Catatan: tulisan ini pernah dimuat di akun facebook tanggal 14 November 2009
Sebenarnya, pertanyaan ini sudah lama muncul di kepalaku. Makin mengeras ketika keponakan atau anak sahabat mulai masuk "sekolah". Ya, sekolah, demikian mereka menyebutnya. Fenomena sekolah untuk mencetak anak-anak cemerlang, atau "super kid", semakin menguat beberapa tahun belakangan [maaf, kapan tepatnya aku belum sempat mencari tahu lebih jauh, dan karena tulisan ini sifatnya sharing alias curhat, ya bagi yang mengetahuinya silahkan berbagi :)]. Sebagian orangtua di Indonesia pun terlanda euforia sekolah yang konon menawarkan gagasan penciptaan super kid. Euforia ini tidak hanya melanda wilayah swasta, melainkan juga sebagian sekolah negeri. Cirinya, mereka melakukan tes terhadap anak yang akan masuk ke sekolah tersebut. Di beberapa sekolah dasar (negeri), mereka mengetes apakah si anak sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung; dan ini akan menjadi salah satu pertimbangan untuk menerima mereka atau tidak di sekolah itu. Yang lancar tentu akan masuk urutan teratas dalam daftar penerimaan, yang grathul-grathul (jawa: belum lancar, tapi bisa) paling tidak akan ditaruh di peringkat tengah. Nah, yang tidak bisa?! Silahkan berdoa banyak atau menyerahkan amplop yang lebih tebal untuk sumbangan (atau sogokan?) agar bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
Model seleksi seperti ini menurutku mengingkari salah satu hakikat praktik pendidikan, yaitu membuat yang tidak bisa menjadi bisa. Kalau begitu, yang tidak bisa akan selamanya tidak bisa, kan? Kontradiktif atau bahkan ironis menurutku, kalau dikembalikan ke tujuan praktik pendidikan tadi.
Tanpa bermaksud mengagungkan sistem di Eropa, karena sebenarnya ini juga kita bisa temukan di beberapa sekolah "alternatif" di Indonesia (TK Salam-Yogyakarta, Kandang Jurang Dik Doank, Sekolah Alam Bogor), aku mendapatkan sebuah temuan yang cukup mengejutkan buatku. Dua orang keponakan masuk sekolah dasar tahun ini. Aku memberikan hadiah buku cerita bergambar dengan kalimat cukup panjang namun sederhana. Aku berpikir bahwa itu akan menjadi teman buat mereka untuk lebih rajin membaca. Orang tua mereka mengucapkan terima kasih, tapi, "Dia belum bisa membaca," kata mereka. Ah, begitu ya?
Tentu kemudian aku membandingkan dengan anak-anak di Indonesia, sebagai referensiku. Salah satu keponakanku, yang sekarang sudah duduk di bangku SMP, sudah "lancar" membaca waktu usia 5 tahun, anak temanku sudah bisa berhitung (penambahan dan pengurangan) waktu usia 6 tahun. Tapi dua keponakan di sini, dan juga sebagian besar anak-anak lainnya di sini, mereka bahkan belum hapal 26 abjad atau baru bisa berhitung 1 sampai 20. Ternyata, di scuola materna"(taman kanak-kanak), mereka memang tidak diajari membaca, menulis, dan berhitung. Di sekolah, dimana mereka tinggal dari jam 8 pagi sampai tengah hari atau 3 sore setiap harinya itu, mereka lebih banyak bermain, bernyanyi, olahraga, berkesenian, atau aktivitas lainnya yang sifatnya lebih mengasah saraf motorik, nalar berkesenian, dan naluri bersosialisasi. Membaca, menulis, dan berhitung akan mereka jalani di sekolah dasar. Tidak masuk setiap hari pun tidak apa-apa, ketika si anak malas ke sekolah dengan alasan tertentu, misalnya. Dari situ beberapa anak belajar tentang rasa rindu bertemu teman, menyadari bahwa mereka butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain, dalam bahasa kita orang dewasa. Banyak absen bolong tidak akan memengaruhi banyak poin mereka dalam penilaian semester.
Untuk masuk sekolah dasar, orang tua di sini tidak perlu berdebar-debar, khawatir anaknya tidak diterima di sekolah dasar yang mereka inginkan. Kalaupun harus daftar jauh hari (setiap Februari untuk tahun ajaran berikutnya yang dimulai September), itu lebih karena sekolah harus mengajukan anggaran ke pemerintah, bukan dalam rangka penyaringan. Kalaupun si anak belum bisa diterima, itu lebih karena usianya belum mencukupi, bukan karena ia tidak bisa membaca atau berhitung.
Akan tetapi, satu hal, setiap model pendidikan tentunya tidak serta-merta cocok di semua tempat. Bagus di sini, belum tentu bagus di Indonesia, misalnya. Alternatif di Indonesia, belum tentu juga menjadi alternatif atau brilian di belahan lain di dunia. Yang pasti harus kembali ke hakikat pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia, bukannya menciptakan super kid.
