Mau dibilang pamer bahwa aku sudah bisa berbahasa Italia? Silahkan! Tapi jangan bilang aku lupa bahasa Indonesia atau Jawa, yang dengan keduanya aku dibesarkan. Meski Kaila, anakku yang berusia dua tahun itu baru bisa berkata 'lagi', 'susu', 'maaf', 'tolong' dalam bahasa Indonesia, tapi dia paham sepenuhnya ketika setiap harinya aku berbicara dalam bahasa Indonesia dengannya. Bahasa Jawa sengaja belum aku ajarkan karena, demi alasan praktis, saat ini dia membutuhkan dua bahasa: Indonesia dan Italia, serta sedikit bahasa Inggris karena kami memiliki beberapa teman yang berbicara dalam bahasa itu.
Bahasa Italia adalah bahasa baru untukku. Tidak seperti Kaila yang secara alami mempelajarinya, sebaliknya, aku harus bekerja keras untuk memahaminya dan menggunakannya untuk bertahan hidup di negara asal pizza ini. Ada beberapa hal yang memudahkanku dalam mempelajari bahasa Italia, namun lebih banyak faktor yang menyulitkanku. Aku mulai belajar dua tahun lalu, tapi benar-benar fokus setahun terakhir, secara otodidak. Ibu mertua memberikan sebuah buku struktur bahasa Italia untuk murid sekolah menengah pertama. Cukup membantuku untuk mengenal kata benda (bentuk tunggal dan jamak, 'laki-laki' dan 'perempuan'), kata sifat (juga tunggal-jamak, 'laki-perempuan' mengikuti kata bendanya), artikel (yang tidak banyak digunakan dalam bahasa Indonesia, kecuali 'si' dan 'sang'), dan sebagian kecil kata sambung (di, ke, dari, pada, dan, atau, untuk, dll).
Secara alfabetikal dan pengucapannya, sebagian besar sama meski dalam bahasa Italia mereka 'tidak memiliki' [baca: tidak sering menggunakan] beberapa konsonan, diantaranya: J, K, W, X, Y. Selain itu mereka memiliki beberapa konsonan atau gabungan konsonan yang ditulis dan dibaca secara khas, misalnya: "gl" dibaca "ly" seperti dalam kata milyar [tapi dengan pengucapan yang khas yang membutuhkan waktu lebih dari setahun untukku untuk menemukan cara pengucapan yang benar-benar pas] atau "gn" yang dibaca "ny" seperti dalam kata "banyak". Aku harus berhati-hati pula dengan konsonan "c" dan "g" karena tidak selalu diucapkan sama sebagai "c" dan "g" seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan menjadi "k" dan "j". Huruf "c" dibaca "c" seperti dalam kata "Cici" jika bertemu huruf vokal "i" dan "e", ketika bertemu dengan huruf vokal "a", "o", dan "u" dia akan diucapkan sebagai huruf "k". Demikian juga huruf "g", dia kan dibaca "g" ketika bertemu "a", "o" dan "u", dibaca sebagai "j" ketika bertemu "e" dan "i". Jadi, Gigi Buffon dibaca Jiji Buffon, bukan Gigi seperti gigi yang ada di mulut kita ;)
Memasuki kata kerja, mulailah kerumitan baru. Bahkan buku untuk siswa sekolah menengah pertamapun tak banyak membantuku. Aku dan Luca pun mulai berburu buku yang lebih mudah aku pahami dan kami menemukan Grammamia: Grammatica Italian per Ragazzi (Grammamia: Tata Bahasa Italia untuk Anak-anak), sebuah buku untuk anak-anak non-italia berusia 11-14 tahun. Buku yang menyampaikan materinya dengan logika anak menjelang remaja ini sangat membantuku yang benar-benar berangkat dari nol.
