Monday, June 28, 2010

Bahasa Italia? Siapa takut!

Mau dibilang pamer bahwa aku sudah bisa berbahasa Italia? Silahkan! Tapi jangan bilang aku lupa bahasa Indonesia atau Jawa, yang dengan keduanya aku dibesarkan. Meski Kaila, anakku yang berusia dua tahun itu baru bisa berkata 'lagi', 'susu', 'maaf', 'tolong' dalam bahasa Indonesia, tapi dia paham sepenuhnya ketika setiap harinya aku berbicara dalam bahasa Indonesia dengannya. Bahasa Jawa sengaja belum aku ajarkan karena, demi alasan praktis, saat ini dia membutuhkan dua bahasa: Indonesia dan Italia, serta sedikit bahasa Inggris karena kami memiliki beberapa teman yang berbicara dalam bahasa itu.

Bahasa Italia adalah bahasa baru untukku. Tidak seperti Kaila yang secara alami mempelajarinya, sebaliknya, aku harus bekerja keras untuk memahaminya dan menggunakannya untuk bertahan hidup di negara asal pizza ini. Ada beberapa hal yang memudahkanku dalam mempelajari bahasa Italia, namun lebih banyak faktor yang menyulitkanku. Aku mulai belajar dua tahun lalu, tapi benar-benar fokus setahun terakhir
, secara otodidak. Ibu mertua memberikan sebuah buku struktur bahasa Italia untuk murid sekolah menengah pertama. Cukup membantuku untuk mengenal kata benda (bentuk tunggal dan jamak, 'laki-laki' dan 'perempuan'), kata sifat (juga tunggal-jamak, 'laki-perempuan' mengikuti kata bendanya), artikel (yang tidak banyak digunakan dalam bahasa Indonesia, kecuali 'si' dan 'sang'), dan sebagian kecil kata sambung (di, ke, dari, pada, dan, atau, untuk, dll).

Secara alfabetikal dan pengucapannya, sebagian besar sama meski dalam bahasa Italia mereka 'tidak memiliki' [baca: tidak sering menggunakan] beberapa konsonan, diantaranya: J, K, W, X, Y. Selain itu mereka memiliki beberapa konsonan atau gabungan konsonan yang ditulis dan dibaca secara khas, misalnya: "gl" dibaca "ly" seperti dalam
kata milyar [tapi dengan pengucapan yang khas yang membutuhkan waktu lebih dari setahun untukku untuk menemukan cara pengucapan yang benar-benar pas] atau "gn" yang dibaca "ny" seperti dalam kata "banyak". Aku harus berhati-hati pula dengan konsonan "c" dan "g" karena tidak selalu diucapkan sama sebagai "c" dan "g" seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan menjadi "k" dan "j". Huruf "c" dibaca "c" seperti dalam kata "Cici" jika bertemu huruf vokal "i" dan "e", ketika bertemu dengan huruf vokal "a", "o", dan "u" dia akan diucapkan sebagai huruf "k". Demikian juga huruf "g", dia kan dibaca "g" ketika bertemu "a", "o" dan "u", dibaca sebagai "j" ketika bertemu "e" dan "i". Jadi, Gigi Buffon dibaca Jiji Buffon, bukan Gigi seperti gigi yang ada di mulut kita ;)

Memasuki kata kerja, mulailah kerumitan baru. Bahkan buku untuk siswa sekolah menengah pertamapun tak banyak membantuku. Aku dan Luca pun mulai berburu buku yang lebih mudah aku pahami dan kami menemukan
Grammamia: Grammatica Italian per Ragazzi (Grammamia: Tata Bahasa Italia untuk Anak-anak), sebuah buku untuk anak-anak non-italia berusia 11-14 tahun. Buku yang menyampaikan materinya dengan logika anak menjelang remaja ini sangat membantuku yang benar-benar berangkat dari nol.

Kenapa kata kerja sedemikian sulit kupahami? Pertama dan paling nyata adalah bahwa sebuah kata dasar akan berubah mengikuti bentuk subyeknya: orang pertama, kedua, atau ketiga; jamak atau tun
ggal. Singkatnya, untuk "aku", "kamu", "dia", "kami/kita", "kalian", "mereka" bentuk kata dasarnya akan berubah dan berbeda satu sama lain, disamping juga perlu memperhatikan jenis kelaminnya. Kedua, modus pengucapan, antara tentu dan tak tentu, kalimat berita, perintah, atau pengandaian; masing-masing mengalami perubahan bentuk. Ketiga, yang tak kalah rumitnya, yaitu tempo atau kala: kala kini (presente/present), kala lampau dekat (passato perfetto/past perfect), kala lampu jauh (passato remoto), trapassato untuk menyatakan sesuatu yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di masa lalu: trapassato prossimo yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di kala lampau dekat, trapassato remoto yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di kala lampau jauh. Masih ada juga kala masa depan (futuro) yang terbagi dalam bentuk sederhana (semplice) dan bertingkat (anteriore/composto). Kalau modus dan tempo digabungkan akan ada sekian puluh kombinasi bentuk yang menghasilkan berpuluh bentuk varian dari sebuah kata benda. Sebagian memilik bentuk reguler atau memiliki "rumus" khusus untuk membentuk kata variannya, tapi banyak juga yang tidak reguler, tanpa rumus, yang artinya harus dihapalkan! Menantang, bukan?!

Itu masih tantangan seputar struktur bahasa. Buatku, secara personal, tantangan lainnya adalah aksen. Beda penempatan aksen atau penekanan kata, beda pula artinya. Kata "papa" misalnya, "papa" yang berarti bapak diucapkan dengan penekanan di suku kata kedua: papa', sedangkan jika diucapkan dengan penekanan di suku kata pertama (pa'pa) akan berarti Sri Paus (Pemimpin Besar Agama Katolik di Vatikan). Nah, ada satu kata lagi yang mirip-mirip: p
appa (dengan dua "p" di tengah) yang artinya makanan, yang harus diucapkan dengan penekanan di suku kata pertama dan menambahkan akhiran "p"-nya: pap'pa. Terbelit gak lidahnya? Hehehehehe.

Memang dua huruf kembar menjadi tantangan tersendiri. Ilmu bersilat lidah tampaknya diperlukan di sini, bersilat lidah dalam makna denotatif, karena memang lidahnya harus siap berlekuk kesana-kemari! Kata "capello" (rambut) dan "cappello" (topi), misalnya, sama-sama dengan aksen atau penekanan di suku kata kedua, tapi kita harus hati-hati dengan suku kata pertama di mana salah satu hanya berhadapan dengan satu huruf "p", sementara satunya dengan dua huruf "p".

Belakangan aku menemukan jawaban kenapa sulit bagiku mempelajari aksen ini. Bukan sekedar apologi (permintaan atas permakluman), tapi ini memang benar aku alami. Pertama, bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mengenal aksen atau setidaknya bukan sesuatu yang penting dalam bahasa
Indonesia. Jika seseorang berbicara bahasa Indonesia menggunakan aksen, biasanya dipengaruhi oleh bahasa daerahnya atau lingkungan tempat tinggalnya. Kedua, ini aku temukan ketika di sebuah kelas bahasa kami mendiskusikan soal tipe memori, aku memiliki memori yang bagus atas hal-hal yang aku lihat dan baca, tapi tidak dari hasil mendengar. Aku lebih bagus membaca peta dan menemukan barang-barang yang terselip di antara barang lain, daripada menghapal nama-nama orang yang baru saja aku kenal. Perpaduan yang kurang manis, bukan, yang menjadikan aku agak kesulitan memperlajari aksen dalam bahasa Italia?

Metode belajar yang aku pilih beragam. Mulai dari buku yang diberikan mertua, melihat film dan mendengar lagu, membacai buku-buku Kaila, membeli buku bahasa Italia untuk anak-anak asing, hingga akhirnya memutuskan mengambil kursus. Memilih sekolah bahasa pun tak mudah. Dari Larino, yang merupakan kota kecil dan susah menemui sekolah bahasa Italia untuk orang asing, ke Florence, kota besar yang memberikan banyak pilihan, membutuhkan pemilihan yang cermat. Dari hasil berburu di internet dan rekomendasi seorang kerabat Luca, aku kemudian mendatangi beberapa sekolah bahasa untuk orang asing. Selain bertanya tentang program yang ditawarkan, aku juga meminta melihat langsung diktat yang mereka gunakan.


Sekolah pertama yang aku pilih adalah Euro***s, yang lebih banyak diikuti oleh mereka yang ingin belajar bahasa Italia selama liburan mereka di Italia. Jadi ada beberapa siswa yang ikut hanya satu-dua minggu atau paling lama 1 bulan. Hanya sebagian kecil yang mengikuti kelas secara berkesinambungan dari tingkat A1 hingga B2 (tingkatan yang diperlukan untuk mahir berbahasa Italia, tapi bukan pengajar). Di bulan berikutnya, aku berpindah ke La P**a, sebuah lembaga internasional yang tidak hanya mengadakan sekolah bahasa, melainkan juga aktivitas sosial yang berhubungan dengan komunitas antaragama. Kedua sekolah bahasa ini memiliki keunggulan masing-masing dengan metode yang mereka miliki. Euro***s memulai pelajarannya dengan teori yang kemudian diikuti dengan banyak latihan, termasuk percakapan, layaknya pelajaran bahasa asing di sekolah lanjutanku dulu. Sementara itu, La P**a menggunakan pendekatan orang dewasa, dimulai dengan membaca satau atau beberapa paragraf cerita untuk kemudian bersama-sama mene
mukan misteri struktur bahasa di dalamnya. Kalian suka yang mana? Hehehehe.

