Monday, June 28, 2010

Hidup (di Rumah) Komunal

Luca sering mengatakan bahwa karakter social animal pada diri Kaila menurun dari aku, karena di matanya aku orang yang mudah bergaul dan juga butuh bergaul. Iya, butuh bergaul. Dalam kehidupan kami yang berpindah-pindah dan seringkali jauh dari orang tua atau saudara sedarah, aku sering bilang kepada Luca, penting untuk menjalin pertemanan dengan orang baru, entah itu tetangga, teman kantor, orang tua teman anak kita, atau juga pedagang di pasar. Dalam Islam diajarkan bahwa tetangga kita adalah saudara kita, karena pada merekalah kita akan meminta bantuan ketika terjadi sesuatu yang darurat; kehabisan garam, misalnya, kalau jauh dari warung dan rumah orangtua dan saudara, maka pada tetanggalah kita akan meminta sejumput garam, bukan?

Pergaulan macam apa yang aku suka? Atau kehidupan komunal macam apa yang aku jalani sekarang? Dari sekitar 30 tahun hidupku, hampir 32 tahun tepatnya, aku mengalami beragam pola kehidupan. Sejak kecil, keluarga intiku (bapak, ibu, dan kakak-kakak) tinggal bersama nenek dan om-ku. Ketika ibu kandungku meninggal dan bapakku menikah lagi tiga tahun setelahnya, bertambahlah tiga anggota keluarga baru. Setelah menikah Om-ku pindah ke rumahnya sendiri, tapi kemudian datanglah tiga orang sepupu yang juga tinggal bersama kami. Selama itu, aku belajar bagaimana harus berbagi; kamar tidur, buku, juga pakaian. Aku belajar pula mengenai pertemuan dengan nilai-nilai baru, yang bisa jadi tidak sejalan dengan nilai yang aku terima sebelumnya. Dari situ juga aku belajar bagaimana harus menyikapi perbedaan (*intinya belajar terus deh :p) dan secara tidak langsung berlangsunglah pembentukan karakterku.

Selepas SMA, aku memutuskan untuk memilih universitas yang jauh (*saat UMPTN aku memilih universitas di Surabaya dan Yogyakarta. Selain karena jurusan yang aku inginkan belum ada di Malang, aku merasa membutuhkan posisi yang agak "berjarak" dengan keluargaku. Aku tidak memilih Jakarta karena aku merasa sebagai anak kampung yang belum mampu menghadapi megahnya Jakarta). Hasilnya, aku mendamparkan diri di Yogyakarta. Kehidupan anak kuliah dan aktivitas di Jogja (*demikian aku lebih suka menulis dan membacanya) membawaku ke kehidupan komunal di luar keluarga. Aku bergabung dalam sebuah organisasi suratkabar mahasiswa, yang aktivitasnya bisa dibuat 24 jam sehari. Aku demikian terlibatnya dalam komunitas ini, sampai-sampai aku tidak segan untuk tidur di kantor atau
basecamp.

Komunitas B21, mereka disebut, karena terletak di Kompleks Perumahan Dosen UGM Bulaksumur No. 21. Dan bukan hanya aku, banyak mahasiswa lain yang demikian, sampai-sampai disepakati untuk membuat lemari untuk berang-barang pribadi sehingga tidak berserakan di sana-sini. Kurang-lebih tiga tahun aku menjalani kehidupan komunal bersama teman B21. Berangkat kuliah dari B21, pulangnya pun ke B21. Balik ke kos hanya untuk menukar dan mencuci pakaian. Bahkan, belakangan, ketika jasa
laundry dengan harga mahasiswa marak, lebih jarang lagi balik ke kos, karena baju kotor diantarkan ke tukang laundry.

