[catatan: tulisan ini pernah dipasang di blog lama untuk pertama kalinya pada 23 Juli 2010]
Malam itu adalah kedua kalinya aku mendapatinya di depan gelateria (baca: toko es krim) Badiana di Viale dei Mille, sebuah toko es krim yang cukup terkenal dan lumayan berkelas. Terkenal dan berkelas bermakna dikunjungi banyak orang, tak hanya orang Italia, melainkan juga orang asing yang tinggal menetap di sekitar Florence ataupun sekedar berwisata. Bahkan perempuan pemilik rumah yang aku sewa mengatakan bahwa banyak orang asing datang ke Florence untuk menjajal es krim Badiana ini.
Sekali lagi, ini adalah kedua kalinya aku memandangi lekat-lekat lelaki tua itu. Usianya aku perkirakan sekitar 60an tahun, mungkin, karena aku kurang mengenal ciri-ciri usia fisik orang-orang dari benua Afrika, sehingga sulit untukku memastikan kisaran usianya. Berbeda dengan kemarin, hari ini ia sudah duduk dan menggelar barang dagangannya, ketika aku tiba. Kesamaannya, tak ada orang yang, bahkan hanya sekedar, berhenti sejenak dan melihat-lihat barang yang ia tawarkan. Kesamaannya lagi, Kaila lah yang tertarik untuk mendekat, mulai memegang-megang aksesoris dan mainan yang ia gelar di atas selembar plastik.
Kemarin, aku mengamatinya sejak awal ia tiba di depan Badiana. Ia tarik selembar plastik lebar seukuran 50 x 100 cm. Dibentangkannya di depan sebuah pintu masuk apartemen yang berada tepat di samping Badiana. Dikeluarkannya barang-barang dagangan dan diaturnya secara rapi di atas bentangan plastik. Tak banyak barang yang dibawanya, kalau dikumpulkan semua, mungkin hanya satu plastik kresek ukuran sedang, terdiri dari aksesoris (kalung dan gelang) dan hewan-hewanan berbahan kayu. Kalau dari bentuk dan cirinya, barang-barang itu khas Afrika.
Setengah jam berlalu sejak ia datang dan menghamparkan barang dagangannya. Tak seorang pun melihat apalagi berniat membeli. Ah, jadi teringat pedagang kaki lima di Indonesia yang sering kena gusur Satpol PP. Tak jauh berbeda dengan di Indonesia, pedagang asongan di pusat kota Florence, sering menjadi kejaran polizia municipale (semacam satpol PP) dan guarda di finanza (polisi fiskal). Polizia municipale berkepentingan untuk memeriksa apakah mereka memiliki izin tinggal yang sah, sementara guarda di finanza akan membekuk mereka karena berdagang ilegal, tanpa bukti jual-beli alias nota penjualan alias bon, yang berarti tidak akan memberikan pemasukan pajak bagi pemerintah. [Catatanku: guarda di finanza tidak hanya mengejar para pedagang yang berasal dari kaum imigran, melainkan juga orang asli Italia. Caranya, secara acak, mereka akan memberhentikan pembeli yang baru keluar dari sebuah toko, jika diketahui ia membeli sesuatu dari toko yang dimaksud, maka ia akan diminta menunjukkan barang yang dibeli dan nota pembayarannya. Jika ia tidak bisa menunjukkan, maka baik pembeli atau penjual akan dikenai sanksi.]
Kembali ke lelaki tua itu. Di malam pertama aku melihatnya itu, kami sedang menunggu sepasang teman yang telah berjanji akan datang untuk makan es krim bersama. Sudah setengah jam lebih kami menunggu, Kaila pun sudah mulai bosan duduk. Melihat si Bapak Tua duduk dengan sekian banyak aksesoris, maka mulailah dia melakukan observasi. Seperti biasa ketika mengenal orang baru, dia akan mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat. Dia melewati depan si Bapak, bolak-balik, beberapa kali. Lalu dia mengucap, "La collana!" (Kalung!). Si Bapak Tua tersenyum kepada Kaila. Lalu dia mengambil sebuah gelang dan memberikannya kepada Kaila. Karena baru kenal, maka Kaila malu-malu dan tidak mau menerimanya. Gelang itu dilemparkannya ke arahku (si Bapak Tua sedang duduk, sehingga sulit baginya untuk berdiri mendekatiku untuk memberikan gelangnya), "Hadiah untuknya," dia bilang. Aku mengucapkan terima kasih dan aku coba pasangkan pada pergelangan tangan Kaila. Kaila menolak, dia tidak mau. Aku mencoba mengembalikan lagi kalung itu pada Si Bapak Tua, aku ucapkan lagi terima kasih dan meminta maaf karena Kaila tidak mau mengenakannya. Si Bapak Tua menolak dan berkata, "Ambil saja, mungkin besok pagi dia mau memakainya. Barang yang sudah saya berikan tidak bisa saya ambil kembali." Saya tertegun dibuatnya. Sambil tetap tersenyum, dia kembali menyelesaikan barang yang belum usai dia tata.
