[catatan: tulisan ini untuk pertama kalinya dipasang di akun facebook tanggal 12 Juni 2011
Ide Terpendam vs Peluang
Sejak pindah ke Roma, aku mencoba bertanya ke beberapa staf KBRI tentang berbagai aktivitas di sana yang memungkinkan aku dan Kaila, dan juga Luca, untuk berinteraksi lebih sering dengan masyarakat Indonesia di Roma atau sekitarnya. Sejak berkenalan dengan beberapa teman muda yang kreatif dan aktif menghasilkan karya-karya cantik dan unik, aku bertekad untuk membawa produk mereka ke Italia. Jujur, aku tidak punya pengalaman sama-sekali dalam hal jual-menjual alias berdagang a.k.a bisnis. Ditambah kompleksitas perijinan dan perpajakan di Italia, terjadi tarik-menarik dalam diriku kapan akan mulai melangkah dengan rencanaku ini.
Aku mendapat kabar tentang adanya bazar 2011 ini dari seorang teman yang merupakan istri salah stau staf KBRI Roma, tepatnya 7 minggu sebelum hari H. Antusias dan keraguan berkelebat; antusias karena aku merasa, “Ya, inilah momennya!”, sementara keraguan muncul ketika aku merasa tidak cukup tahu selera mode orang Italia terhadap produk oriental. Melihat setumpuk koleksi yang demikian beragam dan belum terpakai, karena sebagian besar datang di musim gugu dan dingin tahun lalu yang tidak memungkinkan aku mengenakannya, aku malah melihat peluang di sisi lain.
Menjajagi pasar. Ya, aku ingin melakukan penjajagan pasar; melihat selera orang Italia—juga masyarakat Indonesia di Italia dan mengkaji daya beli atau keinginan beli mereka terhadap produk-produk Indonesia. Aku menyebut keinginan beliberkait dengan berapa besaran euro yang mau mereka keluarkan untuk membeli produk-produk Indonesia berdasarkanpengetahuan dan penghargaan mereka pada produk itu. Pengetahuan atas produk menurutku penting, karena aku memiliki persepsi bahwa batik atau produk etnik Indonesia lainnya kurang dikenal di Italia. Kalaupun ada beberapa pameran batik atau kain tradisional lainnya di Italia biasanya dilakukan oleh para disainer batik kelas atas semacam Biyan atau Ghea Panggabean dengan bahan batik tulis yang harganya jutaan, yang diadakan di hotel berbintang atau gedung pertunjukan untuk warga elit, dan acaranya dibuat untuk undangan eksklusif. Melalui promosi macam ini, bagaimana batik akan dikenal masyarakat umum Italia?
Penghargaan terhadap produk juga salah satu hal yang menjadi perhatianku. Serbuan barang impor dari Cina yang diproduk secara masal dengan mesin pabrik dan dijual dengan harga yang sangat murah, membuat orang Italia membangun citra bahwa produk oriental—Cina, India, Indonesia, Thailand, “Ya, segitu deh harga produk oriental!” Mereka memukul rata antara produk yang diproduksi masal di pabrik dengan yang dihasilkan tangan-tangan kreatif yang terus menggali ide dan memperkaya produknya. Fiuh…kerja keras untuk mengenalkan batik dank ain tradisional Indonesia lainnya telah terbayang-bayang di mata … (*nyanyikan dengan nada dangdut ya, bacanya!)
Ambil bagian dengan sekian motivasi
Akhirnya, aku memutuskan ambil bagian dalam bazaar ini. Katakanlah iseng-iseng berhadiah tapi dengan persiapan serius :D, ditambah bayangan banyaknya makanan Indonesia yang akan dijual di sana, semakin menguatkan tekadku untuk ikut bergabung. Aiya ya ya ya … Langkah pertama, aku mengecek koleksiku. Ketika mudik Paskah di akhir April, aku memeriksa koleksi yang ada, yang belum terpakai dan layak jual, dan aku rela menjualnya (*karena ada beberapa koleksi yang sebenarnya layak sekali untuk dijual, tapi aku juga demikian menyukainya—dilema bakul mode on :D). Semua koleksi yang akan dijual ini aku angkut ke Roma. Selain itu, selama di Larino—kampung halaman Luca, aku mengobrol dengan adik-adik Luca yang memiliki toko perhiasan; bagaimana mereka menentukan harga, pandangan mereka tentang selera dan keinginan beli orang Italia atas produk oriental, dan beberapa isu teknis lainnya.
