[catatan: tulisan ini pernah dipasang d blog lama untuk pertama kalinya pada 18 Juli 2010]
Sore ini, sambil menunggu Kaila terbangun dari tidur siangnya yang terlambat (jam 17.30 baru tertidur), aku menemukan status seorang teman yang mengeluhkan susahnya mencari PRT. PRT secara umum singkatan dari Pembantu Rumah Tangga, beberapa menyebutnya Pekerja Rumah Tangga, dan satu teman yang aku temukan memaknainya sebagai Partner (dalam menangani urusan) Rumah Tangga. Menarik sekali, menurutku.
Saat ini di keluargaku tidak memiliki seseorang yang menjadi teman kerja menangani urusan rumah tangga, kecuali aku dan suami dan kelak juga Kaila, akan tetapi aku tidak serta merta terlepas dari interaksi dengan Si Teman ini dalam sejarah hidupku. Almarhumah ibuku, Endang Resminingsih, adalah seorang guru SD yang sibuk di masa hidupnya. Selain mengajar sekolah di jam-jam sekolah, dia juga sibuk mengikuti perkumpulan ibu-ibu, mulai dari PKK dan arisan di RT, RW, dan desa, juga organisasi lain di kecamatan dan kabupaten. Untuk memasak sehari-hari, ibuku dibantu oleh almarhumah Nenekku, Misinah, sementara ibuku akan menghabiskan hari Minggu untuk mengajak jalan-jalan dan memasak atau membuatkan kue yang top di zaman itu.
Urusan membersihkan rumah, menjadi tanggung jawab kami empat bersaudara. Dua kakak yang paling besar bertugas menyapu, mengepel dan menyiram bunga. Aku dan seorang kakak yang berselisih satu tahun lebih tua dariku, kebagian merapikan dan membersihkan perabot dari debu, juga mengepel teras (*yang ini kami lakukan dengan sangat senang hati karena kami bisa bermain air dan berseluncur dengan kain pel di teras rumah di Pandowo itu :D) Nah, untuk mencuci dan menyeterika pakaian, mungkin menurut ibuku terlalu berat untuk dilakukan oleh kami yang waktu itu masih berusia di bawah 12 tahun. Maka, ibu meminta seorang tetangga untuk membantu kami melakukan dua urusan itu. Setiap kali, ibuku selalu berpesan kepada kami, "Yang namanya pembantu ya hanya membantu. Yang utama untuk melakukan adalah kita. Maka kerjakan apa yang kau bisa kerjakan, yang tidak bisa baru meminta bantuan." Dan kata-kata itu tertanam betul di benakku, hingga sekarang.
Ibuku memang menggunakan istilah pembantu, hanya karena waktu itu istilah ini yang lebih umum dipakai. Dalam prakteknya, ibu menganggapnya bagian dari keluarga. Kepada nenekku yang kebagian tugas memasak, Ibu berpesan agar menghitung Mak Jum, nama tetangga yang membantu kami itu, dan keluarganya dalam jatah masakan tiap harinya. Mak Jum yang datang setiap pagi untuk mencuci, biasanya akan pulang tengah hari untuk shalat dan menyiapkan makanan untuk suami dan anaknya. Oleh karena dia di rumahku untuk mencuci, tentu saja dia tidak sempat memasak di rumah kan? Di sinilah Ibuku menempatkan dirinya sebagai "pembantu" dari Mak Jum, yaitu menyiapkan makanan untuk Mak Jum dan keluarganya. Meski pada prakteknya Nenekku yang memasak, hehehehe.
Ketika aku mulai memiliki rumahku sendiri di Jogja, rumah yang aku kelola sendiri, maksudnya, bukan rumah yang aku beli :p Aku mulai mencoba mempraktekkan didikan ibuku. Sebisa mungkin aku mengerjakan sendiri pekerjaan di rumah. Sayangnya, pekerjaan yang menuntutku untuk banyak bepergian (kok mirip banget sama almarhum ibuku ya? baru sadar ketika menulis ini) membuat aku tidak bisa fokus mengurus rumah sendirian. Maka, aku meminta seorang tetangga yang membutuhkan penghasilan tambahan untuk datang ke rumahku satu minggu sekali untuk membersihkan rumahku. Sementara urusan pakaian (mencuci dan menyeterika) aku bekerja sama dengan tukang cuci (alias jasa laundry) terdekat dari rumah.
Ada beberapa alasan aku tidak mau mengambil seseorang untuk membantuku menangani urusan rumah tangga secara penuh, termasuk memintanya tinggal di rumahku. Selain tidak nyaman dengan kehadiran "orang lain" untuk menetap di rumahku, juga aku khawatir membuat diriku manja dan tergantung pada orang lain. Kekhawatiran ini terbantahkan oleh model interaksi antara keluarga yang membutuhkan bantuan dan mereka yang membantu.