Sebenarnya, pertanyaan ini sudah lama muncul di kepalaku. Makin mengeras ketika keponakan atau anak sahabat mulai masuk "sekolah". Ya, sekolah, demikian mereka menyebutnya. Fenomena sekolah untuk mencetak anak-anak cemerlang, atau "super kid", semakin menguat beberapa tahun belakangan [maaf, kapan tepatnya aku belum sempat mencari tahu lebih jauh, dan karena tulisan ini sifatnya sharing alias curhat, ya bagi yang mengetahuinya silahkan berbagi :)]. Sebagian orangtua di Indonesia pun terlanda euforia sekolah yang konon menawarkan gagasan penciptaan super kid. Euforia ini tidak hanya melanda wilayah swasta, melainkan juga sebagian sekolah negeri. Cirinya, mereka melakukan tes terhadap anak yang akan masuk ke sekolah tersebut. Di beberapa sekolah dasar (negeri), mereka mengetes apakah si anak sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung; dan ini akan menjadi salah satu pertimbangan untuk menerima mereka atau tidak di sekolah itu. Yang lancar tentu akan masuk urutan teratas dalam daftar penerimaan, yang grathul-grathul (jawa: belum lancar, tapi bisa) paling tidak akan ditaruh di peringkat tengah. Nah, yang tidak bisa?! Silahkan berdoa banyak atau menyerahkan amplop yang lebih tebal untuk sumbangan (atau sogokan?) agar bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
Model seleksi seperti ini menurutku mengingkari salah satu hakikat praktik pendidikan, yaitu membuat yang tidak bisa menjadi bisa. Kalau begitu, yang tidak bisa akan selamanya tidak bisa, kan? Kontradiktif atau bahkan ironis menurutku, kalau dikembalikan ke tujuan praktik pendidikan tadi.
Tanpa bermaksud mengagungkan sistem di Eropa, karena sebenarnya ini juga kita bisa temukan di beberapa sekolah "alternatif" di Indonesia (TK Salam-Yogyakarta, Kandang Jurang Dik Doank, Sekolah Alam Bogor), aku mendapatkan sebuah temuan yang cukup mengejutkan buatku. Dua orang keponakan masuk sekolah dasar tahun ini. Aku memberikan hadiah buku cerita bergambar dengan kalimat cukup panjang namun sederhana. Aku berpikir bahwa itu akan menjadi teman buat mereka untuk lebih rajin membaca. Orang tua mereka mengucapkan terima kasih, tapi, "Dia belum bisa membaca," kata mereka. Ah, begitu ya?
Tentu kemudian aku membandingkan dengan anak-anak di Indonesia, sebagai referensiku. Salah satu keponakanku, yang sekarang sudah duduk di bangku SMP, sudah "lancar" membaca waktu usia 5 tahun, anak temanku sudah bisa berhitung (penambahan dan pengurangan) waktu usia 6 tahun. Tapi dua keponakan di sini, dan juga sebagian besar anak-anak lainnya di sini, mereka bahkan belum hapal 26 abjad atau baru bisa berhitung 1 sampai 20. Ternyata, di scuola materna"(taman kanak-kanak), mereka memang tidak diajari membaca, menulis, dan berhitung. Di sekolah, dimana mereka tinggal dari jam 8 pagi sampai tengah hari atau 3 sore setiap harinya itu, mereka lebih banyak bermain, bernyanyi, olahraga, berkesenian, atau aktivitas lainnya yang sifatnya lebih mengasah saraf motorik, nalar berkesenian, dan naluri bersosialisasi. Membaca, menulis, dan berhitung akan mereka jalani di sekolah dasar. Tidak masuk setiap hari pun tidak apa-apa, ketika si anak malas ke sekolah dengan alasan tertentu, misalnya. Dari situ beberapa anak belajar tentang rasa rindu bertemu teman, menyadari bahwa mereka butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain, dalam bahasa kita orang dewasa. Banyak absen bolong tidak akan memengaruhi banyak poin mereka dalam penilaian semester.
Untuk masuk sekolah dasar, orang tua di sini tidak perlu berdebar-debar, khawatir anaknya tidak diterima di sekolah dasar yang mereka inginkan. Kalaupun harus daftar jauh hari (setiap Februari untuk tahun ajaran berikutnya yang dimulai September), itu lebih karena sekolah harus mengajukan anggaran ke pemerintah, bukan dalam rangka penyaringan. Kalaupun si anak belum bisa diterima, itu lebih karena usianya belum mencukupi, bukan karena ia tidak bisa membaca atau berhitung.
Akan tetapi, satu hal, setiap model pendidikan tentunya tidak serta-merta cocok di semua tempat. Bagus di sini, belum tentu bagus di Indonesia, misalnya. Alternatif di Indonesia, belum tentu juga menjadi alternatif atau brilian di belahan lain di dunia. Yang pasti harus kembali ke hakikat pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia, bukannya menciptakan super kid.
No comments:
Post a Comment