(Catatan: Tulisan serupa pernah dimuat di Buletin Flamma Ed. 32, IRE Yogyakarta)
Italia dan Indonesia, dua negara yang sama-sama diawali dengan huruf "I" namun berada di belahan dunia yang berbeda; satu di Eropa dan yang lain di Asia. Kesamaan lainnya, memiliki makanan khas yang enak-enak (alah, makanan kok mesti nomer 1!) dan masih menganut nilai kekeluargaan yang kuat. Dalam bukunya, The Italians, Luigi Barzani menuliskan, “Pengamat sosial mengakui bahwa kekerabatan di Italia sebagai satu-satunya institusi yang fundamental di negara tersebut, sebuah penciptaan spontan atas intelektual bangsa, yang beradaptasi selama berabad-abad terhadap kondisi yang terus berubah, serta dasar nyata bagi eksistensi tatanan sosial apapun.” Tidak mengherankan jika kekerabatan menjadi sumberdaya penting bagi penggalangan dukungan politik, khususnya di tingkat lokal, atau pembentukan konglomerasi lokal di bidang ekonomi, juga kelompok kejahatan yang berbasis ikatan keluarga macam mafia atau camorra.
Dalam kehidupan sehari-hari, kentalnya ikatan keluarga ini bisa kita temui dengan lumayan seringnya orangtua mengajak anaknya untuk jalan-jalan ke alun-alun, taman kota, atau membeli es krim di musim panas. Keluarga besar yang tinggal berdekatan, biasanya mengadakan acara makan siang bersama di hari Minggu. Jadi, lumayan sering juga mereka bertemu, tak harus menunggu acara arisan keluarga seperti di Indonesia.
Satu tradisi yang menarik adalah kebiasaan saling memberikan hadiah dalam berbegai kesempatan, mulai dari pernikahan, kelahiran, ulang tahun, maupun momen keagamaan, seperti pembaptisan dan komuni pertama dalam tradisi Katolik. Kenapa menarik? Selain menunjukkan simpati atau empati atas sebuah peristiwa, pemberian hadiah juga untuk membangun citra (image building). Kalau yang pertama, pemberian hadiah dilakukan dengan kesukarelaan dan dilatarbelakangi solidaritas, sedangkan yang kedua, pembentukan citra, mengandung makna “keharusan” dan unsur persaingan ‘semakin bagus dan mahal hadiah yang diberikan, semakin tinggi citra yang terbentuk’.
“Memberikan Hadiah” di Italia dan “Menyumbang” di Indonesia
Jika di Indonesia kebiasaan memberikan hadiah (atau lebih tepatnya sumbangan) tidak sebatas momen perayaan namun juga musibah, maka di Italia tradisi ini lebih mengarah pada peristiwa-peristiwa perayaan. Di wilayah darimana Luca berasal, Molise, kebiasaan menyumbang saudara yang sedang mengalami musibah hampir-hampir tidak ada. Jika ada saudara yang sakit, mereka cukup menjenguk ke rumah sakit atau rumah tanpa membawa apa-apa. Kalau ada kerabat yang mendapat musibah kematian, sebagian kecil masyarakat, terbatas di lingkungan keluarga, datang membawa gula dan kopi untuk diberikan kepada keluarga yang terkena musibah. Sifatnya hanya simbolik, tentu saja, karena sebenarnya bahan-bahan itu mampu dibeli oleh keluarga yang sedang mengalami musibah.
Kalau di Indonesia, ketika akan menjenguk orang sakit atau melayat, maka orang akan sibuk menyiapkan "bawaan". Tentu tujuannya baik, membantu meringankan orang yang terkena musibah (meski seringkali kalau membawa makanan untuk orang sakit, si sakit malah tidak bisa menikmatinya karena sedang melakukan diet). Tapi bantuan beras, gula, kopi, dan bahan makanan lainnya pasti membantu keluarga yang mendapat musibah kematian karena, di Indonesia, musibah kematian biasanya akan diikuti dengan acara selamatan atau kenduri dimana si keluarga harus menyiapkan makanan untuk mereka yang datang di acara kenduri.