Kenapa kata kerja sedemikian sulit kupahami? Pertama dan paling nyata adalah bahwa sebuah kata dasar akan berubah mengikuti bentuk subyeknya: orang pertama, kedua, atau ketiga; jamak atau tunggal. Singkatnya, untuk "aku", "kamu", "dia", "kami/kita", "kalian", "mereka" bentuk kata dasarnya akan berubah dan berbeda satu sama lain, disamping juga perlu memperhatikan jenis kelaminnya. Kedua, modus pengucapan, antara tentu dan tak tentu, kalimat berita, perintah, atau pengandaian; masing-masing mengalami perubahan bentuk. Ketiga, yang tak kalah rumitnya, yaitu tempo atau kala: kala kini (presente/present), kala lampau dekat (passato perfetto/past perfect), kala lampu jauh (passato remoto), trapassato untuk menyatakan sesuatu yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di masa lalu: trapassato prossimo yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di kala lampau dekat, trapassato remoto yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di kala lampau jauh. Masih ada juga kala masa depan (futuro) yang terbagi dalam bentuk sederhana (semplice) dan bertingkat (anteriore/composto). Kalau modus dan tempo digabungkan akan ada sekian puluh kombinasi bentuk yang menghasilkan berpuluh bentuk varian dari sebuah kata benda. Sebagian memilik bentuk reguler atau memiliki "rumus" khusus untuk membentuk kata variannya, tapi banyak juga yang tidak reguler, tanpa rumus, yang artinya harus dihapalkan! Menantang, bukan?!
Itu masih tantangan seputar struktur bahasa. Buatku, secara personal, tantangan lainnya adalah aksen. Beda penempatan aksen atau penekanan kata, beda pula artinya. Kata "papa" misalnya, "papa" yang berarti bapak diucapkan dengan penekanan di suku kata kedua: papa', sedangkan jika diucapkan dengan penekanan di suku kata pertama (pa'pa) akan berarti Sri Paus (Pemimpin Besar Agama Katolik di Vatikan). Nah, ada satu kata lagi yang mirip-mirip: pappa (dengan dua "p" di tengah) yang artinya makanan, yang harus diucapkan dengan penekanan di suku kata pertama dan menambahkan akhiran "p"-nya: pap'pa. Terbelit gak lidahnya? Hehehehehe.
Memang dua huruf kembar menjadi tantangan tersendiri. Ilmu bersilat lidah tampaknya diperlukan di sini, bersilat lidah dalam makna denotatif, karena memang lidahnya harus siap berlekuk kesana-kemari! Kata "capello" (rambut) dan "cappello" (topi), misalnya, sama-sama dengan aksen atau penekanan di suku kata kedua, tapi kita harus hati-hati dengan suku kata pertama di mana salah satu hanya berhadapan dengan satu huruf "p", sementara satunya dengan dua huruf "p".
Belakangan aku menemukan jawaban kenapa sulit bagiku mempelajari aksen ini. Bukan sekedar apologi (permintaan atas permakluman), tapi ini memang benar aku alami. Pertama, bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mengenal aksen atau setidaknya bukan sesuatu yang penting dalam bahasa Indonesia. Jika seseorang berbicara bahasa Indonesia menggunakan aksen, biasanya dipengaruhi oleh bahasa daerahnya atau lingkungan tempat tinggalnya. Kedua, ini aku temukan ketika di sebuah kelas bahasa kami mendiskusikan soal tipe memori, aku memiliki memori yang bagus atas hal-hal yang aku lihat dan baca, tapi tidak dari hasil mendengar. Aku lebih bagus membaca peta dan menemukan barang-barang yang terselip di antara barang lain, daripada menghapal nama-nama orang yang baru saja aku kenal. Perpaduan yang kurang manis, bukan, yang menjadikan aku agak kesulitan memperlajari aksen dalam bahasa Italia?
