Sunday, June 20, 2010

Mengapa Menulis?

[Catatan: Ini tulisan lama di akun facebook-ku dengan judul "Menulis untuk Mengukur Diri " . Aku pasang lagi untuk menyampaikan alasanku 'mengapa aku suka menulis' atau 'why i love to write' atau 'perche mi piace a scrivere'].

Kalau orang yang mengerti bahasa Jawa membaca judul tulisan ini, mungkin akan terbersit pertanyaan, “Cici iki kena apa, apane, kok isa nganti gatelen, nganti ngukur-ngukur, apa maneh njaluk dikukurke?” (terjemahan: Cici ini kenapa, apanya, kok bisa sampai mengalami gatal-gatal, sampai menggaruk-garuk, apalagi minta digarukkan?]
Bagi yang tidak paham kata ngukur dalam bahasa Jawa, tidak tertawa juga tidak apa-apa, karena tulisan ini tidak mengajak Anda untuk tertawa, tapi untuk “mengukur” itu tadi. Bisa juga mengukur dalam arti menilai, mengintropeksi, atau mengukur dalam dialek Jawa yang berarti menggaruk, tapi jangan mengukur layaknya terhadap kelapa ya, yang maksudnya memarut, bisa lecet-lecet seperti tanganku yang terlalu sering dicubit Kaila kalau menjelang tidur. Ah, tak perlu berpanjang kata dan berlebar kalimat soal (k)ukur-mengukur, bisa jadi gatal betulan nanti (gatal untuk memakiku tentunya, sambil bertanya, “Cici ini mau omong apa sih?!” sambil meng-klik opsi lain untuk menutup note-ku ini :D)

Aku ingin menulis ini untuk diriku dan teman-teman yang selama ini mengapresiasi tulisanku. Terima kasih, matur nuwun, grazie, thank you, sudah mampir dan membaca beberapa tulisan, baik itu berupa curahan hati, resep, cerita jalan-jalan, bahkan “sekedar” status di facebook ini. Apresiasi tidak harus selalu memberikan pendapat baik, tentu saja, namun dengan memberikan apreasiasi, paling tidak, dia telah membaca tulisanku, itu satu hal penting menurutku. Keinginan atau ketertarikan atas sebuah karya, yang diikuti dengan kesediaan untuk menikmatinya (mendengar, membaca, melihat, atau merasakan) merupakan bentuk apresiasi pertama yang patut diucapi terima kasih. Tanpa itu, seseorang tidak mungkin bisa memberikan pendapat, penilaian, atau pengukuran itu tadi, atas sebuah karya, termasuk tulisan. Jadi, terima kasih lagi ya!

Teman-teman, ini lho yang aku mau bilang soal menulis (akhirnya, masuk juga ke tema utama, hehehehe). Bagiku, menulis itu salah satu cara untuk mengukur diriku. Apanya yang diukur? Pengetahuan? Kedewasaan? Pemahaman peran sebagai perempuan? Atau tingkat kekeritingan rambutku yang sudah menjadi bawaan lahir namun mulai menunjukkan bakatnya saat aku duduk di kelas 4 sekolah dasar? (Baru tahu kan kalau rambut keritingku ini tidak “keriting” sejak bayi? hihihihi)

Semua bisa diukur dengan aktivitas menulis dan tulisan yang dihasilkan, tidak bisa tepat tentunya, karena—seperti aku tulis di atas—ini hanyalah salah satu alat ukur. Paling tidak, akan bisa membantu melihat diri kita dari satu, dua, atau tiga, atau juga lebih dari sisi diri kita.