Aku merasa keduanya memiliki keunggulan masing-masing. Dan, syukurnya, aku mengambilnya di momen yang tepat. Aku masuk Euro***s dengan bekal kemampuan tata bahasa yang minim, dengan metode "teori dulu, baru latihan" itu sangat membantuku untuk memahami dasar-dasar tata
bahasa, menguatkan pengetahuan tata bahasaku yang minim kala itu. Ketika memasuki La P**a, aku sudah memiliki basis tata bahasa yang lumayan kuat sehingga lebih mudah bagiku mengikuti logika tata bahasa yang diajarkan dengan metode "menggali bersama-sama" tadi.

Masih ada satu tingkatan lagi yang harus aku ambil di sekolah bahasa La P**a, ditambah persiapan untuk mengikuti tes CILS, semacam IELTS atau TOEFL untuk bahasa Inggris. Dengan pertimbangan ini musim panas dan merupakan waktu yang tepat untuk mengajak Kaila ke pantai, maka aku menunda melanjutkan sekolah bahasa ini. Sementara itu, aku membacai buku-buku berbahasa Italia. Satu buku yang sudah aku selesaikan adalah ITALIANI, PER ESEMPIO; L'Italia vista dai bambini immigrati (Italia dari mata anak-anak imigran) oleh Giuseppe Caliceti. Sekarang sedang membaca buku Ayu Utami "Saman" dalam versi Italia dan "Grazie: Ecco Perche' Senza Gli Immigrati Saremmo Perduti" (Terima Kasih: Inilah Mengapa Tanpa Para Imigran Kita Barangkali Akan Jatuh) tulisan Riccardo Stagliano.

Tantangan lain di masa depan adalah belajar bersama Kaila, baik bahasa Italia, Indonesia, atau bahasa lainnya. Aku pun sesekali membukai lagi buku tata bahasa Indonesia, memastikan bahwa aku mengajarkan tata bahasa Indonesia yang benar kepada Kaila. Atau paling tidak bisa menjelaskan persamaan atau perbedaan logika bahasa antara bahasa Indonesia dan Italia kepadanya. Tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini, semuanya hanya butuh kerja keras. Seperti halnya belajar bahasa Italia yang pernah membuatku sedikit stres, karena hanya bisa senyum-senyum tanpa mengerti percakapan yang berlangsung dalam pertemuan keluarga besar Luca. Sekarang? Bahasa Italia? Siapa takut!

Hidup (di Rumah) Komunal

Luca sering mengatakan bahwa karakter social animal pada diri Kaila menurun dari aku, karena di matanya aku orang yang mudah bergaul dan juga butuh bergaul. Iya, butuh bergaul. Dalam kehidupan kami yang berpindah-pindah dan seringkali jauh dari orang tua atau saudara sedarah, aku sering bilang kepada Luca, penting untuk menjalin pertemanan dengan orang baru, entah itu tetangga, teman kantor, orang tua teman anak kita, atau juga pedagang di pasar. Dalam Islam diajarkan bahwa tetangga kita adalah saudara kita, karena pada merekalah kita akan meminta bantuan ketika terjadi sesuatu yang darurat; kehabisan garam, misalnya, kalau jauh dari warung dan rumah orangtua dan saudara, maka pada tetanggalah kita akan meminta sejumput garam, bukan?

Pergaulan macam apa yang aku suka? Atau kehidupan komunal macam apa yang aku jalani sekarang? Dari sekitar 30 tahun hidupku, hampir 32 tahun tepatnya, aku mengalami beragam pola kehidupan. Sejak kecil, keluarga intiku (bapak, ibu, dan kakak-kakak) tinggal bersama nenek dan om-ku. Ketika ibu kandungku meninggal dan bapakku menikah lagi tiga tahun setelahnya, bertambahlah tiga anggota keluarga baru. Setelah menikah Om-ku pindah ke rumahnya sendiri, tapi kemudian datanglah tiga orang sepupu yang juga tinggal bersama kami. Selama itu, aku belajar bagaimana harus berbagi; kamar tidur, buku, juga pakaian. Aku belajar pula mengenai pertemuan dengan nilai-nilai baru, yang bisa jadi tidak sejalan dengan nilai yang aku terima sebelumnya. Dari situ juga aku belajar bagaimana harus menyikapi perbedaan (*intinya belajar terus deh :p) dan secara tidak langsung berlangsunglah pembentukan karakterku.

Selepas SMA, aku memutuskan untuk memilih universitas yang jauh (*saat UMPTN aku memilih universitas di Surabaya dan Yogyakarta. Selain karena jurusan yang aku inginkan belum ada di Malang, aku merasa membutuhkan posisi yang agak "berjarak" dengan keluargaku. Aku tidak memilih Jakarta karena aku merasa sebagai anak kampung yang belum mampu menghadapi megahnya Jakarta). Hasilnya, aku mendamparkan diri di Yogyakarta. Kehidupan anak kuliah dan aktivitas di Jogja (*demikian aku lebih suka menulis dan membacanya) membawaku ke kehidupan komunal di luar keluarga. Aku bergabung dalam sebuah organisasi suratkabar mahasiswa, yang aktivitasnya bisa dibuat 24 jam sehari. Aku demikian terlibatnya dalam komunitas ini, sampai-sampai aku tidak segan untuk tidur di kantor atau
basecamp.

Komunitas B21, mereka disebut, karena terletak di Kompleks Perumahan Dosen UGM Bulaksumur No. 21. Dan bukan hanya aku, banyak mahasiswa lain yang demikian, sampai-sampai disepakati untuk membuat lemari untuk berang-barang pribadi sehingga tidak berserakan di sana-sini. Kurang-lebih tiga tahun aku menjalani kehidupan komunal bersama teman B21. Berangkat kuliah dari B21, pulangnya pun ke B21. Balik ke kos hanya untuk menukar dan mencuci pakaian. Bahkan, belakangan, ketika jasa
laundry dengan harga mahasiswa marak, lebih jarang lagi balik ke kos, karena baju kotor diantarkan ke tukang laundry.

Di tahun 2000, aku mulai mengalami anti-klimaks dengan kehidupan komunal. Aku mulai merasa tidak nyaman menginap di B21, intensitas kehadiranku di sana pun mulai berkurang. Aku juga pindah kos, sengaja aku menjauh dari kampus dan mencari rumah yang penghuninya tidak banyak. Aku temukan sebuah kos di sebelah utara Ringroad Utara, sekitar 3-4 kilometer dari kampus dan hanya tiga anak kos di sana, termasuk aku. Dengan harga yang tetap terjangkau pula, untuk ukuran masa itu dimana suhu krisis moneter masih terasa. Di kos itu aku menikmati masa-masa sarapan atau makan malam hanya bersama dua kakak kos dan satu penjaga rumah. Tak jarang di sore hari, aku menikmati menonton TV sendirian. Ini pun tak berlangsung lama, hingga akhirnya aku memutuskan mengontrak rumah kecil sendiri di kawasan Jogja selatan, sekitar 500 meter dari Ringroad Selatan.

Ketika menikah pun, sebisa mungkin kami--aku dan suami--berupaya untuk memiliki tempat kami sendiri, meski itu mengontrak dan diprotes mertuaku karena dianggap memboroskan uang; kenapa tidak tinggal saja bersama di rumah mereka yang cukup banyak ruang tidak terpakai. Meski akhirnya kami sempat menerima tawaran mereka demi alasan yang realistis, namun aku tetap merasa bahwa aku bukan manusia yang bisa menjalani kehidupan komunal lagi, dalam arti tinggal serumah dengan orang di luar keluarga intiku (baca: suami dan anak). Bahkan kita sempat mendiskusikan, semisal tinggal di Indonesia dan membutuhkan seseorang untuk membantu mengatur rumah, maka kami akan mengambil orang yang membantu paruh-waktu sehingga tidak tinggal di rumah kami.

Hingga kini, masih susah buatku menjelaskan secara detail mengapa aku tidak nyaman hidup komunal. Alasan praktisnya sih, jadi susah mengekspresikan cinta kepada suami, terutama, jika ada "orang lain" di sekitar kita, hehehehe. 'Kan segan juga sering-sering cium suami, sementara ada mertua, ipar, atau teman yang membantu mengatur rumah. Kalau sama anak sih tidak apa-apa, sekalian mengajarkan kepada mereka tentang bagaimana mengekspresikan emosi.

Di sisi lain, aku melihat adanya pola-pola ketergantungan yang terbentuk di antara sebagian warga rumah komunal terhadap yang lain. Ketergantungan dalam arti yang cenderung negatif maksudku. Aku tidak mengatakan semua orang yang tinggal bersama orangtuanya kemudian selalu tergantung pada mereka, karena aku menemukan juga beberapa kasus di mana meski tinggal serumah mereka memiliki kemandirian yang kuat; sementara ada kasus di mana hidup terpisah dari orangtua namun sangat tergantung dengan orangtua dan hanya fisik rumahnya saja yang "mandiri" tapi tidak dengan sikapnya.

Mungkin pengalaman hidupku yang mengajarkan padaku supaya tidak bergantung pada orang lain, sehingga ketika melihat sesuatu yang berpotensi menumbuhkan ketergantungan, aku jadi serta-merta menolaknya. Meskipun, tidak ingin bergantung berarti, konsekuensinya, harus siap sibuk! Hahahaha. Itu alasan aku memutuskan mengambil pekerjaan yang bisa aku kerjakan di rumah, saat ini. Entah tahun depan, entah tiga atau lima tahun lagi, bisa jadi aku akan kembali ke dunia kerja di luar sana.