Metode belajar yang aku pilih beragam. Mulai dari buku yang diberikan mertua, melihat film dan mendengar lagu, membacai buku-buku Kaila, membeli buku bahasa Italia untuk anak-anak asing, hingga akhirnya memutuskan mengambil kursus. Memilih sekolah bahasa pun tak mudah. Dari Larino, yang merupakan kota kecil dan susah menemui sekolah bahasa Italia untuk orang asing, ke Florence, kota besar yang memberikan banyak pilihan, membutuhkan pemilihan yang cermat. Dari hasil berburu di internet dan rekomendasi seorang kerabat Luca, aku kemudian mendatangi beberapa sekolah bahasa untuk orang asing. Selain bertanya tentang program yang ditawarkan, aku juga meminta melihat langsung diktat yang mereka gunakan.
Sekolah pertama yang aku pilih adalah Euro***s, yang lebih banyak diikuti oleh mereka yang ingin belajar bahasa Italia selama liburan mereka di Italia. Jadi ada beberapa siswa yang ikut hanya satu-dua minggu atau paling lama 1 bulan. Hanya sebagian kecil yang mengikuti kelas secara berkesinambungan dari tingkat A1 hingga B2 (tingkatan yang diperlukan untuk mahir berbahasa Italia, tapi bukan pengajar). Di bulan berikutnya, aku berpindah ke La P**a, sebuah lembaga internasional yang tidak hanya mengadakan sekolah bahasa, melainkan juga aktivitas sosial yang berhubungan dengan komunitas antaragama. Kedua sekolah bahasa ini memiliki keunggulan masing-masing dengan metode yang mereka miliki. Euro***s memulai pelajarannya dengan teori yang kemudian diikuti dengan banyak latihan, termasuk percakapan, layaknya pelajaran bahasa asing di sekolah lanjutanku dulu. Sementara itu, La P**a menggunakan pendekatan orang dewasa, dimulai dengan membaca satau atau beberapa paragraf cerita untuk kemudian bersama-sama menemukan misteri struktur bahasa di dalamnya. Kalian suka yang mana? Hehehehe.
Aku merasa keduanya memiliki keunggulan masing-masing. Dan, syukurnya, aku mengambilnya di momen yang tepat. Aku masuk Euro***s dengan bekal kemampuan tata bahasa yang minim, dengan metode "teori dulu, baru latihan" itu sangat membantuku untuk memahami dasar-dasar tata bahasa, menguatkan pengetahuan tata bahasaku yang minim kala itu. Ketika memasuki La P**a, aku sudah memiliki basis tata bahasa yang lumayan kuat sehingga lebih mudah bagiku mengikuti logika tata bahasa yang diajarkan dengan metode "menggali bersama-sama" tadi.
Masih ada satu tingkatan lagi yang harus aku ambil di sekolah bahasa La P**a, ditambah persiapan untuk mengikuti tes CILS, semacam IELTS atau TOEFL untuk bahasa Inggris. Dengan pertimbangan ini musim panas dan merupakan waktu yang tepat untuk mengajak Kaila ke pantai, maka aku menunda melanjutkan sekolah bahasa ini. Sementara itu, aku membacai buku-buku berbahasa Italia. Satu buku yang sudah aku selesaikan adalah ITALIANI, PER ESEMPIO; L'Italia vista dai bambini immigrati (Italia dari mata anak-anak imigran) oleh Giuseppe Caliceti. Sekarang sedang membaca buku Ayu Utami "Saman" dalam versi Italia dan "Grazie: Ecco Perche' Senza Gli Immigrati Saremmo Perduti" (Terima Kasih: Inilah Mengapa Tanpa Para Imigran Kita Barangkali Akan Jatuh) tulisan Riccardo Stagliano.
Tantangan lain di masa depan adalah belajar bersama Kaila, baik bahasa Italia, Indonesia, atau bahasa lainnya. Aku pun sesekali membukai lagi buku tata bahasa Indonesia, memastikan bahwa aku mengajarkan tata bahasa Indonesia yang benar kepada Kaila. Atau paling tidak bisa menjelaskan persamaan atau perbedaan logika bahasa antara bahasa Indonesia dan Italia kepadanya. Tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini, semuanya hanya butuh kerja keras. Seperti halnya belajar bahasa Italia yang pernah membuatku sedikit stres, karena hanya bisa senyum-senyum tanpa mengerti percakapan yang berlangsung dalam pertemuan keluarga besar Luca. Sekarang? Bahasa Italia? Siapa takut!