Com’รจ mai? Kok bisa? Coba aku kupas satu-satu ya, layaknya mengupaskan apel, jeruk, nanas, atau membukakan coklat untuk Kaila; satu-satu dengan alat, teknik, dan proses yang berbeda. Awalnya aku suka menulis catatan harian. Sejak aku duduk di bangku SMP, ketika aku mulai naksir sahabatku, melihat kakak perempuan yang juga suka curhat di buku hariannya, dan aku mendapat buku harian lungsuran dari kakakku itu. Meski saat itu kadangkala aku masih suka bingung antara diary dan dairy, hahahaha.

Belakangan, ketika aku membaca kembali catatan-catatan itu, aku merasa bisa melihat kembali sejarahku. Bagaimana aku berjuang membangun hubungan dengan anggota baru di keluargaku, bagaimana aku belajar membangun hubungan asmara dengan laki-laki, bagaimana pasang-surut kepribadianku. Belakangan juga, aku menyebutnya sebagai dokumentasi hidupku.

Ya, dokumentasi. Dulu aku memang tidak memahami betul apa makna “dokumentasi”, selain film buram hitam-putih yang sering ditayangkan di TVRI dan seingatku aku menganggapnya tidak menarik. Ketika SMA, dokumentasi identik dengan tukang foto acara di sekolah atau urusan berkas-berkas yang harus ditata dan diurutkan supaya mudah ditemukan kembali. Itu semua dokumentasi, benar. Menulis, memotret, membuat film, itu adalah sebagian cara-cara mendokumentasikan sesuatu. Sejarah keluarga, riwayat pribadi dan/atau kepribadian, berkas-berkas organisasi, merupakan hal-hal yang perlu didokumentasikan alias obyek. Aku si penulis buku harian, Faisal Faiz si fotografer, Intan Bayu di sekretaris OSIS atau Andari si pembuat film dokumenter, kami adalah si pelaku pendokumentasian.

Lalu apa yang bisa diukur di sini? Ketika kita menuliskan sesuatu secara berkala, dengan teknik atau gaya apapun, kita akan bisa melihat sejarah kita. Sejarah kita saja (bukan Sejarah Perjuangan Bangsa, atau bisa juga lho kalau kita aktivis politik), syukur-syukur sejarah orang lain yang namanya mungkin berkali-kali kita sebut dalam tulisan kita. Dari buku harianku, aku menemukan sejarahku dan membantuku mengenal diriku. “Wah, aku dulu kalau sedih ternyata banyak makan ya? Buktinya, waktu putus pacaran, aku malah makan-makan di Mungil [catatan sebuah kedai makan anak muda yang terkenal di Lawang, Malang].” Atau, kita menyadari bahwa dari sekian cita-cita ternyata yang kesampaian baru satu, atau bahkan tidak sama-sekali, bukannya karena gagal, tapi karena memang memilih berbelok jalan. Tanpa membaca buku harianku, mungkin aku tidak bisa mengingat harapanku, kelakuanku, atau pencapaianku di masa lalu, karena keterbatasan ruang di otakku, tentu saja.

Apa lagi yang diukur dari menulis (atau juga bentuk dokumentasi lainnya)? Pengetahuan, pasti. Ketika aku kesulitan meneruskan kalimatku karena kehabisan kata, atau membahas hal-hal yang itu-itu saja, bisa jadi itu salah satu tanda aku kurang membaca, mengobrol dengan orang lain, atau menonton tontonan yang terlalu monoton. Menggunakan kosakata yang sama atau membahas tema yang sama berulang-ulang bisa berarti kita mahir di situ atau bisa juga menandakan kita gak mengalami kemajuan. Mau yang mana, ayo?! Jawab sendiri :p

Lagi, dengan menulis, dan juga memotret dan membuat video kali ini, aku bisa memantau perkembangan Kaila, yang berarti perkembangan kemampuanku juga dalam menemani Kaila belajar. Kali ini dengan teknik yang lebih beragam, lebih canggih! Hehehehe. Mulai dari membeli buku harian bayi, membuat album foto bertema dan berperiode, mengumpulkan hasil coretan Kaila (kalau yang kertas ya tinggal dimasukkan ke document keeper, tapi kalau yang di lantai atau tembok ya harus difoto atau divideokan dulu :D)

Manfaat yang lebih praktis, tentu saja aku bisa mengukur periode datang bulan atau berat badanku. Hahahaha. Yang pertama penting untuk perencanaan bikin anak, sementara yang kedua, panjang nih urusannya, bukan soal penampilan, tapi soal vitalitas tubuh dan kantong, hahahaha, tambah berat badan berarti tambah lamban bergerak dan tambah tipis kantong karena harus membeli baju baru yang ukurannya lebih besar!

