kaya dengan pengalaman dan pengetahuan. Kalau dalam bahasa para tokoh agama, "Mereka yang mampu melalui setiap ujian dalam hidup adalah mereka yang akan naik kelas, akan ditinggikan derajatnya di mata Tuhan," kalau aku mau menyebut pertemuan dengan hal-hal baru ini sebagai sebuah ujian.
Nah, apakah kita (termasuk aku) mengenali betul zona nyaman kita dan memahami bagaimana kita akan menyikapinya? Kita bisa saling belajar, tapi keputusan sikap mana yang akan kita ambil, kembali pada kita tentunya.
*Dari ini pula aku mulai merajut ide-ide untuk keluar dari zona nyamanku ini. Mungkin backpacker trip bisa menjadi ide menarik untuk membawaku kembali turun ke bumi (alah, KLA banget). Dan mungkin sebenarnya mencoba menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya juga bisa menjadi bentuk treatment yang menantang untukku. Ya, ibu rumah tangga. Siapa tahu? ;)
No comments:
Post a Comment