Bahasa Italia adalah bahasa baru untukku. Tidak seperti Kaila yang secara alami mempelajarinya, sebaliknya, aku harus bekerja keras untuk memahaminya dan menggunakannya untuk bertahan hidup di negara asal pizza ini. Ada beberapa hal yang memudahkanku dalam mempelajari bahasa Italia, namun lebih banyak faktor yang menyulitkanku. Aku mulai belajar dua tahun lalu, tapi benar-benar fokus setahun terakhir, secara otodidak. Ibu mertua memberikan sebuah buku struktur bahasa Italia untuk murid sekolah menengah pertama. Cukup membantuku untuk mengenal kata benda (bentuk tunggal dan jamak, 'laki-laki' dan 'perempuan'), kata sifat (juga tunggal-jamak, 'laki-perempuan' mengikuti kata bendanya), artikel (yang tidak banyak digunakan dalam bahasa Indonesia, kecuali 'si' dan 'sang'), dan sebagian kecil kata sambung (di, ke, dari, pada, dan, atau, untuk, dll).
Secara alfabetikal dan pengucapannya, sebagian besar sama meski dalam bahasa Italia mereka 'tidak memiliki' [baca: tidak sering menggunakan] beberapa konsonan, diantaranya: J, K, W, X, Y. Selain itu mereka memiliki beberapa konsonan atau gabungan konsonan yang ditulis dan dibaca secara khas, misalnya: "gl" dibaca "ly" seperti dalam kata milyar [tapi dengan pengucapan yang khas yang membutuhkan waktu lebih dari setahun untukku untuk menemukan cara pengucapan yang benar-benar pas] atau "gn" yang dibaca "ny" seperti dalam kata "banyak". Aku harus berhati-hati pula dengan konsonan "c" dan "g" karena tidak selalu diucapkan sama sebagai "c" dan "g" seperti dalam bahasa Indonesia, melainkan menjadi "k" dan "j". Huruf "c" dibaca "c" seperti dalam kata "Cici" jika bertemu huruf vokal "i" dan "e", ketika bertemu dengan huruf vokal "a", "o", dan "u" dia akan diucapkan sebagai huruf "k". Demikian juga huruf "g", dia kan dibaca "g" ketika bertemu "a", "o" dan "u", dibaca sebagai "j" ketika bertemu "e" dan "i". Jadi, Gigi Buffon dibaca Jiji Buffon, bukan Gigi seperti gigi yang ada di mulut kita ;)
Memasuki kata kerja, mulailah kerumitan baru. Bahkan buku untuk siswa sekolah menengah pertamapun tak banyak membantuku. Aku dan Luca pun mulai berburu buku yang lebih mudah aku pahami dan kami menemukan Grammamia: Grammatica Italian per Ragazzi (Grammamia: Tata Bahasa Italia untuk Anak-anak), sebuah buku untuk anak-anak non-italia berusia 11-14 tahun. Buku yang menyampaikan materinya dengan logika anak menjelang remaja ini sangat membantuku yang benar-benar berangkat dari nol.
