Friday, June 25, 2010

Mengirim Anak ke "Sekolah" Sedini Mungkin: untuk Apa dan untuk Kepentingan Siapa?

Catatan: artikel ini pernah dipasang di akun facebook tanggal 14 Januari 2010.

Aku bukan psikolog anak, bukan juga pakar pendidikan. Seperti tulisan yang lalu, kesan dan pandanganku di sini adalah berangkat dari kegelisahan dan pengalaman personalku, kerabat, atau teman (siapapun yang merasa kalimatnya atau pengalamannya dicuplik dan dirasa kurang pas, silahkan memberikan komentar ya).

Berawal dari keinginanku dan suami untuk mengirimkan Kaila ke l'asilo (tempat penitipan anak atau baby daycare) karena melihat Kaila belakangan kekurangan teman, dalam pandangan kami. Tiap hari dia hanya bermain dan beraktivitas denganku, papanya, atau kakeknya. Sejak sepupunya, Greta dan Maurizio, masuk sekolah, mereka hanya bisa bertemu setiap akhir pekan. Papa dan kakeknya sering mengajak Kaila jalan-jalan di pagi hari setelah sarapan, namun, lagi-lagi, yang banyak dijumpai di jalanan atau ruang publik lainnya hanyalah orang-orang tua. Tidak banyak lagi anak-anak, termasuk balita, yang bermain di luar saat jam sekolah.

Dalam pandangan kami, saat itu, Kaila butuh teman bermain yang sepantaran. Tentu akan beda rasa dan dampaknya terhadap Kaila jika bermain dengan teman sepantaran atau anak-anak yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang tua. Ya itulah pandangan kami. Untuk itu, kami mengirimkan Kaila ke l'asilo,
dengan tujuan utama memberikan ruang padanya untuk bersosialisasi.

Ketika kami mengajaknya untuk melihat-lihat dua tempat kelompok bermain, dia menunjukkan ketertarikan yang tinggi. Dia langsung melakukan observasi dengan berkeliling hampir seluruh bangunan, keluar-masuk ruang-ruang kelas, dan mulai bereksplorasi dengan mainan dan buku yang ada. Hari pertama sekolah, Kaila menangis ketika kami tinggal dan sekitar satu jam berikutnya kami mendapat telepon dari gurunya yang memberitahukan bahwa Kaila menangis kuat. Maka kami datang untuk mengambilnya. Malamnya, kami bertanya mengapa ia menangis di sekolah tadi; Kaila menjawab, "Mamma-Papa pergi." Lalu kami mulai menjelaskan dan menceritakan seperti apa sekolah, apa yang bisa dia lakukan di sana untuk menyenangkan dirinya, dan cerita lain yang kami harap bisa membangkitkan semangatnya.

Hari kedua, dia tidak menangis ketika ditinggal, karena gurunya menutup pintu ketika dia sedang sibuk bermain. Selang dua jam, kami kembali untuk melihat perkembangannya. Ketika melihat kami datang dia langsung menangis keras, dia bilang, "Pintunya ditutup!" Begitu keluar dari gedung sekolah, dia sudah ceria lagi dan berlari-lari.

Hari ketiga, kami mencoba meninggalkannya lebih lama, mulai jam 9.30 hingga 12.00. Meski, menurut gurunya, Kaila menangis lebih jarang dan tidak lagi terisak-isak, namun ia tetap menangis begitu melihat kami datang menjemput.

Hari keempat, kami mencoba meninggalkannya hingga makan siang tiba. Ketika kami datang, ia sedang sibuk makan. Gurunya memuji Kaila karena sudah bisa makan sendiri dan menghabiskan semua makan siangnya, komplit! (mungkin kelelahan karena menangis membuatnya merasa sangat lapar hahahaha). Ketika melihat kami, kembali ia menangis dan meminta dipakaikan jaketnya dan berjalan cepat menuju mobil.