Berangkat dari pengalamanku pula di masa remaja, pertemuan dengan nilai baru adalah sesuatu yang bisa jadi menarik, tapi bisa juga menjadi sesuatu yang "keras" menghantam kita. Dalam hal ini, pendidikan atau penanaman nilai-nilai dasar terhadap Kaila adalah menjadi kepedulianku dan Luca. Ketika tinggal bersama orang lain, tak jarang Kaila akan menemui nilai yang berbeda. Kalau nilainya cenderung positif sih tidak masalah, tapi kalau nilainya berjalan ke arah yang berbeda dengan nilai yang kami tanamkan, ehm ... ini dia tantangannya (*aku tidak mau menyebutnya repot). Dari hal-hal yang kecil; kenapa Kaila harus duduk di kursinya di meja makan ketika makan, sementara sepupunya boleh sambil mainan dan disuapi? Mengapa sepupunya yang seumuran masih boleh meminum susu dari botol sementara dia tidak? Hingga hal-hal yang lebih komplek, misalnya tentang nilai berbagi.

Aku, secara pribadi, memiliki pandangan sendiri atas nilai yang berbeda. Bagiku, setiap orang berhak meyakini nilainya sendiri. Meski aku tidak setuju dengan tindakan saudara atau teman, misalnya, yang lebih suka menyuapi anaknya daripada membiarkan anaknya makan sendiri, membuat kotor dan membersihkannya, tapi aku tidak akan mengatakan bahwa apa yang dia lakukan adalah tidak baik untuknya. Tidak baik untukku dan anakku, iya, tapi belum tentu untuk teman atau saudaraku itu. Ini kenapa aku lebih suka tinggal di rumahku sendiri, dengan keluarga intiku, sehingga aku tidak harus mengkonfrontasikan nilai-nilai di depan anakku; atau dianggap menyindir teman atau saudara karena aku menjelaskan nilai-nilai kami, yang kadang berbeda dengan nilai mereka, kepada Kaila di depan atau sekitar mereka.

Hingga detik ini, entah detik nanti atau esok hari, aku meyakini bahwa kehidupan komunal diperlukan demi mengajarkan banyak hal tentang nilai yang berkaitan dengan hubungan sosial, diantaranya nilai berbagi serta menghargai perbedaan dan hak orang lain. Itu salah satu alasan aku mengirimkan Kaila ke sekolah untuk batita, juga membawanya ke taman bermain setiap sore, juga mengenalkan kepada kelompok kesenian atau aktivitas lainnya. Sementara itu, kita juga membutuhkan ruang privasi kita untuk menanamkan nilai dasar hingga anak kita siap untuk bertemu dengan nilai-nilai yang berbeda. Ruang privasi bukan dalam rangka mengisolasi anak dari dunia nyata di luar sana, tapi meminimalkan keikusertaan pihak-pihak yang tidak berhak untuk memberikan pendidikan nilai dasar kepada anak kita, karena kitalah--orangtua--yang berhak dan bertanggungjawab untuk itu.

Catatan: secara pribadi, aku kagum pada orang-orang yang mampu hidup di rumah komunal, karena untuk hidup komunal membutuhkan rasa toleran dan ketabahan yang tinggi. Lebih salut lagi pada mereka yang bisa tetap mandiri di dalam atau di luar rumah komunal :)

Friday, June 25, 2010

Zona Nyaman

Apakah sebenarnya zona nyaman itu? Pada apa dan seberapa luas, dalam, atau tinggikah zona nyamanmu? Pada tingkatan apa zona nyaman itu bermanfaat atau, sebaliknya, membuat kita tidak produktif?
Pertanyaan ini muncul Minggu malam (6 Juni 2010), ketika aku berada di stasiun kereta di Borgo San Lorenzo, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar 25 km dari Florence, dalam perjalanan pulang ke Florence setelah kami menghabiskan sore hari dan senja di kota itu. Stasiun ini kecil, tapi lalu lintas penumpang lumayan ramai jika dibandingkan dengan ukuran fisiknya. Kami tiba di stasiun 45 menit sebelum jadwal kereta tiba, sengaja untuk singgah di bar dan mengajak Kaila mengenal lebih jauh tentang stasiun kecil ini.


Ketidaknyamananku bermula ketika seorang remaja masuk ke dalam bar, berjalan limbung, dengan sebotol bir di tangannya. Sementara itu, Kaila sibuk meminta es krim, yang sebenarnya dia baru saja memakannya setengah jam sebelumnya yang kami beli di toko spesialis es krim. Perhatianku mulai terpecah, antara menjelaskan kepada Kaila bahwa dia tidak bisa memakan es krim lagi dan memperhatikan remaja mabuk tadi. Berjaga-jaga, lebih tepatnya, sebab Si Pemuda ini berjalan ke arah kami. Meski ada seorang pramusaji sedang berdiri di dekat kami, yang aku percaya dia akan membantu jika Si Pemuda berulah, tetap saja aku merasa tidak aman. Terlebih ada Kaila bersamaku.


Akhirnya kami berhasil keluar dari bar, duduk bersama Luca di kursi di depan bar. Setelah menghabiskan minuman ringannya, Luca mengajak Kaila ke bagian selasar stasiun untuk melihat sebuah kereta yang sedang diparkir di sana. Tinggallah aku dan kereta dorong Kaila, sambil sesekali melongok ke dalam bar, memperhatikan Si Pemuda. Melihat gelagat dia akan berjalan keluar, segera aku mengambil tas punggung, berjalan menuju Luca dan Kaila sambil mendorong kereta Kaila. Bahkan tanpa Kaila di dekatku pun aku merasa tidak aman.


Di ruang tunggu belum banyak orang. Hanya ada sekelompok lelaki yang ribut karena mereka kurang paham dengan jadwal kereta yang harus mereka naiki. Sekitar 10 meter dari mereka, kulihat seorang lelaki sedang berkemas. Dia berpakaian lusuh (kalau tidak dikatakan kumuh) dengan sebuah tas besar yang diletakkan di sebuah kereta dorong; khas gaya orang yang tidak punya rumah seperti yang banyak aku lihat di Roma. Tahun lalu, ketika aku ke Roma, aku melihat beberapa orang tak berumah yang melengkapi dirinya dengan kereta dorong belanja--seperti yang ada di supermarket--untuk menyimpan barang-barang mereka. Macam itulah yang aku lihat malam itu di stasiun Borgo San Lorenzo, hanya saja keretanya lebih kecil.


Luca masih mengajak Kaila berkeliling, menjelaskan ini-itu, mengajaknya bercanda, sementara aku sibuk dengan rasa cemasku. Ya, rasa cemas! Sudah lama aku tak merasakan sensasi ini di ruang publik. Saat Luca dan Kaila menjauh dariku, maka aku akan segera menyusul mereka, atau berpindah ke ruang tunggu bagian dalam di mana lampu menyala terang dan ada satu keluarga dengan empat anak mereka. Ah, aku lumayan merasa aman di sini.


Tak berapa lama, masuklah Si Lelaki Berkereta ke ruang tunggu bagian dalam. Dia bertanya sesuatu kepada si Bapak Beranak Empat yang kemudian dijawab dengan agak kasar, "Saya tidak tahu!" Si Lelaki Berkereta kembali mengulang pertanyaannya dan kembali dijawab dengan kasar, "Tinggalkan kami sendiri!" Si Lelaki Berkereta pun meradang. Dia keluar dari ruang tunggu dengan mengomel dan menunjuk-nunjuk kepada Si Bapak Beranak Empat. Kulihat dia menuju bangku di mana dia tidur sebelumnya, mengemas barang-barangnya dan memasukkannya ke keretanya. Dia masih saja mengomel, mengata-ngatai Si Bapak Beranak Empat, bahkan menyinggung betapa orang Italia tidak lagi bermoral, dan masih banyak umpatan lainnya.


Maka aku pun kembali mencari Luca dan Kaila. Kami menjauh dari keriuhan, mulai membicarakan (atau mendiskusikan, seriusnya) situasi ini. Aku memunculkan tentang sensasi "tidak aman" yang aku rasakan. Dari sudut pandang lain, aku mengatakan, "Ehm ... aku terlalu nyaman di 'zona nyaman'-ku." Ya, zona nyaman. Pertanyaan lebih jauhnya, zona nyaman yang mana?


Merujuk pada Wikipedia, zona nyaman didefinisikan sebagai
"..the set of environments and behaviours with which somebody is comfortable, without creating a sense of risk". Bisa jadi selama ini aku dimanjakan oleh pekerjaanku yang memfasilitasi perjalanan-perjalanan dengan fasilitas "mewah": pesawat terbang, kereta eksklusif, mobil sewaan pribadi, hotel berbintang, rumah tamu (baca: guesthouse); yang membuatku kurang mengakses ruang publik "yang sebenarnya".

Malam itu juga alarm di kepalaku berbunyi. Jika dugaanku itu benar, bahwa selama ini aku termanjakan oleh pekerjaan atau dukungan lainnya, maka aku harus keluar dari kemanjaan itu, dari zona nyaman itu. Pada situasi tertentu, memang zona nyaman adalah menyenangkan, menenangkan. Akan tetapi, ketika zona nyaman ini berubah menjadi sebuah kubus yang melenakanku, maka sudah saatnya aku harus keluar darinya. Hidup tak akan berwarna tanpa resiko, bagiku. Mungkin karena pandangan ini aku jadi sering melakukan hal-hal yang beresiko, bahkan kadang berlebihan mungkin.


Kembali ke soal "zona nyaman". Aku tidak akan bicara tentang apa yang sebaiknya dilakukan setiap orang dengan zona nyamannya, karena setiap orang adalah unik, maka--diharapkan--mereka lah yang paham dengan zona mereka. Aku termasuk orang yang kurang menikmati zona nyaman dalam waktu lama. Aku lebih suka keluar dari zona nyaman, ketika dia sudah cukup membantuku menenangkan diri dan mengenali diriku. Memang membutuhkan kerja keras untuk keluar dari zona nyaman ini. Keluar dari zona nyaman berarti bertemu dengan orang, karakter, dan hal-hal baru lainnya, yang membutuhkan kerja keras untuk mengenali, mempelajari, mencernanya, dan mengambil sikap atas hal-hal baru tersebut. Kadang melelahkan memang. Tapi manfaatnya, aku merasa semakin kaya dengan pengalaman dan pengetahuan. Kalau dalam bahasa para tokoh agama, "Mereka yang mampu melalui setiap ujian dalam hidup adalah mereka yang akan naik kelas, akan ditinggikan derajatnya di mata Tuhan," kalau aku mau menyebut pertemuan dengan hal-hal baru ini sebagai sebuah ujian.


