Tak terhindarkan, akhirnya aku harus istirahat di rumah sakit. Istirahat di rumah selama 4 hari ternyata tak cukup. Kontraksi tak mereda, pendarahan malah terjadi.
Rabu sore adalah hari kontrol rutin. Vittori, ginekologku yang pintar dan baik itu, menunjukkan wajah kurang senang ketika kubilang perutku kram dan sejak Rabu pagi itu ada flek kecoklatan di celana dalamku. "Ehm ... non dovrebbe succedere! (seharusnya tidak boleh terjadi!)" ujarnya dgn gaya bicaranya yang khas, lembut tapi tegas. Setelah memastikan kondisiku sore itu, dia langsung berkata, "Anda harus tinggal di sini untuk pemulihan!" Segera dia menelepon bagian rawat inap ginekologia, bidan yg bertugas, dan pediatra. Terakhir, dia kontak bagian UGD untuk bersiap-siap memproses masuknya aku ke RS Cristo Re di Roma ini, di mana Vittori berpraktik setiap Rabu sore.
Mengapa Cristo Re di Roma?
Raja Kristus Roma, demikian kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sebuah rumah sakit Katolik yang kemudian menjadi rumah sakit publik. Cristo Re termasuk rumah sakit kecil, bahkan mungkin lebih kecil dari RS Panti Rapih atau Bethesda di Yogya yg mengharuskan staf atau dokter2nya bersepeda utk mencapai zona lain di rumah sakit itu.Kami memang memilih rumah sakit ini utk melahirkan nanti atas rekomendasi beberapa ibu teman sekolah Kaila, juga hasil observasi kami setelah beberapa bulan melakukan kontrol kehamilan dengan Vittori di sini. Dekat dari rumah, kecil, bersih, birokrasi sederhana; empat hal yg kami suka, selain karena Vittori berpraktik di sini.
Pelayanan yang bagus, staf yang ramah
Kami hanya menunggu 10 menit di ruang tunggu UGD sampai ada staf medis yang memanggilku untuk masuk mengisi data dan melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan. Cukup waktu untuk diskusi dengan Luca tentang apa yang harus kami lakukan malam ini, sambil ia menelepon orang tuanya untuk datang membantu menemani Kaila selama aku di rumah sakit nanti.
Pengisian data dibantu seorang biarawati. Ketika data administratif siap, seorang staf medis melengkapi data medisnya dan membawaku ke ruangan lain dimana seorang ginekolog perempuan yang berjaga hari itu sudah menungguku. Ginekolog ini menjelaskan beberapa pemeriksaan yang harus aku jalani.
Pertama, ia melakukan pemeriksaan vaginal untuk memastikan bercak darah yang keluar. Kedua, ia memasang alat monitor kontraksi yang berfungsi juga memeriksa detak jantung dan gerak bayi. Dari data yg tercetak, kami lihat 4-5 kontraksi yg cukup kuat (40-50%) selama 30 menit. Dia langsung menelepon bagian USG dan mengirimku ke sana. Pada seorang staf UGD dia berpesan agar membawaku ke lantai 1 dgn kursi roda, meski sebenarnya aku masih kuat jalan. "Untuk mengurangi kelelahan," kata si Bu Dokter. Melihatku di atas kursi roda, Kaila tak bisa lagi menyembunyikan rasa ingin tahu & wajah kuatirnya. Aku, Luca, dan staf UGD menjelaskan padanya secara bergantian. Ujung-ujungnya, "Aku juga mau pake kursi roda, Papa dorong yang kencang ya!" katanya :)
Hasil USG bagus, tak ada masalah. Aku dibawa lagi ke lantai dasar, ke UGD, untuk diambil darah. Kali ini agak kurang menyenangkan. Yang memasang jarum permanen untuk mengambil darah, dan nantinya untuk memasang infus juga, adalah perawat baru yang masih belajar. Tusukan yang kurang pas membuat banyak darah keluar sebelum dipasang tabung-tabung kecil sampel darah. Akhirnya si staf senior UGD membantu dan menjelaskan bahwa si perawat adalah baru. Setelah sekian mililiter darahku diambil, aku langsung dikamarkan di kamar kelas 2 dgn 3 tempat tidur. Ini layanan yang ditanggung askes publik. Jika ingin kamar tunggal, maka kita hrs membayar biaya kamar.
Inklusif: multietnis, agama dan tempat yang ramah difabel
Satu hal lain yg aku suka dari RS ini adalah inklusivitas-nya. Inklusif dalam arti terbuka dan setara bagi berbagai kelompok di masyarakat.
Di ruang tunggu praktik dokter, akan kita temui seorang bapak setengah baya yang bekerja sebagai penerima pasien. Setelah 2-3 kali kunjungan, aku baru tahu kalau dia memiliki kaki yang "unik", mungkin karena polio atau kecelakaan. Di UGD, si staf medis senior yg membantuku juga bukan italiano asli, dan staf medis lainnya tampak menghargai kemampuan dia yang bekerja baik dan cekatan.
Di ruang tunggu USG, kita bisa temui seorang perempuan india sebagai penerima pasien merangkap perawat. Juga pagi ini, dokter kontrol ditemani seorang perawat perempuan india lainnya. Dari dalam kamarku, sekilas aku jg melihat seorang dokter berkerudung, yang bisa hampir dipastikan 99% dia muslim.
Pelayanan juga tak berkurang ramahnya setelah mereka tahu aku muslim, setelah seorang pastor mendatangiku pagi ini untuk mendoakanku dan ingin memberi rosario. "Aku akan tetap berdoa utkmu dan kau berdoalah dgn caramu," katanya lembut.
Inklusivitas di sini juga ditunjukkan dengan adanya layanan khusus untuk imigran yang tidak bisa berbahasa italia dengan lancar. Mereka akan menghubungi Kantor Mediasi Kultural untuk mengirimkan seseorang yang bisa membantu di sini.
Keindahan yang bisa dilihat dibalik tantangan ....
Roma, 16 Juni 2011
No comments:
Post a Comment