Kenapa kata kerja sedemikian sulit kupahami? Pertama dan paling nyata adalah bahwa sebuah kata dasar akan berubah mengikuti bentuk subyeknya: orang pertama, kedua, atau ketiga; jamak atau tunggal. Singkatnya, untuk "aku", "kamu", "dia", "kami/kita", "kalian", "mereka" bentuk kata dasarnya akan berubah dan berbeda satu sama lain, disamping juga perlu memperhatikan jenis kelaminnya. Kedua, modus pengucapan, antara tentu dan tak tentu, kalimat berita, perintah, atau pengandaian; masing-masing mengalami perubahan bentuk. Ketiga, yang tak kalah rumitnya, yaitu tempo atau kala: kala kini (presente/present), kala lampau dekat (passato perfetto/past perfect), kala lampu jauh (passato remoto), trapassato untuk menyatakan sesuatu yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di masa lalu: trapassato prossimo yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di kala lampau dekat, trapassato remoto yang terjadi sebelum peristiwa lainnya di kala lampau jauh. Masih ada juga kala masa depan (futuro) yang terbagi dalam bentuk sederhana (semplice) dan bertingkat (anteriore/composto). Kalau modus dan tempo digabungkan akan ada sekian puluh kombinasi bentuk yang menghasilkan berpuluh bentuk varian dari sebuah kata benda. Sebagian memilik bentuk reguler atau memiliki "rumus" khusus untuk membentuk kata variannya, tapi banyak juga yang tidak reguler, tanpa rumus, yang artinya harus dihapalkan! Menantang, bukan?!
Itu masih tantangan seputar struktur bahasa. Buatku, secara personal, tantangan lainnya adalah aksen. Beda penempatan aksen atau penekanan kata, beda pula artinya. Kata "papa" misalnya, "papa" yang berarti bapak diucapkan dengan penekanan di suku kata kedua: papa', sedangkan jika diucapkan dengan penekanan di suku kata pertama (pa'pa) akan berarti Sri Paus (Pemimpin Besar Agama Katolik di Vatikan). Nah, ada satu kata lagi yang mirip-mirip: pappa (dengan dua "p" di tengah) yang artinya makanan, yang harus diucapkan dengan penekanan di suku kata pertama dan menambahkan akhiran "p"-nya: pap'pa. Terbelit gak lidahnya? Hehehehehe.
Memang dua huruf kembar menjadi tantangan tersendiri. Ilmu bersilat lidah tampaknya diperlukan di sini, bersilat lidah dalam makna denotatif, karena memang lidahnya harus siap berlekuk kesana-kemari! Kata "capello" (rambut) dan "cappello" (topi), misalnya, sama-sama dengan aksen atau penekanan di suku kata kedua, tapi kita harus hati-hati dengan suku kata pertama di mana salah satu hanya berhadapan dengan satu huruf "p", sementara satunya dengan dua huruf "p".
Belakangan aku menemukan jawaban kenapa sulit bagiku mempelajari aksen ini. Bukan sekedar apologi (permintaan atas permakluman), tapi ini memang benar aku alami. Pertama, bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mengenal aksen atau setidaknya bukan sesuatu yang penting dalam bahasa Indonesia. Jika seseorang berbicara bahasa Indonesia menggunakan aksen, biasanya dipengaruhi oleh bahasa daerahnya atau lingkungan tempat tinggalnya. Kedua, ini aku temukan ketika di sebuah kelas bahasa kami mendiskusikan soal tipe memori, aku memiliki memori yang bagus atas hal-hal yang aku lihat dan baca, tapi tidak dari hasil mendengar. Aku lebih bagus membaca peta dan menemukan barang-barang yang terselip di antara barang lain, daripada menghapal nama-nama orang yang baru saja aku kenal. Perpaduan yang kurang manis, bukan, yang menjadikan aku agak kesulitan memperlajari aksen dalam bahasa Italia?
Metode belajar yang aku pilih beragam. Mulai dari buku yang diberikan mertua, melihat film dan mendengar lagu, membacai buku-buku Kaila, membeli buku bahasa Italia untuk anak-anak asing, hingga akhirnya memutuskan mengambil kursus. Memilih sekolah bahasa pun tak mudah. Dari Larino, yang merupakan kota kecil dan susah menemui sekolah bahasa Italia untuk orang asing, ke Florence, kota besar yang memberikan banyak pilihan, membutuhkan pemilihan yang cermat. Dari hasil berburu di internet dan rekomendasi seorang kerabat Luca, aku kemudian mendatangi beberapa sekolah bahasa untuk orang asing. Selain bertanya tentang program yang ditawarkan, aku juga meminta melihat langsung diktat yang mereka gunakan.