Nah, apakah kita (termasuk aku) mengenali betul zona nyaman kita dan memahami bagaimana kita akan menyikapinya? Kita bisa saling belajar, tapi keputusan sikap mana yang akan kita ambil, kembali pada kita tentunya.


*Dari ini pula aku mulai merajut ide-ide untuk keluar dari zona nyamanku ini. Mungkin
backpacker trip bisa menjadi ide menarik untuk membawaku kembali turun ke bumi (alah, KLA banget). Dan mungkin sebenarnya mencoba menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya juga bisa menjadi bentuk treatment yang menantang untukku. Ya, ibu rumah tangga. Siapa tahu? ;)

Ini Toko Buku dan Ruang Seni (untuk) Anak-anak

Rabu, 3 Maret 2010.

Mudah sekali menemukan toko buku ini di pusat kota Florence, Italia; dari Piazza (Alun-alun) San Marco, ambillah Via (Jalan) degli Arrazieri, yaitu ke arah barat dari San Marco. Di persimpangan pertama, kau akan menemukan Via San Gallo, ambillah jalan yang ke kiri. Susuri Via San Gallo sekitar 100 meter, maka kau akan melihat sebuah toko buku di sebelah kana, Libreria Libri Liberi. Dari etalase depan, toko ini tampak biasa saja dan tidak terlalu luas. Satu hal yang membuatku tertarik, banyak buku dan mainan kreatif untuk anak-anak yang dipajang, bukan buku untuk orang dewasa seperti yang biasa ditampilkan toko buku lainnya.


Minggu lalu, aku, Kaila, dan Nonno (Kakek) Maurizio singgah di toko buku ini untuk membeli peta. Kaila yang memang doyan buku langsung mengikuti instingnya untuk menjelajah toko buku ini. Tidak puas hanya mengeksplorasi bagian depan, Kaila mulai berjalan ke belakang. Ia sempat terhanti sejenak, tampak ragu atau mempertimbangkan apa yang ingin dia lakukan selanjutnya. Ia berbalik mendatangiku dan menarik tanganku, "Sini, Mamma, sini!"

Memasuki bagian tengah toko buku ini membuatku takjub. Semuanya buku tentang dan untuk anak-anak! Tak hanya itu, di sebuah ruang aku temukan juga banyak mainan kreatif untuk anak-anak; puzzle, kubus-kubus angka dan huruf, juga boneka-boneka dan panggungnya. Ah, langsung aku teringat seorang teman di Yogya yang menetapkan dirinya untuk membangun dunia yang lebih baik dengan teater boneka-nya. Kaila terus menarikku ke belakang, ke ruangan di man
a di sana terdapat buku-buku untuk anak-anak yang lebih besar, usia sekolah dasar lah. Dan Kaila masih saja menuntunku memasuki toko ini makin dalam, hingga kami sampai di bagian paling belakang di bangunan utama ini. Di ruangan yang hampir paling ujung ini aku menemukan berbagai buku tentang seni yang ditulis untuk anak-anak. Kulihat juga sebuah papan tulis dan beberapa set meja dan kursi, tampaknya ruangan ini siap diubah menjadi ruang kelas sewaktu-waktu. Di paling ujung aku lihat sebuah ruangan kecil yang digunakan sebagai kantor administrasi toko.

Kaila sibuk melihat-lihat buku, sementara aku terus mengeksplorasi toko ini. Di bagian belakang bangunan utama, aku lihat sebuah halaman yang cukup luas dengan pepohonan yang cukup rindang. Wah, kawasan hijau di belakang sebuah toko, menyenangkan sekali! Dan, akhirnya, sebuah boneka ayam jantan menarim perhatianku. Ia ditempatkan di pojok halaman, di bawah sebuah gazebo (yang belakangan aku ketahui itu bukan gazebo, melainkan teras dari sebuah ruang tambahan dari kompleks toko buku ini yang digunakan untuk berbagai pertunjukan untuk anak-anak.


Oleh karena tujuan jalan-jalan kali ini adalah untuk menemani Nonno Maurizio
, maka aku berjanji kepada Kaila untuk mengajaknya kembali ke sini suatu hari nanti. Sebelum meninggalkan toko, aku bertanya kepada seorang perempuan yang ada di kasir, tentang toko buku ini dan aktvitasnya. Ia menjelaskan bahwa toko buku ini memiliki jadwal rutin pertunjukan teater atau panggung boneka untuk anak-anak, juga aktivitas kreatif dan seni untuk anak-anak. Ia memberikan selembar kertas yang berisi jadwal program bulan Maret 2010. Aku menyimpannya di dalam tas, mengucapkan terima kasih dan salam. Tak lupa aku berkata kepada Kaila, "Kita pasti akan kembali ke sini, Nak!"


Minggu, 7 Maret 2010.


Hari ini udara cukup dingin, meski matahari bersinar terang seharian. Sore hari, setelah Kaila bangun dari tidur siangnya, kami mengajaknya ke untuk melihat pertunjukan teater (untuk) anak di Libreria Libri Liberi, seperti janjiku. Aku lihat di kertas program, hari ini pertunjukannya tentang seorang kaisar yang gemar berganti-ganti baju. Aku tidak tahu pasti teater ini akan dimainkan seperti apa, dengan boneka ataukah diperankan oleh orang-orang.


Kami berangkat menggunakan bus no 1B yang melewati tepat di depan apartemen kami. Turun di Piazza San Marco, dalam 5 menit kami sudah tiba di Toko Buku Bebas dengan berjalan kaki. Di dalam toko tampak sekitar 10 anak-anak bersama orang tua mereka. Seorang laki-laki di kasir mengabarkan bahwa pembelian tiket untuk teater akan dibukan lima menit lagi. Secara otomatis aku melihat jam tanganku, pukul 16.45, ehm semoga mulai tepat waktu. S
ementara itu, Kaila dan Luca sudah mulai menjelajah toko buku. Kaila yang sebelumnya sudah pernah ke sini bertindak lebih aktif , dengan menyentuh dan mengambil beberapa buku atau mainan. Sedangkan Luca yang baru pertama kali, dia tampak terkagum-kagum, sama sepertiku ketika datang ke toko ini beberapa hari lalu.

Di bagian belakang toko, aku melihat beberapa orang tua berkumpul. Ternyata mereka mulai mengantri untuk membeli tiket. Aku pun mengambil posisi di sana. Kami harus membayar 7 euro untuk satu tiket dewasa dan 5 euro untuk satu tiket anak-anak.
Yang sudah membeli tiket dipersilahkan memasuki sebuah bangunan kecil di pojok halaman belakang, yang di awal terasnya aku kira sebagai sebuah gazebo. Ruangan ini tidak terlalu besar, sekitar 6x10 meter dengan sebuah panggung di satu sayap dan deretan kursi di sepanjang dinding pada sayap yang lain.

Seorang narator yang mengenakan jubah sebagai kostumnya sedang berbicara dengan beberapa anak dan orang tua. Ternyata ia sedang mengajak anak-anak untuk ikut bermain. Ia mencari dua anak yang bisa membaca, karena ada adegan yang harus menggunakan percakapan. Juga dua anak lainnya untuk memerankan dua petarung untuk sebuah adegan pertaru
ngan dalam sebuah sayembara. Oleh karena hanya bisa menemukan satu anak yang bisa membaca, akhirnya dua orang tua menjadi sukarelawan untuk ikut bermain. Si Narator juga mengajari anak-anak yang lain beberapa gerakan dan kalimat yang harus dilakukan dan diucapkan selama pertunjukan nanti. Wah, aku semakin penasaran dengan teater partisipatif ini, hihihihi.

Kaila masih malu-malu, dia minta duduk dengan Luca di kursi penonton. Lima menit kemudian ia mengajak Luca duduk bersama anak-anak lainnya. Mulailah Si Narator membuka cerita tentang seorang Kaisar yang gemar berganti pakaian, paling tidak tiga kali sehari: untuk aktivitas pagi, siang, dan malam. Di panggung diletakkan tiga buah kostum yang dibuat dari kertas warna-warni, digantung dengan sebuah tali. Tak lama kemudian keluarlah seorang perempuan yang memerankan Kaisar. Ia mulai bermonolog dengan sesekali memasukkan lengannya ke lengan baju seolah-olah ia sedang mengenakan baju-baju itu.


Baju pertama yang dikenakan adalah pakaian berburu. Kaisar ingin memburu rub
ah yang nakal dan sering mengambil makanan dan mainan anak-anak. Kaisar turun dari panggung dan mengambil sebuah kuda-kudaan (hampir serupa dengan kuda lumping, tapi terbuat dari kayu). Lalu ia mengajak anak-anak untuk membentuk pasukan berkuda untuk mengejar rubah. Kaila menarikku, ia mau ikut dalam barisan itu, ia berlarian bersama yang lain sambil sesekali menirukan adegan pasukan berkuda. Ia juga menanyakan, "Mana si Rubah?" Aku menjelaskan bahwa si Narator memainkan peran sebagai rubah, tapi Kaila tetap bertanya. Mungkin karena si Narator tidak mengenakan kostum rubah, sehingga Kaila tidak mengenalinya.