Kalian punya kesan apa dengan menulis? Aku ingat beberapa teman SD, SMP, SMA, atau kuliah yang suka menulis. Iffah membuat puisi, Mbak Leni menulis cerpen atau karya ilmiah, Mbak Ida menulis cerpen, Sulis dan Pipin menulis untuk majalah SMA Puspita, Deasy yang suka curhat lewat puisi, teman-teman B21 yang suka corat-coret di Buneq (buku uneg-uneg), sementara aku di masa-masa itu masih berkutat dengan menulis surat cinta dan rancangan program atau laporan kegiatan OSIS, alah!

Kalau akhir-akhir ini aku suka menulis catatan perjalanan, cerita tentang Kaila, atau bahkan resep, itu bagian dari semangatku untuk mendokumentasikan hidupku terkini, setelah aku menyadari betapa pentingnya dokumentasi. Atau aku mencoba juga bercerita melalui beberapa foto atau video. Itu juga bagian dari menuliskan atau menggambarkan secara lebih nyata, supaya lebih dapat dilihat, dalam arti sebenarnya. Aku pikir, proses pendokumentasian tak harus njlimet alias rumit, lakukan dari hal kecil yang bisa aku lakukan. Menulis di organizer, oke. Kalau ingin menulis yang lebih panjang dan dalam, ya aku lakukan kalau punya waktu [seperti malam ini, setelah Kaila dan bapaknya terbenam di kamar]. Jikalau cuman punya waktu semenit untuk update status fb dan cerita sesuatu, itu juga bagian dari menyimpan memori, menurutku. Beberapa minggu yang lalu, aku membeli document keeper untuk menyimpan coretan-coretan Kaila. Buku-buku tulis Kaila juga aku simpan, meski bentuknya sudah tak berwujud. Kusimpan sampai nantinya bisa menemukan cara yang lebih praktis dan efisien untuk menyimpan sejarah Kaila, dan sejarahku dan Luca tentunya semenjak Kaila menjadi bagian dari hidup kami.

Dengan ini, aku ingin mengajak teman-teman untuk menulis, atau memotret, atau membuat video dengan hape, atau mengumpulkan coretan anak-anak kalian, meski itu cuma di sesobek kertas koran, sebagai bagian dari mendokumentasikan sebuah kehidupan. Atau bisa juga mengikuti cara beberapa orang untuk membuat biografi sendiri atau meminta bantuan para penulis biografi. Sehingga di masa depan, kita punya tulisan, foto, atau apapun itu yang bisa membantu kita mengukur diri untuk kemudian membuatnya lebih baik. Paling tidak untuk diri sendiri, karena kita tidak tahu apakah kita akan bisa menjadi pahlawan di masa depan; pahlawan yang sejarahnya dipedulikan orang, karena ada juga pahlawan yang tak dikenang sedikitpun.

Jadi, jangan malu untuk menulis!

1 comment:

  1. rachma writes :
    hallo mbak.. setuju ane.. yuukkss.. kita mendokumentasikan sejarah (minimal sejarah pribadi) hehehe...
    boleh mampir ke blog ane mbak : http://my.opera.com/rachmataz
    yang di blogspot juga ada siihh..cm ndak pernah tak-update...hehehe..
    ok, selamat melanjutkan menulis ^__^

    ReplyDelete