Di tahun 2000, aku mulai mengalami anti-klimaks dengan kehidupan komunal. Aku mulai merasa tidak nyaman menginap di B21, intensitas kehadiranku di sana pun mulai berkurang. Aku juga pindah kos, sengaja aku menjauh dari kampus dan mencari rumah yang penghuninya tidak banyak. Aku temukan sebuah kos di sebelah utara Ringroad Utara, sekitar 3-4 kilometer dari kampus dan hanya tiga anak kos di sana, termasuk aku. Dengan harga yang tetap terjangkau pula, untuk ukuran masa itu dimana suhu krisis moneter masih terasa. Di kos itu aku menikmati masa-masa sarapan atau makan malam hanya bersama dua kakak kos dan satu penjaga rumah. Tak jarang di sore hari, aku menikmati menonton TV sendirian. Ini pun tak berlangsung lama, hingga akhirnya aku memutuskan mengontrak rumah kecil sendiri di kawasan Jogja selatan, sekitar 500 meter dari Ringroad Selatan.

Ketika menikah pun, sebisa mungkin kami--aku dan suami--berupaya untuk memiliki tempat kami sendiri, meski itu mengontrak dan diprotes mertuaku karena dianggap memboroskan uang; kenapa tidak tinggal saja bersama di rumah mereka yang cukup banyak ruang tidak terpakai. Meski akhirnya kami sempat menerima tawaran mereka demi alasan yang realistis, namun aku tetap merasa bahwa aku bukan manusia yang bisa menjalani kehidupan komunal lagi, dalam arti tinggal serumah dengan orang di luar keluarga intiku (baca: suami dan anak). Bahkan kita sempat mendiskusikan, semisal tinggal di Indonesia dan membutuhkan seseorang untuk membantu mengatur rumah, maka kami akan mengambil orang yang membantu paruh-waktu sehingga tidak tinggal di rumah kami.

Hingga kini, masih susah buatku menjelaskan secara detail mengapa aku tidak nyaman hidup komunal. Alasan praktisnya sih, jadi susah mengekspresikan cinta kepada suami, terutama, jika ada "orang lain" di sekitar kita, hehehehe. 'Kan segan juga sering-sering cium suami, sementara ada mertua, ipar, atau teman yang membantu mengatur rumah. Kalau sama anak sih tidak apa-apa, sekalian mengajarkan kepada mereka tentang bagaimana mengekspresikan emosi.

Di sisi lain, aku melihat adanya pola-pola ketergantungan yang terbentuk di antara sebagian warga rumah komunal terhadap yang lain. Ketergantungan dalam arti yang cenderung negatif maksudku. Aku tidak mengatakan semua orang yang tinggal bersama orangtuanya kemudian selalu tergantung pada mereka, karena aku menemukan juga beberapa kasus di mana meski tinggal serumah mereka memiliki kemandirian yang kuat; sementara ada kasus di mana hidup terpisah dari orangtua namun sangat tergantung dengan orangtua dan hanya fisik rumahnya saja yang "mandiri" tapi tidak dengan sikapnya.

Mungkin pengalaman hidupku yang mengajarkan padaku supaya tidak bergantung pada orang lain, sehingga ketika melihat sesuatu yang berpotensi menumbuhkan ketergantungan, aku jadi serta-merta menolaknya. Meskipun, tidak ingin bergantung berarti, konsekuensinya, harus siap sibuk! Hahahaha. Itu alasan aku memutuskan mengambil pekerjaan yang bisa aku kerjakan di rumah, saat ini. Entah tahun depan, entah tiga atau lima tahun lagi, bisa jadi aku akan kembali ke dunia kerja di luar sana.

Berangkat dari pengalamanku pula di masa remaja, pertemuan dengan nilai baru adalah sesuatu yang bisa jadi menarik, tapi bisa juga menjadi sesuatu yang "keras" menghantam kita. Dalam hal ini, pendidikan atau penanaman nilai-nilai dasar terhadap Kaila adalah menjadi kepedulianku dan Luca. Ketika tinggal bersama orang lain, tak jarang Kaila akan menemui nilai yang berbeda. Kalau nilainya cenderung positif sih tidak masalah, tapi kalau nilainya berjalan ke arah yang berbeda dengan nilai yang kami tanamkan, ehm ... ini dia tantangannya (*aku tidak mau menyebutnya repot). Dari hal-hal yang kecil; kenapa Kaila harus duduk di kursinya di meja makan ketika makan, sementara sepupunya boleh sambil mainan dan disuapi? Mengapa sepupunya yang seumuran masih boleh meminum susu dari botol sementara dia tidak? Hingga hal-hal yang lebih komplek, misalnya tentang nilai berbagi.