Hari kelima, ketika kami memarkir mobil, Kaila sudah buru-buru mengatakan, "L'asilo no!", tapi kami tetap membujuknya. Gurunya mengambilnya dari belakang dan mengalihkan perhatiannya sementara kami meninggalkannya.

Sepanjang perjalanan, setiap hari, aku dan Luca mendiskusikan hal ini. Pertanyaan-pertanyaan: kira-kira mengapa Kaila menangis, bagaimana ia menangis (benar atau pura-pura, secara Kaila sudah bisa berpura-pura menangis), bagaimana sikapnya sebelum dan sesudah menangis, bagaimana sikapnya di rumah ketika kami tanyai tentang sekolah dan teman-temannya, terus-menerus kami perbincangkan. Satu hal yang kami sepakati, Kaila tidak mengalami trauma atas sekolah. Dia tidak tampak ketakutan kalau diajak bicara soal sekolah atau mendapat mimpi buruk tentang sekolah. Di rumah atau bahkan sekeluarnya dia dari bangunan sekolah, masih di halaman sekolah, ia sudah tampak ceria lagi, sambil mencoba menceritakan apa yang dia lakukan atau alami di sekolah. Meski demikian, momen-momen di mana ia menangis, bahkan kadang sampai terisak-isak, merupakan momen yang menguras emosi, bagi kami bertiga tentunya. Aku selalu berusaha menguatkan hati untuk ini. Begitu juga Luca. Tapi bagaimana dengan Kaila? Secara kasat mata dia tampak ceria ketika di luar sekolah (dalam artian fisik), tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya yang dia rasakan atau pikirkan. Aku hanya menggunakan insting sebagai ibu, tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk mendalami perilaku anakku secara psikologis.

Hari ini, aku dan Luca kembali mendiskusikan pengiriman Kaila ke l'asilo. Kami memutuskan untuk melihat perkembangan hingga minggu depan, apakah ada perkembangan positif atas sikap atau kondisi psikologis Kaila di sekolah. Jika ia mengalami peningkatan; lebih jarang menangis, mulai menikmati sekolah, meski itu hanya sedikit sekali, tak apa, karena mungkin dia memang tipe pembelajar yang membutuhkan waktu lama untuk mencerna sesuatu yang baru. Jika ini terjadi, maka kami akan tetap melanjutkan pengiriman Kaila ke sekolah. Akan tetapi, jika tidak ada peningkatan atau bahkan terjadi penurunan, maka kami akan menariknya dari sekolah. Artinya, memang Kaila belum siap masuk sekolah, untuk bersosialisasi dengan komunitas yang lebih besar secara terus-menerus.

Tentu ada pekerjaan rumah lainnya, untuk mencari tahu mengapa Kaila merasa tidak nyaman di sekolah, baik secara internal (kami) atau eksternal (sekolah). Juga perlu mencari jawaban, sebenarnya untuk apa kami benar-benar ingin mengirimkannya ke sekolah. Kami khawatir jika ini hanya keinginan kami, bukan Kaila. Bisa jadi kami merasa senang dan bangga ketika bercerita ke teman atau kerabat bahwa Kaila sudah masuk l'asilo. Atau bangga karena bisa mengirimkan Kaila ke l'asilo milik kesusteran yang harus membayar 100 euro per bulan itu, seperti yang dipikirkan beberapa orang tua di kota ini (karena taman kanak-kanak negeri tidak laku karena mereka tidak menunjukkan prestise karena gratis!).

"Jadi, Kaila, masihkah kau mau ke l'asilo? Jika kau suka, maka kami akan dengan senang hati menemani dan menjemputmu setiap hari. Jika itu membuatmu tersiksa, maka nikmatilah waktumu di mana kau mau, kita akan menemukan cara lain untuk membantumu bersosialisasi. Mamma dan PapĂ  mencintaimu apa adanya, be a happy kids, we don't want a superkid!"

No comments:

Post a Comment