Kaisar kemudian mencoba mengenakan baju kedua, namun tiba-tiba ia bersin. Ternyata ia alergi terhadap daun yang dipasang sebagai aksesoris baju itu. Ia beradegan bersin-bersin yang membuat anak-anak tertawa. Baju ketiga aadalah baju pesta. Di adegan ini, anak-anak diminta berdiri dan berdansa bersama-sama dala
m sebuah lingkaran. Kaila mendesak-desak maju untuk ikut, tidak ada satupun yang memberikan tangan padanya, hahahaha tapi ia tetap gembira dan menari di luar lingkaran.

Singkat cerita, Kaisar menginginkan pakaian yang lain daripada yang lain. Dua orang penjahit (salah satunya diperankan oleh anak yang bisa membaca) sedang menyiapkan sebuah baju. Ketika dicobakan ke Kaisar, mereka mengurangi beberapa bagian, sampai akhirnya ... si Kaisar tak berbaju sama sekali! Si pemeran kaisar keluar panggung dengan memasang sebuah gambar tubuh tanpa baju. Semua anak tertawa. Dan, Kaila, apa yang dia lakukan?


Dalam adegan dua orang penjahit, Kaila naik ke atas panggung, ia mendatangi si Narator dan bertanya tentang si rubah yang tak pernah ia lihat. Karena si Narator sedang sibuk menarasikan cerita, tentu saja ia tidak bisa menjawab pertanyaan Kaila. Kaila langsung berbalik, ma
sih di atas panggung dia melakukan "orasi", "Katanya ada rubah, tapi kok tidak ada? Mana? Mana?" dengan menggerak-gerakkan tangannya, hahahahaha. Hingga si Kaisar keluar dengan kostum bugilnya, Kaila masih di atas panggung, dia tidak mau turun sama sekali. Ia tidak tampak malu atau takut dengan keriuhan di depannya, di depan panggung. Ia baru mau meninggalkan area panggung setelah pemeran kaisar menjelaskan padanya bahwa si rubah tidak ada lagi, melarikan diri karena diburu oleh pasukan berkuda.

Benar-benar aku tak menyesal membawa Kaila ke tempat ini. Setelah hampir tiga minggu di rumah karena bronkitisnya, ternyata Kaila memang merindukan sebuah pergaulan dan menampilkan diri, hehehehe. Usai acara dan setelah bercakap-cakap sedikit dengan para pemain, kami keluar dari ruang pertunjukan. Kaila masih menyempatkan diri singgah dan mengambil satu buku saku tentang Gadis Berkerudung Merah kesukaannya (yang paling disuka menurutku, karena di rumah dia sudah memiliki dua buku dan satu dvd tentangnya :D).


Senang rasanya bisa mulai mengenalkan seni dan kreativitas ke Kaila. Di rumah kami mengenalkannya dengan beberapa alat musik, namun itu tak bertahan lama, kecuali dia suka berdendang dan bergoyang (menyanyi dan menari). Di teater anak ini dia bisa melakukan keduanya, bahkan juga ikut bermain peran; perannya sendiri, tentunya ;)


Program Teatro dell Gallo Maret 2010
http://www.libriliberi.com/images//programma%20marzo%202010.pdf

Facebook Toko Buku Libri Liberi: Libri Liberi

Pendidikan usia dini: mendidik atau menciptakan super kid?

Catatan: tulisan ini pernah dimuat di akun facebook tanggal 14 November 2009

Sebenarnya, pertanyaan ini sudah lama muncul di kepalaku. Makin mengeras ketika keponakan atau anak sahabat mulai masuk "sekolah". Ya, sekolah, demikian mereka menyebutnya. Fenomena sekolah untuk mencetak anak-anak cemerlang, atau "super kid", semakin menguat beberapa tahun belakangan [maaf, kapan tepatnya aku belum sempat mencari tahu lebih jauh, dan karena tulisan ini sifatnya sharing alias curhat, ya bagi yang mengetahuinya silahkan berbagi :)]. Sebagian orangtua di Indonesia pun terlanda euforia sekolah yang konon menawarkan gagasan penciptaan super kid. Euforia ini tidak hanya melanda wilayah swasta, melainkan juga sebagian sekolah negeri. Cirinya, mereka melakukan tes terhadap anak yang akan masuk ke sekolah tersebut. Di beberapa sekolah dasar (negeri), mereka mengetes apakah si anak sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung; dan ini akan menjadi salah satu pertimbangan untuk menerima mereka atau tidak di sekolah itu. Yang lancar tentu akan masuk urutan teratas dalam daftar penerimaan, yang grathul-grathul (jawa: belum lancar, tapi bisa) paling tidak akan ditaruh di peringkat tengah. Nah, yang tidak bisa?! Silahkan berdoa banyak atau menyerahkan amplop yang lebih tebal untuk sumbangan (atau sogokan?) agar bisa diterima di sekolah yang diinginkan.

Model seleksi seperti ini menurutku mengingkari salah satu hakikat praktik pendidikan, yaitu membuat yang tidak bisa menjadi bisa. Kalau begitu, yang tidak bisa akan selamanya tidak bisa, kan? Kontradiktif atau bahkan ironis menurutku, kalau dikembalikan ke tujuan praktik pendidikan tadi.

Tanpa bermaksud mengagungkan sistem di Eropa, karena sebenarnya ini juga kita bisa temukan di beberapa sekolah "alternatif" di Indonesia (TK Salam-Yogyakarta, Kandang Jurang Dik Doank, Sekolah Alam Bogor), aku mendapatkan sebuah temuan yang cukup mengejutkan buatku. Dua orang keponakan masuk sekolah dasar tahun ini. Aku memberikan hadiah buku cerita bergambar dengan kalimat cukup panjang namun sederhana. Aku berpikir bahwa itu akan menjadi teman buat mereka untuk lebih rajin membaca. Orang tua mereka mengucapkan terima kasih, tapi, "Dia belum bisa membaca," kata mereka. Ah, begitu ya?

Tentu kemudian aku membandingkan dengan anak-anak di Indonesia, sebagai referensiku. Salah satu keponakanku, yang sekarang sudah duduk di bangku SMP, sudah "lancar" membaca waktu usia 5 tahun, anak temanku sudah bisa berhitung (penambahan dan pengurangan) waktu usia 6 tahun. Tapi dua keponakan di sini, dan juga sebagian besar anak-anak lainnya di sini, mereka bahkan belum hapal 26 abjad atau baru bisa berhitung 1 sampai 20. Ternyata, di scuola materna"(taman kanak-kanak), mereka memang tidak diajari membaca, menulis, dan berhitung. Di sekolah, dimana mereka tinggal dari jam 8 pagi sampai tengah hari atau 3 sore setiap harinya itu, mereka lebih banyak bermain, bernyanyi, olahraga, berkesenian, atau aktivitas lainnya yang sifatnya lebih mengasah saraf motorik, nalar berkesenian, dan naluri bersosialisasi. Membaca, menulis, dan berhitung akan mereka jalani di sekolah dasar. Tidak masuk setiap hari pun tidak apa-apa, ketika si anak malas ke sekolah dengan alasan tertentu, misalnya. Dari situ beberapa anak belajar tentang rasa rindu bertemu teman, menyadari bahwa mereka butuh untuk bersosialisasi dengan orang lain, dalam bahasa kita orang dewasa. Banyak absen bolong tidak akan memengaruhi banyak poin mereka dalam penilaian semester.

Untuk masuk sekolah dasar, orang tua di sini tidak perlu berdebar-debar, khawatir anaknya tidak diterima di sekolah dasar yang mereka inginkan. Kalaupun harus daftar jauh hari (setiap Februari untuk tahun ajaran berikutnya yang dimulai September), itu lebih karena sekolah harus mengajukan anggaran ke pemerintah, bukan dalam rangka penyaringan. Kalaupun si anak belum bisa diterima, itu lebih karena usianya belum mencukupi, bukan karena ia tidak bisa membaca atau berhitung.

Akan tetapi, satu hal, setiap model pendidikan tentunya tidak serta-merta cocok di semua tempat. Bagus di sini, belum tentu bagus di Indonesia, misalnya. Alternatif di Indonesia, belum tentu juga menjadi alternatif atau brilian di belahan lain di dunia. Yang pasti harus kembali ke hakikat pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia, bukannya menciptakan super kid.

Mengirim Anak ke "Sekolah" Sedini Mungkin: untuk Apa dan untuk Kepentingan Siapa?

Catatan: artikel ini pernah dipasang di akun facebook tanggal 14 Januari 2010.

Aku bukan psikolog anak, bukan juga pakar pendidikan. Seperti tulisan yang lalu, kesan dan pandanganku di sini adalah berangkat dari kegelisahan dan pengalaman personalku, kerabat, atau teman (siapapun yang merasa kalimatnya atau pengalamannya dicuplik dan dirasa kurang pas, silahkan memberikan komentar ya).

Berawal dari keinginanku dan suami untuk mengirimkan Kaila ke l'asilo (tempat penitipan anak atau baby daycare) karena melihat Kaila belakangan kekurangan teman, dalam pandangan kami. Tiap hari dia hanya bermain dan beraktivitas denganku, papanya, atau kakeknya. Sejak sepupunya, Greta dan Maurizio, masuk sekolah, mereka hanya bisa bertemu setiap akhir pekan. Papa dan kakeknya sering mengajak Kaila jalan-jalan di pagi hari setelah sarapan, namun, lagi-lagi, yang banyak dijumpai di jalanan atau ruang publik lainnya hanyalah orang-orang tua. Tidak banyak lagi anak-anak, termasuk balita, yang bermain di luar saat jam sekolah.

Dalam pandangan kami, saat itu, Kaila butuh teman bermain yang sepantaran. Tentu akan beda rasa dan dampaknya terhadap Kaila jika bermain dengan teman sepantaran atau anak-anak yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang tua. Ya itulah pandangan kami. Untuk itu, kami mengirimkan Kaila ke l'asilo,
dengan tujuan utama memberikan ruang padanya untuk bersosialisasi.