Dalam momen perayaan, di Indonesia bisa jadi tidak seberagam di Italia, biasanya “hanya” meliputi pernikahan, kelahiran bayi, ulang tahun, dan khitanan. Sementara di Italia, pemberian hadiah juga dilakukan pada momen perayaan keagamaan, seperti pembaptisan dan komuni pertama. Pada momen perayaan keagamaan, hadiah yang diberikan berupa uang atau perhiasan emas; biasanya berupa liontin salib atau gambar wajah Yesus atau Maria yang akan dikenakan oleh si anak yang dibaptis atau mendapat komuni pertama. Sebuah model baru pengelolaan hadiah, keluarga yang anaknya dibaptis atau diberikan komuni pertama meminta hadiah berupa uang tunai untuk kemudian disumbangkan kepada organisasi sosial, salah satunya UNICEF di Italia. “Pesanan” ini mudah dilakukan karena yang diundang untuk momen perayaan ini hanyalah keluarga atau teman dekat, sehingga tidak ada rasa segan untuk memberikan pesan atas hadiah apa yang mereka inginkan.
Pada momen perayaan umum (non-religius), hadiah biasanya diberikan dalam bentuk uang atau barang selain perhiasan emas, kecuali dalam perayaan ulang tahun ke-18 yang nilainya sama dengan ulang tahun ke-17 di Indonesia sebagai tanda memasuki kedewasaan. Nilai nominal hadiah yang diberikan biasanya lebih tinggi dari barang-barang yang digunakan si pemberi sehari-hari. Misalkan si pemberi membelikan baju seharga 15 euro untuk anaknya, maka ia akan membeli baju seharga 20 euro untuk diberikan sebagai hadiah. Jika diberikan dalam bentuk uang, bisa jadi akan lebih besar, dinilai berdasarkan kepantasan.
Kenapa di Italia orang cenderung memberikan hadiah dalam momen perayaan, sementara di Indonesia lebih banyak menyumbang dalam peristiwa musibah? Mari kita lihat konteks poleksosbud-nya (gak usah pakai hankam deh, nanti dpikir Wawasan Nusantara, kan kita mau bicara soal Selera Nusantara. Alah, makanan lagi!)
Italia, meski belum semaju negara-begara kesejahteraan rakyat (welfare state) di kawasan Skandinavia, telah memiliki skema dasar pelayanan sosial, diantaranya kesehatan dan pendidikan. Dikatakan pelayanan dasar karena menunjuk pada jenis pelayanan untuk bertahan hidup. Negara menanggung pelayanan kesehatan di dokter keluarga, gartis, tapi harus membayar jika mendapat rujukan ke rumah sakit, meski kadang membayarnya juga tidak terlalu mahal di rumah sakit umum. Pendidikan di sekolah negeri tidak dipungut biaya, mulai TK sampai SMA, di universitas negeri membayar dengan biaya yang relatif murah.
Jadi, ketika ada warga yang sakit, ya mudah saja, ke dokter atau minta rujukan ke rumah sakit. Para tetangga tidak perlu menyumbang untuk membantu biaya pengobatannya. Jika ada yang meninggal, jarang sekali ada sumbangan berupa uang untuk anggota keluarga yang ditinggalkan karena setiap orang bekerja di Italia telah dipotong gajinya untuk menyiapkan dana pensiun mereka, atau dalam kasus meninggal, uangnya akan diberikan kepada ahli warisnya. Bagi keluarga yang ditinggalkan penopang ekonomi keluarga (ayah dan/atau ibu), maka istri atau suami atau anak yang mencari pekerjaan akan diprioritaskan dibandingkan pelamar kerja lainnya yang memiliki spesifikasi keahlian yang setara. Bahkan ada posisi pegawai negeri tertentu yang memang disediakan untuk para yatim-piatu sehingga mereka bisa mendukung ekonomi keluarga. Dengan adanya jaminan-jaminan ini, bisa jadi masyarakat di Italia berpikir bahwa bukanlah sebuah “keharusan” bagi mereka untuk membantu keluarga yang mengalami musibah.