Sekolah pertama yang aku pilih adalah Euro***s, yang lebih banyak diikuti oleh mereka yang ingin belajar bahasa Italia selama liburan mereka di Italia. Jadi ada beberapa siswa yang ikut hanya satu-dua minggu atau paling lama 1 bulan. Hanya sebagian kecil yang mengikuti kelas secara berkesinambungan dari tingkat A1 hingga B2 (tingkatan yang diperlukan untuk mahir berbahasa Italia, tapi bukan pengajar). Di bulan berikutnya, aku berpindah ke La P**a, sebuah lembaga internasional yang tidak hanya mengadakan sekolah bahasa, melainkan juga aktivitas sosial yang berhubungan dengan komunitas antaragama. Kedua sekolah bahasa ini memiliki keunggulan masing-masing dengan metode yang mereka miliki. Euro***s memulai pelajarannya dengan teori yang kemudian diikuti dengan banyak latihan, termasuk percakapan, layaknya pelajaran bahasa asing di sekolah lanjutanku dulu. Sementara itu, La P**a menggunakan pendekatan orang dewasa, dimulai dengan membaca satau atau beberapa paragraf cerita untuk kemudian bersama-sama menemukan misteri struktur bahasa di dalamnya. Kalian suka yang mana? Hehehehe.
Aku merasa keduanya memiliki keunggulan masing-masing. Dan, syukurnya, aku mengambilnya di momen yang tepat. Aku masuk Euro***s dengan bekal kemampuan tata bahasa yang minim, dengan metode "teori dulu, baru latihan" itu sangat membantuku untuk memahami dasar-dasar tata bahasa, menguatkan pengetahuan tata bahasaku yang minim kala itu. Ketika memasuki La P**a, aku sudah memiliki basis tata bahasa yang lumayan kuat sehingga lebih mudah bagiku mengikuti logika tata bahasa yang diajarkan dengan metode "menggali bersama-sama" tadi.
Masih ada satu tingkatan lagi yang harus aku ambil di sekolah bahasa La P**a, ditambah persiapan untuk mengikuti tes CILS, semacam IELTS atau TOEFL untuk bahasa Inggris. Dengan pertimbangan ini musim panas dan merupakan waktu yang tepat untuk mengajak Kaila ke pantai, maka aku menunda melanjutkan sekolah bahasa ini. Sementara itu, aku membacai buku-buku berbahasa Italia. Satu buku yang sudah aku selesaikan adalah ITALIANI, PER ESEMPIO; L'Italia vista dai bambini immigrati (Italia dari mata anak-anak imigran) oleh Giuseppe Caliceti. Sekarang sedang membaca buku Ayu Utami "Saman" dalam versi Italia dan "Grazie: Ecco Perche' Senza Gli Immigrati Saremmo Perduti" (Terima Kasih: Inilah Mengapa Tanpa Para Imigran Kita Barangkali Akan Jatuh) tulisan Riccardo Stagliano.
Tantangan lain di masa depan adalah belajar bersama Kaila, baik bahasa Italia, Indonesia, atau bahasa lainnya. Aku pun sesekali membukai lagi buku tata bahasa Indonesia, memastikan bahwa aku mengajarkan tata bahasa Indonesia yang benar kepada Kaila. Atau paling tidak bisa menjelaskan persamaan atau perbedaan logika bahasa antara bahasa Indonesia dan Italia kepadanya. Tak ada yang tak mungkin dalam hidup ini, semuanya hanya butuh kerja keras. Seperti halnya belajar bahasa Italia yang pernah membuatku sedikit stres, karena hanya bisa senyum-senyum tanpa mengerti percakapan yang berlangsung dalam pertemuan keluarga besar Luca. Sekarang? Bahasa Italia? Siapa takut!