Ketika kami mengajaknya untuk melihat-lihat dua tempat kelompok bermain, dia menunjukkan ketertarikan yang tinggi. Dia langsung melakukan observasi dengan berkeliling hampir seluruh bangunan, keluar-masuk ruang-ruang kelas, dan mulai bereksplorasi dengan mainan dan buku yang ada. Hari pertama sekolah, Kaila menangis ketika kami tinggal dan sekitar satu jam berikutnya kami mendapat telepon dari gurunya yang memberitahukan bahwa Kaila menangis kuat. Maka kami datang untuk mengambilnya. Malamnya, kami bertanya mengapa ia menangis di sekolah tadi; Kaila menjawab, "Mamma-Papa pergi." Lalu kami mulai menjelaskan dan menceritakan seperti apa sekolah, apa yang bisa dia lakukan di sana untuk menyenangkan dirinya, dan cerita lain yang kami harap bisa membangkitkan semangatnya.

Hari kedua, dia tidak menangis ketika ditinggal, karena gurunya menutup pintu ketika dia sedang sibuk bermain. Selang dua jam, kami kembali untuk melihat perkembangannya. Ketika melihat kami datang dia langsung menangis keras, dia bilang, "Pintunya ditutup!" Begitu keluar dari gedung sekolah, dia sudah ceria lagi dan berlari-lari.

Hari ketiga, kami mencoba meninggalkannya lebih lama, mulai jam 9.30 hingga 12.00. Meski, menurut gurunya, Kaila menangis lebih jarang dan tidak lagi terisak-isak, namun ia tetap menangis begitu melihat kami datang menjemput.

Hari keempat, kami mencoba meninggalkannya hingga makan siang tiba. Ketika kami datang, ia sedang sibuk makan. Gurunya memuji Kaila karena sudah bisa makan sendiri dan menghabiskan semua makan siangnya, komplit! (mungkin kelelahan karena menangis membuatnya merasa sangat lapar hahahaha). Ketika melihat kami, kembali ia menangis dan meminta dipakaikan jaketnya dan berjalan cepat menuju mobil.

Hari kelima, ketika kami memarkir mobil, Kaila sudah buru-buru mengatakan, "L'asilo no!", tapi kami tetap membujuknya. Gurunya mengambilnya dari belakang dan mengalihkan perhatiannya sementara kami meninggalkannya.

Sepanjang perjalanan, setiap hari, aku dan Luca mendiskusikan hal ini. Pertanyaan-pertanyaan: kira-kira mengapa Kaila menangis, bagaimana ia menangis (benar atau pura-pura, secara Kaila sudah bisa berpura-pura menangis), bagaimana sikapnya sebelum dan sesudah menangis, bagaimana sikapnya di rumah ketika kami tanyai tentang sekolah dan teman-temannya, terus-menerus kami perbincangkan. Satu hal yang kami sepakati, Kaila tidak mengalami trauma atas sekolah. Dia tidak tampak ketakutan kalau diajak bicara soal sekolah atau mendapat mimpi buruk tentang sekolah. Di rumah atau bahkan sekeluarnya dia dari bangunan sekolah, masih di halaman sekolah, ia sudah tampak ceria lagi, sambil mencoba menceritakan apa yang dia lakukan atau alami di sekolah. Meski demikian, momen-momen di mana ia menangis, bahkan kadang sampai terisak-isak, merupakan momen yang menguras emosi, bagi kami bertiga tentunya. Aku selalu berusaha menguatkan hati untuk ini. Begitu juga Luca. Tapi bagaimana dengan Kaila? Secara kasat mata dia tampak ceria ketika di luar sekolah (dalam artian fisik), tapi siapa yang tahu apa yang sebenarnya yang dia rasakan atau pikirkan. Aku hanya menggunakan insting sebagai ibu, tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk mendalami perilaku anakku secara psikologis.

Hari ini, aku dan Luca kembali mendiskusikan pengiriman Kaila ke l'asilo. Kami memutuskan untuk melihat perkembangan hingga minggu depan, apakah ada perkembangan positif atas sikap atau kondisi psikologis Kaila di sekolah. Jika ia mengalami peningkatan; lebih jarang menangis, mulai menikmati sekolah, meski itu hanya sedikit sekali, tak apa, karena mungkin dia memang tipe pembelajar yang membutuhkan waktu lama untuk mencerna sesuatu yang baru. Jika ini terjadi, maka kami akan tetap melanjutkan pengiriman Kaila ke sekolah. Akan tetapi, jika tidak ada peningkatan atau bahkan terjadi penurunan, maka kami akan menariknya dari sekolah. Artinya, memang Kaila belum siap masuk sekolah, untuk bersosialisasi dengan komunitas yang lebih besar secara terus-menerus.

Tentu ada pekerjaan rumah lainnya, untuk mencari tahu mengapa Kaila merasa tidak nyaman di sekolah, baik secara internal (kami) atau eksternal (sekolah). Juga perlu mencari jawaban, sebenarnya untuk apa kami benar-benar ingin mengirimkannya ke sekolah. Kami khawatir jika ini hanya keinginan kami, bukan Kaila. Bisa jadi kami merasa senang dan bangga ketika bercerita ke teman atau kerabat bahwa Kaila sudah masuk l'asilo. Atau bangga karena bisa mengirimkan Kaila ke l'asilo milik kesusteran yang harus membayar 100 euro per bulan itu, seperti yang dipikirkan beberapa orang tua di kota ini (karena taman kanak-kanak negeri tidak laku karena mereka tidak menunjukkan prestise karena gratis!).

"Jadi, Kaila, masihkah kau mau ke l'asilo? Jika kau suka, maka kami akan dengan senang hati menemani dan menjemputmu setiap hari. Jika itu membuatmu tersiksa, maka nikmatilah waktumu di mana kau mau, kita akan menemukan cara lain untuk membantumu bersosialisasi. Mamma dan Papà mencintaimu apa adanya, be a happy kids, we don't want a superkid!"

Thursday, June 24, 2010

Mengapa Jalan-jalan?



Jalan-jalan, demikian orang Indonesia menyebutnya. Travelling kalau kata orang Inggris atau english speakers lainnya. La passeggiata (baca: la passejiata) atau il viaggio (baca: il viajjio) atau la gita (baca: la jita), demikian orang Italia bilang. Tapi Bapak atau Ibu atau (alm.) Mbah Uti (baca: nenek, bahasa jawa) bilang kelayapan atau keluyuran, ketika mereka kesal atau gemas dengan aku yang suka jalan-jalan ini, hehehe.

Menariknya, untuk orang Indonesia, "jalan-jalan" tidak sekedar bermakna harfiah 'bersenang-senang dng berjalan kaki (untuk melepas ketegangan otot, pikiran, dsb)' [dari: KBBI Daring], melainkan juga berkendaraan, apapun itu. Kata "jalan-jalan" kemudian merujuk pula pada 'melakukan perjalanan jarak dekat maupun jauh, dengan berjalan kaki ataupun berkendara, untuk sekedar melihat-lihat dan/atau disertai aktivitas lainnya (belanja, makan, dan lain-lain), (namun tetap dengan tujuan) untuk bersenang-senang' [definisi bebas dariku :D].

Kesukaanku kelayapan dimulai dari kebiasaan yang ditanamkan (alm.) ibuku yang hampir setiap akhir minggu mengajakku dan kakak-kakakku jalan-jalan. Mulai dari "sekedar" ke alun-alun Kota Malang dan diakhiri dengan membeli es krim di Malang Plaza; mengunjungi keluarga angkat ibu di Pasuruan yang biasanya disertai dengan acara ke kolam renang di sana; mengunjungi lokasi wisata yang bertebaran di seputar Malang dan Pasuruan; hingga "berburu" teman lama ibuku.
Ya, ibuku suka sekali menjalin pertemanan dan menyambung tali silaturahmi. Dua peristiwa yang aku ingat betul. Pertama, ibuku mengajakku ke Banyuwangi demi menemui seorang teman semasa dia sekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru), dengan berbekal alamat dari seorang teman lainnya. Kedua, ibuku berkenalan dengan seorang Bapak PNS (aku lupa Si Bapak ini guru ataukah pegawai lainnya) dalam perjalanan kami ke Jakarta dengan bis malam; ibuku menepati janjinya untuk berkunjung ke rumah Si Bapak PNS di Grati, dekat Pasuruan, yang sejak itu mereka berteman. Dari si Bapak Grati ini pula kami mendapatkan bibit jambu bangkok yang top tahun '80an itu.
Kegemarannya ini ternyata menurun benar di aku. Kalaupun jaman sekolah aku belum bisa benar-benar menyalurkannya, paling tidak aku 'melampiaskannya' dengan aktif di kegiatan ini-itu yang beberapa kali membuatku merasakan jalan-jalan. Dengan acara pramuka, membuatku bisa berkemah beberapa hari di Malang, sesuatu yang jarang-jarang untuk anak kampung sepertiku. Dengan gabung tim paduan suara dan menang lomba, kami dapat bonus jalan-jalan di Jakarta, sebuah kemewahan lainnya.