Ketika Modal Sosial menjadi Beban Sosial
Tradisi memberikan hadiah ini, di satu sisi, bisa kita lihat sebagai sebuah modal sosial di mana ikatan kekerabatan atau pertemanan tetap terjaga dengan dimaknainya pemberian hadiah ini sebagai bentuk pernyataan simpati atau empati. Akan tetapi, tradisi ini berkembang bukan sekedar pernyataan simpati atau empati, namun seringkali demi gengsi semata. Orang akan merasa malu jika ia tidak memberikan hadiah kepada seseorang, sementara ia pernah mendapatkan hadiah dari orang tersebut. Di lain tempat, seseorang akan berusaha memberikan hadiah yang memiliki nilai nominal minimal setara, kalau bisa lebih, dari hadiah yang ia terima dari orang yang dimaksud. Parahnya, gejala ini juga melanda keluarga-keluarga dengan tingkat ekonomi yang kurang bagus. Bagaimana ia bisa memberikan hadiah dengan nilai nominal yang setara dengan keluarga yang tingkat ekonominya lebih tinggi? Agak tidak masuk akal memang, tapi demi gengsi, mungkin mereka rela mengambil tabungan mereka atau mengurangi konsumsi bulanan untuk dialihkan guna memberi hadiah pada seseorang.
Gejala sosial ini juga melanda beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Di sebuah desa di Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, dimana penduduknya mayoritas bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan harian berkisar antara Rp 10.000,- (perempuan) hingga Rp 12.000,- (laki-laki) (2003-2004). Ketika ada tetangga yang punya hajat pernikahan atau khitanan atau lainnya, maka yang ibu-ibu akan datang dengan membawa lima kilogram beras, dua kilogram gula, satu kilogram kopi, satu pak besar teh, dan masih ditambah sayuran berupa kentang, wortel, atau lainnya. Bisa jadi upah mereka satu minggu menjadi buruh akan habis untuk kunjungan ke satu hajat pernikahan. Bagaimana kalau yang punya hajat lebih dari satu tetangga, apa yang mereka makan untuk keseharian mereka? Kadangkala meminjam uang atau berhutang ke warung menjadi jawabannya.
Mengelola Tradisi Memberikan Hadiah menjadi Lebih Bermanfaat
Kebiasaan memberikan hadiah atau menyumbang ini pada gilirannya berdampak pada ekonomi sebuah keluarga. Bayangkan saja jika dalam satu bulan ada lebih dari peristiwa perayaan, berapa uang yang harus dikeluarkan di luar kebutuhan sehari-hari; atau bahan makanan yang disumbangkan yang berarti mengurangi jatah bulanan konsumsi keluarga.
Satu temuan menarik dalam sebuah perayaan pernikahan di Italia adalah lista nozze, sebuah daftar hadiah yang dibuat oleh si calon pengantin berisi barang-barang yang mereka butuhkan atau inginkan. Daftar ini kemudian ditinggalkan di toko-toko yang ditunjuk, yang kemudian si pemilik toko akan menambahkan harga di setiap item barang yang tertulis. Ketika mengantarkan undangan, si calon pengantian akan memberitahukan bahwa mereka meninggalkan lista nozze di toko yang mereka tunjuk, jika orang yang diundang ingin memberikan hadiah berupa barang. Lagi-lagi, cara ini dilakukan tanpa rasa sungkan karena yang diundang adalah kerabat atau teman dekat.