Hingga hampir satu jam ia di sana, hingga ketika kami beranjak pulang, tak satu pun barang dagangannya berkurang terbeli, kecuali satu gelang yang ia berikan kepada Kaila.
Sekali lagi, malam ini, kedua kalinya aku melihatnya di depan Badiana. Entah sudah berapa lama ia di sana. Begitu melihatnya, aku berjanji dalam hati, aku akan membeli sesuatu darinya. Aku mendekatinya, menyapanya, menanyakan beberapa barang. Aku mengajak Maurizio, keponakanku, untuk memilih mainan yang ia mau. Ia memilih sebuah mainan ikan dari bahan kayu berukuran sekitar 10x15 cm, dengan cat warna-warni, "Dibuat dengan tangan," kata Si Bapak Tua. Aku bertanya berapa harganya, dia bilang 10 euro, tapi karena aku pembeli pertama malam itu (dan bisa jadi yang pertama dalam beberapa hari ini), maka ia memberikannya dengan harga 8 euro.
Sementara aku membayar, Maurizio dan Kaila sibuk mengambil gelang yang sama persis dengan gelang yang diberikan Si Bapak kepada Kaila dua hari sebelumnya. Aku bertanya apakah mereka menginginkannya, jika tidak maka aku minta mereka untuk mengembalikannya. Belum sempat mereka menjawab, Si Bapak Tua bilang bahwa mereka boleh membawanya, itu hadiah untuk mereka. Ah, berapa lagi keuntungannya berkurang setelah memberikan diskon 2 euro untuk ikannya, ditambah dua gelang yang diberikan secara gratis. Aku memaksa untuk membayar gelang-gelangnya, tapi dia menolak. "Kalau melihat anak-anak, saya teringat cucu saya. Sayang senang berbuat baik kepada anak-anak karena dalam hati saya berharap orang lain akan berbuat baik pula pada cucu-cucu saya," terang dia. Ah, Bapak, betapa sederhana falsafah kebaikanmu. Kau demikian percaya pada hukum karma 'kebaikan berbalas kebaikan, keburukan akan berbuah keburukan'.
Si Bapak Tua merupakan satu dari sekian ribu imigran yang memasuki Italia untuk mencari penghidupan yang lebih baik, layaknya para perantau di Indonesia yang melakukan urbanisasi ke Jakarta atau kota besar lainnya. Imigran di sini atau para perantau di Indonesia seringkali dipandang miring oleh masyarakat atau diusir-usir, parahnya, oleh pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya atau warga yang berkedudukan di negaranya.
Seberapa mengganggukah para imigran di Italia? Atau, jika kita berpikir positif, seberapa besarkah sumbangan para imigran bagi pembangunan dan ekonomi nasional Italia? Secara kasat mata, jarang sekali orang Italia yang bersedia menekuni sektor-sektor informal, macam penjual kaki lima di kawasan wisata, buruh bangunan, pekerjaan domestik (baby sitter, jasa pembersihan rumah, pramusiwi), atau buruh di sektor pertanian. Jika tidak ada mereka, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan di pertanian yang tidak banyak diminati orang Italia sendiri, kalau bukan orang-orang Rumania, Maroko, atau Afrika? Siapa yang akan menjadi penjaga bayi atau perawat manula jika bukan imigran dari Filipina atau Peru?
Menurutku adalah kurang tepat jika mereka, beberapa orang Italia, memprotes para imigran dengan menyebutnya merebut lahan penghasilan mereka. Tidak, mereka tidak merebutnya. Sebaliknya, mereka datang untuk menawarkan jasa, mengisi kekosongan sektor yang selama ini tidak lagi diminati oleh orang Italia sendiri. Rasisme berdasar warna kulit atau batas negara tak lagi berlaku di dunia yang tanpa batas ini, maka bersikap adillah, sejak dalam pikiran hingga tingkah lakumu, Amico mio!
No comments:
Post a Comment