Thursday, June 24, 2010

Mengapa Jalan-jalan?



Jalan-jalan, demikian orang Indonesia menyebutnya. Travelling kalau kata orang Inggris atau english speakers lainnya. La passeggiata (baca: la passejiata) atau il viaggio (baca: il viajjio) atau la gita (baca: la jita), demikian orang Italia bilang. Tapi Bapak atau Ibu atau (alm.) Mbah Uti (baca: nenek, bahasa jawa) bilang kelayapan atau keluyuran, ketika mereka kesal atau gemas dengan aku yang suka jalan-jalan ini, hehehe.

Menariknya, untuk orang Indonesia, "jalan-jalan" tidak sekedar bermakna harfiah 'bersenang-senang dng berjalan kaki (untuk melepas ketegangan otot, pikiran, dsb)' [dari: KBBI Daring], melainkan juga berkendaraan, apapun itu. Kata "jalan-jalan" kemudian merujuk pula pada 'melakukan perjalanan jarak dekat maupun jauh, dengan berjalan kaki ataupun berkendara, untuk sekedar melihat-lihat dan/atau disertai aktivitas lainnya (belanja, makan, dan lain-lain), (namun tetap dengan tujuan) untuk bersenang-senang' [definisi bebas dariku :D].

Kesukaanku kelayapan dimulai dari kebiasaan yang ditanamkan (alm.) ibuku yang hampir setiap akhir minggu mengajakku dan kakak-kakakku jalan-jalan. Mulai dari "sekedar" ke alun-alun Kota Malang dan diakhiri dengan membeli es krim di Malang Plaza; mengunjungi keluarga angkat ibu di Pasuruan yang biasanya disertai dengan acara ke kolam renang di sana; mengunjungi lokasi wisata yang bertebaran di seputar Malang dan Pasuruan; hingga "berburu" teman lama ibuku.
Ya, ibuku suka sekali menjalin pertemanan dan menyambung tali silaturahmi. Dua peristiwa yang aku ingat betul. Pertama, ibuku mengajakku ke Banyuwangi demi menemui seorang teman semasa dia sekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru), dengan berbekal alamat dari seorang teman lainnya. Kedua, ibuku berkenalan dengan seorang Bapak PNS (aku lupa Si Bapak ini guru ataukah pegawai lainnya) dalam perjalanan kami ke Jakarta dengan bis malam; ibuku menepati janjinya untuk berkunjung ke rumah Si Bapak PNS di Grati, dekat Pasuruan, yang sejak itu mereka berteman. Dari si Bapak Grati ini pula kami mendapatkan bibit jambu bangkok yang top tahun '80an itu.
Kegemarannya ini ternyata menurun benar di aku. Kalaupun jaman sekolah aku belum bisa benar-benar menyalurkannya, paling tidak aku 'melampiaskannya' dengan aktif di kegiatan ini-itu yang beberapa kali membuatku merasakan jalan-jalan. Dengan acara pramuka, membuatku bisa berkemah beberapa hari di Malang, sesuatu yang jarang-jarang untuk anak kampung sepertiku. Dengan gabung tim paduan suara dan menang lomba, kami dapat bonus jalan-jalan di Jakarta, sebuah kemewahan lainnya.

Pilihanku untuk mengambil kuliah di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pun tak jauh-jauh dari alasan jalan-jalan, alasan klasik masa itu. Namun demikian, mulai di tahun ketiga kuliah, aku memulai karirku di dunia penelitian dengan menjadi pekerja paruh waktu di sebuah NGO di Jogja. Di situ, aku banyak melakukan perjalanan ke desa-desa di seputar Jogja dan Jawa Tengah. Bukannya melakukan perjalanan internasional, malah interdesa, demikian seorang teman mengolokku. Hahahaha. Tak apa, pikirku saat itu, dimulai dari yang kecil, merasai pengalaman pernah menjadi "kecil" akan sangat bersyukur ketika kita mulai "besar. Dan bisa aku pastikan bahwa banyak pelajaran dan pengalaman yang aku dapati dari sekian ratus perjalananku ke desa-desa; bertemu, mengamati, berbicara, berbagi ilmu dengan orang-orang yang sebelumnya tidak berkesempatan untuk menyampaikan apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Ternyata, banyak ilmu dan kebajikan dari pemikiran sederhana orang-orang di pedesaan.

Di tahun kelima di universitas--ya, di tahun kelima, karena hingga masa itu aku demikian menikmati perjalanan-perjalananku, hingga membuatku sedikit enggan kembali ke kampus, sebuah contoh yang kurang layak ditiru, meski aku tidak pernah menyesalinya--aku mulai mencoba bergabung di sebuah lembaga internasional, sebagai peneliti. Di sini, aku benar-benar memulai acara jalan-jalan yang lebih jauh, mengunjungi pulau-pulau lain di Indonesia, sesuatu yang masa itu tidak mungkin aku lakukan jika aku hanya lulusan biasa dan menjadi backpacker belumlah sepopuler sekarang. Pedalaman Kalimantan Tengah, Ternate, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sulawesi Tengah, adalah perjalanan-perjalanan yang tercatat benar di kepalaku. Jika ditanya kenapa aku memilih menjadi peneliti, aku jawab, "Karena aku bisa menyalurkan kegemaranku jalan-jalan. Lumayan kan, jalan-jalan gratis, dibayari pula!" Hahahaha

Apa sih enaknya jalan-jalan hingga berbulan-bulan, jauh dari keluarga? Wuahhh, banyak alasannya. Pertama, merasakan sensasi menjadi pendatang di kampung orang. Kedua, mencari saudara di negeri orang, siapa tahu di masa depan ada kesempatan jalan-jalan sendiri kan ada yang dikunjungi dan diinapi, he3. Ketiga, bisa berpetualang mencari makanan baru. Lain-lainnya ya, alasan klasik, mengenal budaya yang beraneka ragam, mengunjungi beragam tempat menarik, bisa mengoleksi kain tradisional, dan lain sebagainya.

Banyak mengunjungi tempat baru merupakan sesuatu yang penting bagiku, secara pribadi. Dari situ aku bisa mengenal lebih dekat sesuatu yang selama ini hanya kulihat dari jauh, kudengar sayup-sayup, yang juga sempat terbangun stigma tertentu di kepalaku, yang bisa jadi belum tentu benar. Perjalanan-perjalanan ini membuatku lebih membuka mata, telinga, hati, dan pikiran atas banyaknya perbedaan di negeri kita dan juga dunia di luar sana. Pengalaman dan pengetahuan itu kemudian menempaku untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka, (belajar) untuk tidak mudah berprasangka, dan (belajar pula) untuk menerima perbedaan yang ada di sekeliling kita.

Kini aku sedang melakukan perjalanan baru, menjadi pendatang di kampung orang, tapi di "rumah"(home) sendiri :) Selamat jalan-jalan dan berpetualang juga untuk kalian, kemanapun dan untuk apapun itu!

No comments:

Post a Comment