Berikutnya, orang yang ingin memberi hadiah barang akan datang ke toko yang ditunjuk. Ia melihat daftarnya dan memilih barang berdasarkan jumlah uang yang ingin mereka belanjakan untuk hadiah. Si pemberi hadiah hanya datang, memilih, membayar, dan menuliskan pesan (jika ingin), selanjutnya si pemilik toko yang akan mengurus hadiah hingga sampai ke pengantin; membungkusnya dengan indah dan mengantarkan ke rumah pengantin. Jika barang di dalam daftar sudah habis, si pemberi hadiah biasanya akan memberikan hadiah dalam bentuk uang atau menghubungi si calon pengantin untuk mengetahui barang lain yang ia butuhkan. Pembelian hadiah dalam lista nozze tersebut seringkali juga dilakukan secara patungan oleh beberapa orang, jika dirasa hargan sebuah barang terlalu tinggi untuk ditanggung oleh satu orang.
Pengelolaan hadiah ini, menurut saya, lebih efisien dan efektif bagi kedua belah pihak, baik si pemberi hadiah maupun si pengantin sebagai penerima. Hadiah yang diberikan juga jadi lebih bermanfaat dan menyenangkan bagi si pengantin yang akan membangun rumah tangga baru. Saya ingat dengan pernikahan kakak saya, sekitar tahun 1995, dia mendapatkan banyak sekali hadiah—hampir separuh kamar pengantin! Tapi hanya separuh dari itu yang dia pakai, selebihnya dia berikan kepada keluarga, teman atau tetangga dekat (dengan diam-diam tentu saja supaya tidak menyinggung si pemberi hadiah), karena dia tidak membutuhkannya atau tidak suka dengan warna atau model hadiahnya. Demi alasan itu pula, di Indonesia saat ini, orang cenderung memberi hadiah berupa uang, sehingga si pengantin nantinya bisa membelanjakan sendiri kebutuhannya.
Upaya mengelola pemberian hadiah atau sumbangan juga coba dilakukan oleh warga Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajang, Bantul, D.I. Yogyakarta. Ketika dilibatkan dalam Program Diskusi Komunitas IRE tahun 2001, warga memilih isu “memberikan hadiah atau sumbangan” ini untuk mereka diskusikan. Asalnya, beberapa warga merasa terbebani dengan tradisi menyumbang ini yang diwarnai dengan persaingan gengsi, sehingga besar hadiah atau sumbangan yang diberikan seringkali tidak masuk akal bagi warga yang rata-rata bekerja sebagai petani lahan kering atau pengrajin topeng batik.
Dalam serangkaian diskusi, warga mencoba memetakan jenis, manfaat, dan tujuan pemberian hadiah dan sumbangan. Menurut mereka, ada dua jenis, yang pertama disebut memberikan hadiah karena berkait dengan momen perayaan seperti pernikahan atau khitanan, sedangkan yang kedua disebut sumbangan bagi peristiwa yang sifatnya musibah. Mereka bersepakat untuk mengutamakan sumbangan bagi warga yang mengalami musibah, yang datangnya tiba-tiba, sehingga sumbangan yang diberikan bisa memberikan kemanfaatan lebih bagi si penerima. Sementara bagi momen perayaan, mereka mengasumsikan si penyelenggara acara tentunya sudah mempersiapkan momen tersebut dan tidak membutuhkan bantuan sebesar keluarga yang mendapatkan musibah. Dan, diminta warga tidak menggunjing atau membicarakan warga yang menyumbang sedikit dalam pesta-pesta perayaan, sehingga tidak menimbulkan beban sosial.
Terobosan-terobosan ini tentu saja tidak selalu sukses. Di Italia, beberapa orang menolak memberi hadiah berdasarkan lista nozze yang sudah dibuat. Akibatnya, kadangkala si pengantian akan datang kembali ke toko yang dimaksud untuk menukar hadiahnya karena mereka merasa kurang cocok. Di Krebet, bisa jadi rasa pakewuh masih akan melingkupi warga dan mendorong mereka untuk “harus” menyumbang berlebihan. Pelajarannya, paling tidak masyarakat berupaya untuk mendiskusikan masalahnya dan menemukan mekanisme baru untuk membangun masyarakat yang demokratis dan berkemanfaatan.
No comments:
Post a Comment