Hal ketiga yang aku lakukan adalah mencoba mencari informasi harga batik di Roma, di seputaran orang-orang KBRI. Lagi-lagi, teman istri staf KBRI Roma yang menjadi sumber informasiku. Menurutnya, mereka biasanya membandingkan harga batik yang dijual di Roma dengan produk-produk H&M yang merupakan produk masal dengan harga yang terjangkau oleh kelas menengah-bawah. Duh … firasatku jadi kurang baik, sungguh. Banyak pertanyaan yang kemudian berkelebat di kepala, khusus tentang seputaran orang-orang KBRI atau masyarakat Indonesia yang ada di Roma; apakah mereka mengikuti perkembangan terkini menyangkut batik dan kain tradisional di Indonesia? Tren mode yang semakin beragam sehingga kadang harga pakaian jadi berbahan batik atau kain tradisional lainnya menjadi mahal karena memang modelnya yang unik atau baru. Permintaan pasar yang meningkat, hingga harga kain atau pakaian batik-pun meningkat tajam. Harga bahan yang juga melonjak membuat para pengrajin batik dna kain tradisional “terpaksa” menaikkan harga jual produk mereka. Apakah mereka mengikuti semua ini dari negeri Pizza ini?
Mengapa Etalase Nusantara?
Oleh karena aku tidak mau sekedar menjadi penjual, maka aku mencoba merumuskan konsep dasar projek-ku ini. Ya, projek, demikian aku menyebutnya. Yang pertama kali melesat kuat di kepalaku adalah ‘mengenalkan teman-teman muda yang berbakat dan penuh dedikasi itu ke masyarakat Italia dan sekitarnya, bukannya sekedar menampilkan produknya menjadi produk tanpa nama’. Kasarnya, bisa jadi orang akan mengenalku sebagai makelar produk, tak apa. Aku akan lebih senang jika kemudian mereka mengenal Nur Aini sebagai artisnya Naini Designn, atau Idha Jacinta dan Vegi Handayani sebagai perempuan-perempuan cantik dan kreatif di belakang Batik Centil, Lila Imelda Sari sebagai disainer produk Lemari Lila, atau Claudyna S. Sasono sebagai perempuan hebat di belakang Sasono Butik yang menggagas sekian usaha untuk mengayakan batik Semarangan dan memberdayakan perempuan di sekitarnya di saat yang sama.
Konsep ‘etalase’ menjadi pilihanku. Etalase yang ‘memajang produk tanpa mengubah label produsen/artis/pengrajin aslinya’, demikian aku mendefinisikannya. Layaknya sebuah toko, (semoga) nantinya orang-orang di Italia dan sekitarnya akan datang padaku, ke ‘toko’-ku, ‘etalase’-ku ketika mereka membutuhkan atau ingin membeli produk Naini Designn, Batik Centil, Lemari Lila, Sasono Butik, Sogan Batik Rejodani dari Indonesia. Amin!
Cantik! Tapi ….
Mengamati dan Merekam Respon Para Pengunjung
Rasanya senang ketika pengunjung singgah dan mengamati lebih dekat produk atau karya yang kita pajang di meja atau kapstok. Lebih-lebih jika mereka banyak bertanya. Syukur-syukur jika kemudian mereka memutuskan membeli. Secara sejak awal aku memutuskan bazar ini sebagai media penjajagan pasar, maka aku tidak menaruh ekspektasi tinggi atas penjualan yang tinggi. Karena itu, aku tidak terlalu khawatir ketika di satu jam pertama kebanyakan pengunjung hanya lewat dan tersenyum, hanya sebagian kecil yang singgah, memegang-megang beberapa aksesoris di meja.
Di jam-jam berikutnya, aksesoris dan baju anak-anak yang paling banyak terjual. Aksesoris terjual lebih dari 60 persen dan baju anak-anak hampir 50 persennya … lumayan kan untuk pengalaman pertama? Beberapa di antara mereka tampaknya jatuh cinta pada pandangan pertama pada aksesoris Naini Designn dan Neng Genit a.k.a Batik Centil-nya Idha dan Egi yang memang unik. Sebagian yang lain bisa jadi mereka membuktikan bahwa aksesoris koleksi Et-Nusa yang paling unik dan menarik, setelah mereka berkeliling dan kembali lagi ke meja kami untuk membelinya. Untuk baju anak, aku menyadari bahwa Et-Nusa satu-satunya yang menjual baju anak di bazar ini; aku baru tahu ketika ada waktu untuk berjalan-jalan melihat-lihat stand yang lain.