Aku, secara pribadi, memiliki pandangan sendiri atas nilai yang berbeda. Bagiku, setiap orang berhak meyakini nilainya sendiri. Meski aku tidak setuju dengan tindakan saudara atau teman, misalnya, yang lebih suka menyuapi anaknya daripada membiarkan anaknya makan sendiri, membuat kotor dan membersihkannya, tapi aku tidak akan mengatakan bahwa apa yang dia lakukan adalah tidak baik untuknya. Tidak baik untukku dan anakku, iya, tapi belum tentu untuk teman atau saudaraku itu. Ini kenapa aku lebih suka tinggal di rumahku sendiri, dengan keluarga intiku, sehingga aku tidak harus mengkonfrontasikan nilai-nilai di depan anakku; atau dianggap menyindir teman atau saudara karena aku menjelaskan nilai-nilai kami, yang kadang berbeda dengan nilai mereka, kepada Kaila di depan atau sekitar mereka.

Hingga detik ini, entah detik nanti atau esok hari, aku meyakini bahwa kehidupan komunal diperlukan demi mengajarkan banyak hal tentang nilai yang berkaitan dengan hubungan sosial, diantaranya nilai berbagi serta menghargai perbedaan dan hak orang lain. Itu salah satu alasan aku mengirimkan Kaila ke sekolah untuk batita, juga membawanya ke taman bermain setiap sore, juga mengenalkan kepada kelompok kesenian atau aktivitas lainnya. Sementara itu, kita juga membutuhkan ruang privasi kita untuk menanamkan nilai dasar hingga anak kita siap untuk bertemu dengan nilai-nilai yang berbeda. Ruang privasi bukan dalam rangka mengisolasi anak dari dunia nyata di luar sana, tapi meminimalkan keikusertaan pihak-pihak yang tidak berhak untuk memberikan pendidikan nilai dasar kepada anak kita, karena kitalah--orangtua--yang berhak dan bertanggungjawab untuk itu.

Catatan: secara pribadi, aku kagum pada orang-orang yang mampu hidup di rumah komunal, karena untuk hidup komunal membutuhkan rasa toleran dan ketabahan yang tinggi. Lebih salut lagi pada mereka yang bisa tetap mandiri di dalam atau di luar rumah komunal :)

1 comment:

  1. tulisan yang menarik cici, enam bulan dalam setahun, selama 4 tahun belakangan ini aku berbagi rumah dengan mertua dan keponakan yang ngenger. periode itu tidak ditentukan, terjadi dengan sendirinya. Dengan alasan kelahiran si keponakan, kunjungan liburan (6 bulan..hehe) hingga waktu pra sekolah saat ini. Beruntung dan aku bersyukur bisa menikmati kedua periode tersebut, ibarat musim, saat kemarau, kita merindukan hujan, dan demikian pula sebaliknya. Aku sangat sepakat dengan masa "mengekspresikan emosi terhadap keluarga inti" waktu tersebut teramat berharga untuk dilewatkan dengan memendam perasaan dikarenakan perbedaan prinsip dikala berbagi dengan non keluarga inti..demikian pula sebaliknya, Rasa sepi terkadang menghampiri disaat kita sendiri dan memerlukan orang diluar keluarga inti untuk lebih bisa memahami nilai berbagi..Saat ini kami masih dalam periode berbagi dan Juli nanti..saatnya kami sendiri ..bebas mengekspresikan emosi..:)..tetap menulis cici..:)

    ReplyDelete