Pilihanku untuk mengambil kuliah di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pun tak jauh-jauh dari alasan jalan-jalan, alasan klasik masa itu. Namun demikian, mulai di tahun ketiga kuliah, aku memulai karirku di dunia penelitian dengan menjadi pekerja paruh waktu di sebuah NGO di Jogja. Di situ, aku banyak melakukan perjalanan ke desa-desa di seputar Jogja dan Jawa Tengah. Bukannya melakukan perjalanan internasional, malah interdesa, demikian seorang teman mengolokku. Hahahaha. Tak apa, pikirku saat itu, dimulai dari yang kecil, merasai pengalaman pernah menjadi "kecil" akan sangat bersyukur ketika kita mulai "besar. Dan bisa aku pastikan bahwa banyak pelajaran dan pengalaman yang aku dapati dari sekian ratus perjalananku ke desa-desa; bertemu, mengamati, berbicara, berbagi ilmu dengan orang-orang yang sebelumnya tidak berkesempatan untuk menyampaikan apa yang mereka pikirkan atau rasakan. Ternyata, banyak ilmu dan kebajikan dari pemikiran sederhana orang-orang di pedesaan.

Di tahun kelima di universitas--ya, di tahun kelima, karena hingga masa itu aku demikian menikmati perjalanan-perjalananku, hingga membuatku sedikit enggan kembali ke kampus, sebuah contoh yang kurang layak ditiru, meski aku tidak pernah menyesalinya--aku mulai mencoba bergabung di sebuah lembaga internasional, sebagai peneliti. Di sini, aku benar-benar memulai acara jalan-jalan yang lebih jauh, mengunjungi pulau-pulau lain di Indonesia, sesuatu yang masa itu tidak mungkin aku lakukan jika aku hanya lulusan biasa dan menjadi backpacker belumlah sepopuler sekarang. Pedalaman Kalimantan Tengah, Ternate, Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sulawesi Tengah, adalah perjalanan-perjalanan yang tercatat benar di kepalaku. Jika ditanya kenapa aku memilih menjadi peneliti, aku jawab, "Karena aku bisa menyalurkan kegemaranku jalan-jalan. Lumayan kan, jalan-jalan gratis, dibayari pula!" Hahahaha

Apa sih enaknya jalan-jalan hingga berbulan-bulan, jauh dari keluarga? Wuahhh, banyak alasannya. Pertama, merasakan sensasi menjadi pendatang di kampung orang. Kedua, mencari saudara di negeri orang, siapa tahu di masa depan ada kesempatan jalan-jalan sendiri kan ada yang dikunjungi dan diinapi, he3. Ketiga, bisa berpetualang mencari makanan baru. Lain-lainnya ya, alasan klasik, mengenal budaya yang beraneka ragam, mengunjungi beragam tempat menarik, bisa mengoleksi kain tradisional, dan lain sebagainya.

Banyak mengunjungi tempat baru merupakan sesuatu yang penting bagiku, secara pribadi. Dari situ aku bisa mengenal lebih dekat sesuatu yang selama ini hanya kulihat dari jauh, kudengar sayup-sayup, yang juga sempat terbangun stigma tertentu di kepalaku, yang bisa jadi belum tentu benar. Perjalanan-perjalanan ini membuatku lebih membuka mata, telinga, hati, dan pikiran atas banyaknya perbedaan di negeri kita dan juga dunia di luar sana. Pengalaman dan pengetahuan itu kemudian menempaku untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka, (belajar) untuk tidak mudah berprasangka, dan (belajar pula) untuk menerima perbedaan yang ada di sekeliling kita.

Kini aku sedang melakukan perjalanan baru, menjadi pendatang di kampung orang, tapi di "rumah"(home) sendiri :) Selamat jalan-jalan dan berpetualang juga untuk kalian, kemanapun dan untuk apapun itu!

Sunday, June 20, 2010

Mengapa Menulis?

[Catatan: Ini tulisan lama di akun facebook-ku dengan judul "Menulis untuk Mengukur Diri " . Aku pasang lagi untuk menyampaikan alasanku 'mengapa aku suka menulis' atau 'why i love to write' atau 'perche mi piace a scrivere'].

Kalau orang yang mengerti bahasa Jawa membaca judul tulisan ini, mungkin akan terbersit pertanyaan, “Cici iki kena apa, apane, kok isa nganti gatelen, nganti ngukur-ngukur, apa maneh njaluk dikukurke?” (terjemahan: Cici ini kenapa, apanya, kok bisa sampai mengalami gatal-gatal, sampai menggaruk-garuk, apalagi minta digarukkan?]
Bagi yang tidak paham kata ngukur dalam bahasa Jawa, tidak tertawa juga tidak apa-apa, karena tulisan ini tidak mengajak Anda untuk tertawa, tapi untuk “mengukur” itu tadi. Bisa juga mengukur dalam arti menilai, mengintropeksi, atau mengukur dalam dialek Jawa yang berarti menggaruk, tapi jangan mengukur layaknya terhadap kelapa ya, yang maksudnya memarut, bisa lecet-lecet seperti tanganku yang terlalu sering dicubit Kaila kalau menjelang tidur. Ah, tak perlu berpanjang kata dan berlebar kalimat soal (k)ukur-mengukur, bisa jadi gatal betulan nanti (gatal untuk memakiku tentunya, sambil bertanya, “Cici ini mau omong apa sih?!” sambil meng-klik opsi lain untuk menutup note-ku ini :D)

Aku ingin menulis ini untuk diriku dan teman-teman yang selama ini mengapresiasi tulisanku. Terima kasih, matur nuwun, grazie, thank you, sudah mampir dan membaca beberapa tulisan, baik itu berupa curahan hati, resep, cerita jalan-jalan, bahkan “sekedar” status di facebook ini. Apresiasi tidak harus selalu memberikan pendapat baik, tentu saja, namun dengan memberikan apreasiasi, paling tidak, dia telah membaca tulisanku, itu satu hal penting menurutku. Keinginan atau ketertarikan atas sebuah karya, yang diikuti dengan kesediaan untuk menikmatinya (mendengar, membaca, melihat, atau merasakan) merupakan bentuk apresiasi pertama yang patut diucapi terima kasih. Tanpa itu, seseorang tidak mungkin bisa memberikan pendapat, penilaian, atau pengukuran itu tadi, atas sebuah karya, termasuk tulisan. Jadi, terima kasih lagi ya!

Teman-teman, ini lho yang aku mau bilang soal menulis (akhirnya, masuk juga ke tema utama, hehehehe). Bagiku, menulis itu salah satu cara untuk mengukur diriku. Apanya yang diukur? Pengetahuan? Kedewasaan? Pemahaman peran sebagai perempuan? Atau tingkat kekeritingan rambutku yang sudah menjadi bawaan lahir namun mulai menunjukkan bakatnya saat aku duduk di kelas 4 sekolah dasar? (Baru tahu kan kalau rambut keritingku ini tidak “keriting” sejak bayi? hihihihi)

Semua bisa diukur dengan aktivitas menulis dan tulisan yang dihasilkan, tidak bisa tepat tentunya, karena—seperti aku tulis di atas—ini hanyalah salah satu alat ukur. Paling tidak, akan bisa membantu melihat diri kita dari satu, dua, atau tiga, atau juga lebih dari sisi diri kita.

Com’è mai? Kok bisa? Coba aku kupas satu-satu ya, layaknya mengupaskan apel, jeruk, nanas, atau membukakan coklat untuk Kaila; satu-satu dengan alat, teknik, dan proses yang berbeda. Awalnya aku suka menulis catatan harian. Sejak aku duduk di bangku SMP, ketika aku mulai naksir sahabatku, melihat kakak perempuan yang juga suka curhat di buku hariannya, dan aku mendapat buku harian lungsuran dari kakakku itu. Meski saat itu kadangkala aku masih suka bingung antara diary dan dairy, hahahaha.

Belakangan, ketika aku membaca kembali catatan-catatan itu, aku merasa bisa melihat kembali sejarahku. Bagaimana aku berjuang membangun hubungan dengan anggota baru di keluargaku, bagaimana aku belajar membangun hubungan asmara dengan laki-laki, bagaimana pasang-surut kepribadianku. Belakangan juga, aku menyebutnya sebagai dokumentasi hidupku.

Ya, dokumentasi. Dulu aku memang tidak memahami betul apa makna “dokumentasi”, selain film buram hitam-putih yang sering ditayangkan di TVRI dan seingatku aku menganggapnya tidak menarik. Ketika SMA, dokumentasi identik dengan tukang foto acara di sekolah atau urusan berkas-berkas yang harus ditata dan diurutkan supaya mudah ditemukan kembali. Itu semua dokumentasi, benar. Menulis, memotret, membuat film, itu adalah sebagian cara-cara mendokumentasikan sesuatu. Sejarah keluarga, riwayat pribadi dan/atau kepribadian, berkas-berkas organisasi, merupakan hal-hal yang perlu didokumentasikan alias obyek. Aku si penulis buku harian, Faisal Faiz si fotografer, Intan Bayu di sekretaris OSIS atau Andari si pembuat film dokumenter, kami adalah si pelaku pendokumentasian.

Lalu apa yang bisa diukur di sini? Ketika kita menuliskan sesuatu secara berkala, dengan teknik atau gaya apapun, kita akan bisa melihat sejarah kita. Sejarah kita saja (bukan Sejarah Perjuangan Bangsa, atau bisa juga lho kalau kita aktivis politik), syukur-syukur sejarah orang lain yang namanya mungkin berkali-kali kita sebut dalam tulisan kita. Dari buku harianku, aku menemukan sejarahku dan membantuku mengenal diriku. “Wah, aku dulu kalau sedih ternyata banyak makan ya? Buktinya, waktu putus pacaran, aku malah makan-makan di Mungil [catatan sebuah kedai makan anak muda yang terkenal di Lawang, Malang].” Atau, kita menyadari bahwa dari sekian cita-cita ternyata yang kesampaian baru satu, atau bahkan tidak sama-sekali, bukannya karena gagal, tapi karena memang memilih berbelok jalan. Tanpa membaca buku harianku, mungkin aku tidak bisa mengingat harapanku, kelakuanku, atau pencapaianku di masa lalu, karena keterbatasan ruang di otakku, tentu saja.