“Seorang ibu Italia datang melihat-lihat koleksi baju. Dari kebaya yang ia kenakan, aku bisa mengenali dia adalah salah satu anggota tim gamelan dari Vatikan. Ia bertanya kalau-kalau aku punya koleksi untuk anak laki-laki berusia 4-5 tahun. Dengan sangat menyesal aku mengatakan aku tidak punya. Ia tidak menyerah, ia memilah-milah sendiri koleksi baju anak yang aku punya. Ia berhenti ketika menemukan sebuah atasan model kimono warna coklat muda dengan sebuah pita serut di bagian pinggang. Ia amati lama-lama. Lalu ia memanggil anaknya. Ia cobakan, dan, “Bagus!” katanya. Ehm … boleh juga ternyata. Baru menyadari bahwa atasan kimono anak itu bisa jadi model uniseks, he3. Aku pun mengusulkan melepas tali serutnya, yang seharusnya ditalikan membentuk pita, untuk menghilangkan kesan feminin. Ia setuju dan membayarnya. ….Tak berapa lama, ia kembali bersama anak perempuannya yang berusia sekitar 10-11 tahun. Mereka menemukan satu dress dengan aksen silang di dada untuk dicobakan. Sayang terlalu ketat di dada. Ia menjelajah lagi koleksiku. Aku menawarkan blus baby doll; anaknya suka karena modelnya yang lucu, ibunya kurang sreg dengan warnanya. Akhirnya mereka tak jadi mengambil keduanya. Beberapa waktu setelah itu, si Ibu masih saja bolak-balik ke stand Et-Nusa, mungkin sampai 4-5 kali, membolak-balik lagi koleksi baju, berlalu, dan kembali lagi. Hahahaha ternyata ia masih penasaran. Meski pada akhirnya ia tidak jadi membeli baju untuk anaknya, paling tidak koleksi Et-Nusa telah membuatnya penasaran. Aiya ya ya ya !”
Menjual baju dewasa tampaknya menjadi kompleksitas tersendiri. Ukuran dan harga menjadi isu yang paling keras muncul. Koleksi yang unik (satu model, satu warna, satu ukuran) pada titik tertentu menyulitkan calon pembeli untuk mendapatkan baju yang pas. Beberapa pengunjung misalnya, suka dengan koleksi Lemari Lila; yang satu suka yang warna hijau pupus, tapi sayang terlalu besar, aku tawarkan warna lain ia tidak mau karena ia suka warna hijaunya yang segar; sementara yang lainnya suka dengan warna lain tapi sayang ia tidak suka dengan lengan bajunya yang panjang. Belum lagi soal harga. Aku sedikit membuktikan dugaanku mengenai tingkat penghargaan orang Italia—paling tidak pengunjung stand Et-Nusa, kalau tidak mau melakukan generalisasi—bahwa mereka memiliki asumsi di kepala mereka kalau produk-produk oriental itu harganya, “Ya, segitu deh!” yang dibandingkan dengan harga produk massal Cina. Mereka tampak berpikir ulang ketika harus mengeluarkan euro lebih dari 20 atau 30 keping satuan untuk membayar baju oriental.
Bagi orang Indonesia sendiri, beberapa juga ragu membeli karena melihat harga yang bisa jadi memang dua kali lipat dibandingkan harga di Indonesia. Beberapa paham mengapa harganya bisa mencapai segitu, yang kemudian tak menghalangi mereka untuk membeli barang yang mereka suka atau butuhkan. Yang menarik, bagi beberapa orang Indonesia sendiri, kain tradisional Indonesia masih identik dengan batik …. Ketika aku menawarkan sepasang baju lurik buatan Sogan Batik Rejodani, mereka menjawab, “Ehm … saya lebih suka batik, lebih Indonesia!” Aiya ya ya ya …. Ingin rasanya aku bertanya balik, “Maaf, Indonesia bagian mana ya, Pak, Bu?”
Ini menjadi pe-er di masa depan, tentu saja, mengenalkan lebih baik produk kain Indonesia, tak hanya batik. Membukakan mata dunia bahwa produk tradisional adalah kekayaan budaya yang pada derajat tertentu tidak bisa dibandingkan dengan produk massal dari pabrik-pabrik bermesin teknologi tinggi—tentunya tanpa mengabaikan kenyataan bahwa pabrik-pabrik itu juga menjadi penopang ekonomi rakyat, sumber penghidupan rakyat kecil yang juga bekerja keras untuk mengoperasikan mesin-mesin itu.
Untuk mengakhiri, tapi semoga bukan yang terakhir (aiya, pidato banget :D), aku bersyukur atas kesempatan ini, kesempatan untuk belajar banyak hal, terutama mengenai dunia perbakulan dan fenomena sosial dibalik tren mode dan belanja di Italia, baik orang Italia maupun masyarakat Indonesia di sini. Terima kasih untuk semua artis, pengrajin, produsen batik yang telah mempersembahkan produk-produk terbaik mereka untuk ditampilkan Et-Nusa. Dan terima kasih yang dalam untuk Alia Swastika yang datang ke Roma di momen yang tepat, untuk dititipi beberapa barang, ikut menarik koper, menginstall kapstok, melayani pembeli dalam bahasa Inggris, dan menghibur Kaila supaya tidak bosan. Juga keluarga Evi Nurcahyani, yang meskipun tidak datang khusus untuk kami, tapi telah membantu “momong” Kaila sepanjang acara bazar dan membuatnya menjadi anak yang demikian menikmati acara di “Rumah Indonesia”.
No comments:
Post a Comment