Salah satunya adalah konsep ngemong (dari sisi yang membutuhkan bantuan) atau ngenger (dari sisi yang memberikan bantuan). Aku kurang tahu bagaimana budaya di suku lain, aku mengambil contoh budaya di suku Jawa karena aku orang Jawa yang dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi Jawa. Konsep ini sudah banyak dipakai orang Jawa zaman dulu, paling tidak di masa remaja ibuku. Ibuku lahir tahun 1951, sekitar tahun 1960an, ketika ia menginjak sekolah menengah, ibuku harus ngenger ke seorang kerabat jauh kakek-nenekku supaya bisa tetap sekolah. Kakekku yang mandor kecil perkebunan saat itu, tidak mampu membiayai sekolah ibuku hingga SMA, karena ia harus membiayai sekolah Om-ku, adik ibuku. Dengan rela hati ibuku ngenger pada sebuah keluarga yang menganggapnya sebagai anak angkat. Ibuku membantu menangani urusan rumah tangga di keluarga itu, sementara dia bisa melanjutkan sekolah di SPG. Hingga di tahun-tahun awal ibuku lulus SPG dan mulai menjadi guru, ia tetap di sana dan menjalankan perannya, hingga akhirnya ibuku menikah dengan bapakku dan tidak lagi tinggal di rumah keluarga angkatnya. Keluarga angkatnya itu pun tetap dianggap sebagai keluarga, sejak awal hingga kini, hingga orangtua angkat ibuku, yang aku panggil Eyang, telah meninggal, kami generasi ketiga tetap menjaga hubungan keluarga ini.
Menurutku, model ini bagus ketika kita ingin mengambil seseorang untuk membantu kita di rumah untuk kemudian diberdayakan di saat yang sama. Kita membutuhkan bantuannya, tapi kita tidak "memilikinya", sebaliknya mendukungnya untuk mengaktualisasikan potensi mereka. Ada yang meminta seseorang membantu di rumah dengan imbalan tambahan kursus menjahit, bahasa inggris, komputer, atau bahkan sekolah lain yang berijasah setara D1 atau D2. Bahwa pada akhirnya, dalam beberapa kasus, mereka memilih untuk tetap bekerja bersama di rumah kita, bisa jadi karena memang itu potensi mereka: mengelola rumah tangga :) Suatu keahlian yang layak dihargai karena kita yang meminta bantuan orang lain ini yang bisa jadi tidak memiliki keahlian itu.
Aku memberikan apresiasi kepada keluarga seorang teman yang menempatkan orang yang membantu di rumahnya sebagai mitra kerja ibunya dalam menangani urusan rumah tangga; menempatkannya dalam posisi yang setara dalam urusan tersebut (*bukan berarti kemudian dia dimintai pendapat apakah mau nambah anak atau tidak, he3). Tidak mudah buat kita untuk berbuat setara, termasuk kepada orang yang jelas-jelas memberikan jasanya membantu kita dalam mengurusi urusan rumah tangga yang kadang terasa tiada akhirnya (*kalau ini curhat nih :p)
Banyak pembantu bertingkah? Sering aku mendengarkan hal ini. Bisa jadi memang mereka "bertingkah", bisa jadi karena memang konsep yang dianut keluarga yang membutuhkan dan mereka yang memberikan bantuan berbeda. Beberapa keluarga masih menganut konsep "majikan-pembantu", sementara banyak pembantu sekarang yang sudah mengerti tentang hak-hak asasi pekerja rumah tangga. Maka tak jarang negosiasi antara (calon) majikan dan pembantu tadi berujung pada rasa kesal dan umpatan masing-masing karena yang satu menginginkan adanya orang yang mau memberikan jasanya 24 jam, 7 hari, 365 hari, sementara pihak lainnya mulai bicara soal standar upah minimal, jam kerja, jatah libur, dan asuransi (ada gak ya? yang butuh bantuan saja mungkin malah gak punya asuransi, hehehehe)
Saya adalah pendukung kesetaraan; gak peduli itu jender, mitra dalam menangani urusan rumah tangga, supervisor dan bawahan, orang tua dan anak, de el el, de es be. Karena itu saya lebih suka menyarankan mereka yang membutuhkan bantuan untuk lebih mengenal perkembangan bidang ini yang terbaru. Kenalilah calon mitra Anda nantinya, belajarlah tentang hak dan kewajiban masing-masing, buatlah kesepakatan yang memanusiakan masing-masing pihak. Bagaimanapun kita dan mereka juga manusia, punya rasa, punya hati, jangan samakan denngan ... alah, kok malah nge-rock!
Akhirul kata, untuk yang mencari teman kerja menangani urusan rumah tangga: banyak sabar dan tawakal, memang banyak rambu-rambu di luar sana, tapi sebenarnya lampu lalu-lintasnya berangkat dari hati kita, bahwa kita manusia yang ingin diperlakukan setara. Untuk mereka yang ingin memberikan jasanya untuk membantu mereka yang kekurangan keahlian untuk mengelola urusan rumah tangga: jadilah teman kerja yang baik, imbangkanlah hak dan kewajiban yang harus kalian jalani, bagaimanapun mereka juga manusia yang memiliki kekurangan seperti halnya kalian.
Salam dari ibu rumah tangga tanpa sesorang yang membantu di rumah, yang menjalankan peran bersama suami mengurus rumah tangga berdua, eh dua setengah dengan si Jagoan Kecil Kaila Lucia :)
No comments:
Post a Comment