Apa lagi yang diukur dari menulis (atau juga bentuk dokumentasi lainnya)? Pengetahuan, pasti. Ketika aku kesulitan meneruskan kalimatku karena kehabisan kata, atau membahas hal-hal yang itu-itu saja, bisa jadi itu salah satu tanda aku kurang membaca, mengobrol dengan orang lain, atau menonton tontonan yang terlalu monoton. Menggunakan kosakata yang sama atau membahas tema yang sama berulang-ulang bisa berarti kita mahir di situ atau bisa juga menandakan kita gak mengalami kemajuan. Mau yang mana, ayo?! Jawab sendiri :p

Lagi, dengan menulis, dan juga memotret dan membuat video kali ini, aku bisa memantau perkembangan Kaila, yang berarti perkembangan kemampuanku juga dalam menemani Kaila belajar. Kali ini dengan teknik yang lebih beragam, lebih canggih! Hehehehe. Mulai dari membeli buku harian bayi, membuat album foto bertema dan berperiode, mengumpulkan hasil coretan Kaila (kalau yang kertas ya tinggal dimasukkan ke document keeper, tapi kalau yang di lantai atau tembok ya harus difoto atau divideokan dulu :D)

Manfaat yang lebih praktis, tentu saja aku bisa mengukur periode datang bulan atau berat badanku. Hahahaha. Yang pertama penting untuk perencanaan bikin anak, sementara yang kedua, panjang nih urusannya, bukan soal penampilan, tapi soal vitalitas tubuh dan kantong, hahahaha, tambah berat badan berarti tambah lamban bergerak dan tambah tipis kantong karena harus membeli baju baru yang ukurannya lebih besar!

Kalian punya kesan apa dengan menulis? Aku ingat beberapa teman SD, SMP, SMA, atau kuliah yang suka menulis. Iffah membuat puisi, Mbak Leni menulis cerpen atau karya ilmiah, Mbak Ida menulis cerpen, Sulis dan Pipin menulis untuk majalah SMA Puspita, Deasy yang suka curhat lewat puisi, teman-teman B21 yang suka corat-coret di Buneq (buku uneg-uneg), sementara aku di masa-masa itu masih berkutat dengan menulis surat cinta dan rancangan program atau laporan kegiatan OSIS, alah!

Kalau akhir-akhir ini aku suka menulis catatan perjalanan, cerita tentang Kaila, atau bahkan resep, itu bagian dari semangatku untuk mendokumentasikan hidupku terkini, setelah aku menyadari betapa pentingnya dokumentasi. Atau aku mencoba juga bercerita melalui beberapa foto atau video. Itu juga bagian dari menuliskan atau menggambarkan secara lebih nyata, supaya lebih dapat dilihat, dalam arti sebenarnya. Aku pikir, proses pendokumentasian tak harus njlimet alias rumit, lakukan dari hal kecil yang bisa aku lakukan. Menulis di organizer, oke. Kalau ingin menulis yang lebih panjang dan dalam, ya aku lakukan kalau punya waktu [seperti malam ini, setelah Kaila dan bapaknya terbenam di kamar]. Jikalau cuman punya waktu semenit untuk update status fb dan cerita sesuatu, itu juga bagian dari menyimpan memori, menurutku. Beberapa minggu yang lalu, aku membeli document keeper untuk menyimpan coretan-coretan Kaila. Buku-buku tulis Kaila juga aku simpan, meski bentuknya sudah tak berwujud. Kusimpan sampai nantinya bisa menemukan cara yang lebih praktis dan efisien untuk menyimpan sejarah Kaila, dan sejarahku dan Luca tentunya semenjak Kaila menjadi bagian dari hidup kami.

Dengan ini, aku ingin mengajak teman-teman untuk menulis, atau memotret, atau membuat video dengan hape, atau mengumpulkan coretan anak-anak kalian, meski itu cuma di sesobek kertas koran, sebagai bagian dari mendokumentasikan sebuah kehidupan. Atau bisa juga mengikuti cara beberapa orang untuk membuat biografi sendiri atau meminta bantuan para penulis biografi. Sehingga di masa depan, kita punya tulisan, foto, atau apapun itu yang bisa membantu kita mengukur diri untuk kemudian membuatnya lebih baik. Paling tidak untuk diri sendiri, karena kita tidak tahu apakah kita akan bisa menjadi pahlawan di masa depan; pahlawan yang sejarahnya dipedulikan orang, karena ada juga pahlawan yang tak dikenang sedikitpun.

Jadi, jangan malu untuk menulis!

Mengapa Jingga?



Orang Indonesia menyebutnya oranye atau jingga, dalam bahasa Inggris disebut orange, sementara orang Italia memanggilnya arancione (dari kata arancia yang berarti jeruk). Aku tak ingat lagi kapan tepatnya aku mulai menggilai warna yang dihasilkan dari perpaduan warna dasar merah dan kuning ini. Yang aku ingat, waktu itu aku sudah di Jogja, aku berkerudung saat itu, maka aku jadi gemar memiliki kerudung yang bernuansa jingga supaya cocok dengan kaos favoritku yang berwarna jingga gelap.

Kalau ditanya kenapa aku menyukainya, secara spontan aku akan menjawab, "Karena ia cerah dan aku terpengaruh untuk lebih bersemangat; lebih hepi dan membawaku tidak banyak mengeluh." Entah benar atau tidak, yang pasti aku tersugesti demikian saat itu dan hingga kini.

Belakangan, aku mencoba mencari makna filosofis warna jingga, mulai dari arti warna secara sederhana, atau yang berkaitan dengan mode, hingga analisis psikologis. Sebuah blog memuat arti warna-warna secara sederhana. Di sini, si pemilik blog tidak membedakan warna merah dan jingga. Menurutnya, warna merah dan jingga melambangkan kekuatan, kemauan, eksentrik, aktif, agresif, dan bersaing, selain juga memberikan pengaruh berkemauan keras dan penuh semangat. (Diambil dari http://hadeesign.wordpress.com/2008/06/09/arti-warna/)

Di sebuah website tentang mode, ditulisnya bahwa orange atau jingga mempunyai arti atau karakter gabungan antara warna merah dan kuning. Selain melambangkan kegembiraan, keberanian dan kekuatan seperti warna merah, juga melambangkan keagungan dan kehidupan, seperti warna kuning. Orange melambangkan kegembiraan dan keceriaan. (Diambil dari http://www.kursustatabusana.com/tentang-warna-2-orange/)

Sementara di sebuah website tentang pembuatan blog, si penulis mengaitkan pilihan warna latar belakang blog dengan karakter si pemilik blog dan juga efek psikologisnya bagi si penikmat blog. Menurutnya, jingga adalah warna yang sangat cerah dan membangkitkan semangat, fresh and natural. Seperti warna merah, jingga sangat aktif dan energik, namun tidak mencerminkan amarah seperti merah. Tetapi sebaliknya, jingga adalah sebuah simbol kebahagiaan yang mewakili sunshine, antusiasme, dan kreativitas. Jingga juga merangsang metabolisme dan nafsu makan. (Diambil dari http://dhenk.com/psikologi-dan-arti-warna-pada-desain-blog)

Menarik, ternyata! Apakah kalian melihat gambaran arti-arti itu pada diriku? Tidak juga tidak apa-apa, karena aku menyukai jingga karena demikian adanya, jauh sebelum aku menemukan makna warna cantik itu. (*Yang pasti, makna yang terakhir itu yang aku sadari berpengaruh padaku: merangsang metabolisme dan nafsu makan! :p)

Pada Kaila, aku mencoba mengenalkan beragam warna. Meski kami membelikan beb
erapa barang bernuansa jingga, ternyata itu tidak memengaruhi pilihannya untuk jatuh cinta kepada warna bernuansa ungu-merah muda. Aku senang dia sudah bisa memutuskan pilihannya sendiri, meski dia juga senang dan berterimakasih ketika kami memberikan barang-barang yang tidak bernuansa ungu-merah muda. Pilihan sikapnya akan terlihat ketika kami memberikan ruang kepadanya untuk memilih, maka ia cenderung memilih barang bernuansa ungu-merah muda.

Kalian suka warna apa?

Saturday, June 19, 2010

Perkenalkan: Rumah Jingga

Ini adalah rumah baruku, rumah dalam arti home kalau dalam bahasa Inggris, rumah di mana aku (berharap) akan merasa nyaman untuk menggali, belajar, berbagi, dan berbuat lebih baik lagi. Aku bukan ahli masak yang bisa menghasilkan masakan lezat, atau dokter yang bisa membantu memberikan kesembuhan, bukan juga perancang mode berbakat yang mampu mempersembahkan baju yang indah. Aku seorang yang terus belajar dalam setiap petualangan sepanjang hayat dikandung badan, seorang perempuan yang mencoba bertindak setara, seorang ibu yang bangga, dan seorang istri yang bahagia.

Melalui coretan, tulisan, atau apapun kau menyebutnya, inilah aku ingin memberikan konstribusi bagi peningkatan kualitas manusia dan kemanusiaan di bumi ini. Bukannya proyek mercusuar yang ingin aku persembahkan, aku hanya ingin berbagi pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran yang aku dapati dalam perjalananku. Aku percaya bahwa pengetahuan dan informasi yang baik dan digunakan secara bijak akan mampu membawa kehidupan menjadi lebih baik.

Siapapun dirimu, latar belakangmu, motifmu, jika kau ingin membaca tulisanku, aku akan senang sekali. Jika kau suka dan mengambil manfaat darinya, aku akan bersyukur. Jika kau tidak setuju dan mencaciku, aku akan tetap tersenyum, karena itu artinya, paling tidak, kau membaca dan mengapresiasi tulisanku ;)

Jadi, selamat datang di beranda Rumah Jingga, silahkan masuk dan berpetualang bersamaku!