Wednesday, February 29, 2012

Diet Bayi: Sebuah Pembuka Obrolan

Sekilas tentang 'Diet'
Apakah kau termasuk orang yang mengaosiasikan kata 'diet' sekedar dengan mengurangi makanan atau menguruskan badan? Ehm, bisa jadi pemaknaan itu benar, tapi terlalu sempit, sebenarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (KBBI Daring), disebutkan 'di·et /diĆ©t/ n Dok aturan makanan khusus untuk kesehatan dsb (biasanya atas petunjuk dokter)' http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. Sementara di Wikipedia, kata 'diet (nutrisi)' merujuk pada 'jumlah makanan yang dikonsumsi oleh manusia atau makhluk hidup lainnya. [lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Diet_(nutrition)]


Tapi ... bayi berdiet? Kenapa enggak? Harus, malah! Ketika para ibu hanya memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama, itulah diet! Dilanjutkan dengan Makanan Pendamping ASI (MPASI) melalui tahapan-tahapan sesuai perkembangan si bayi, itu juga diet. Jadi, gak perlu merasa aneh ketika mendengar frase 'diet bayi' ;)


Usia bayi 6 bulan bisa jadi usia penuh tantangan bagi para orangtua. Dilema "kepraktisan vs kesehatan" seringkali membentang di depan mata, belum lagi "modern vs tradisional", "lokal vs impor", "elit vs ndeso", hingga "mahal vs murah". Aku sendiri sih tidak terlalu suka mempertentangkan semua itu, karena bisa jadi setiap nilai di atas akan berlangsung berbeda pada situasi yang khas. Praktis bukan berarti tidak sehat; kalau kau ingin mengajak bayimu jalan-jalan ke gunung atau hutan seharian penuh, makanan bayi siap santap yang sehat tentu menjadi pilihan yang paling memungkinkan; praktis dan sehat bisa berjalan seiring tanpa harus dipertentangkan. 


Modern? Tradisional? Dilihat dari kacamata siapa dulu? Aku yang tinggal di Italia, keju adalah makanan lokal tradisional, yang di Indonesia menjadi makanan impor modern. Singkong, ubi jalar, buah mangga, pisang; di Indonesia menjadi makanan lokal yang sehat, di sini dia menjadi makanan impor yang harus dipastikan kualitasnya; bagaimana mereka dikirimkan melalui jasa pengiriman laut berminggu-minggu dan menjaga mereka tetap segar atau siap dimakan ketika sampai negara tujuan?




Selain bertanya dan berdiskusi dengan sesama orang tua beranak balita, aku juga suka menelusur artikel di internet dan membeli buku tentang MPASI dan menu untuk balita. Salah satu buku yang aku suka adalah Il Cucchiaino. Setelah membacanya, aku makin suka. Kenapa?


Pertama, buku ini ditulis oleh Miralda Colombo, seorang ibu muda, berdasar pengalamannya dengan anaknya yang berumur sekitar dua tahun. Dia memadukan resep tradisional warisan nenek dan ibunya, anjuran pediatra dan ahli gizi, hasil jelajahnya dari artikel/buku italia dan internasional, serta--ini yang paling penting menurutku--hasil eksplorasi dia dengan anaknya. Di sini, ia mencoba memberikan jawaban bahwa cara-cara tradisional tak harus dipertentangkan dengan yang modern.





Ada beberapa hal menarik yang aku temukan dalam buku ini.
Pertama, ia tidak hanya memuat resep untuk si bayi, tapi juga beberapa resep untuk anggota keluarga lain berbasis bahan dasar yang sama untuk makanan si bayi. Cara ini sangat membantu bagi ayah atau ibu yang tidak punya banyak waktu dan bisa menghemat belanja juga tentunya ;)
Kedua, falsafah dia tentang bahan yang dipilih untuk menyiapkan MPASI.
"Penting untuk mengenalkan berbagai makanan kepada si anak, termasuk dari belahan dunia lain, tapi yang lebih penting adalah mengutamakan bahan yang segar dan sesuai dengan musimnya."
Ini artinya, utamakan produk lokal, sesuai musim (untuk menghindari makanan yang diawetkan secara tidka alami), dan kalau bisa organik. 


Para Ayah, Ibu, ini sekelumit cerita pembukaku tentang makanan untuk bayi dan anak, juga untuk kita :) Kamu punya cerita apa?

Tuesday, February 28, 2012

Rumah Sakit Inklusif: Sekelumit Cerita tentang RS "Cristo Re di Roma"

[catatan: tulisan ini untuk pertama kalinya dipasang di akun facebook pada 16 Juni 2011]

Tak terhindarkan, akhirnya aku harus istirahat di rumah sakit. Istirahat di rumah selama 4 hari ternyata tak cukup. Kontraksi tak mereda, pendarahan malah terjadi.

Rabu sore adalah hari kontrol rutin. Vittori, ginekologku yang pintar dan baik itu, menunjukkan wajah kurang senang ketika kubilang perutku kram dan sejak Rabu pagi itu ada flek kecoklatan di celana dalamku. "Ehm ... non dovrebbe succedere! (seharusnya tidak boleh terjadi!)" ujarnya dgn gaya bicaranya yang khas, lembut tapi tegas. Setelah memastikan kondisiku sore itu, dia langsung berkata, "Anda harus tinggal di sini untuk pemulihan!" Segera dia menelepon bagian rawat inap ginekologia, bidan yg bertugas, dan pediatra. Terakhir, dia kontak bagian UGD untuk bersiap-siap memproses masuknya aku ke RS Cristo Re di Roma ini, di mana Vittori berpraktik setiap Rabu sore.

Mengapa Cristo Re di Roma?



Raja Kristus Roma, demikian kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sebuah rumah sakit Katolik yang kemudian menjadi rumah sakit publik. Cristo Re termasuk rumah sakit kecil, bahkan mungkin lebih kecil dari RS Panti Rapih atau Bethesda di Yogya yg mengharuskan staf atau dokter2nya bersepeda utk mencapai zona lain di rumah sakit itu.Kami memang memilih rumah sakit ini utk melahirkan nanti atas rekomendasi beberapa ibu teman sekolah Kaila, juga hasil observasi kami setelah beberapa bulan melakukan kontrol kehamilan dengan Vittori di sini. Dekat dari rumah, kecil, bersih, birokrasi sederhana; empat hal yg kami suka, selain karena Vittori berpraktik di sini.

Pelayanan yang bagus, staf yang ramah
Kami hanya menunggu 10 menit di ruang tunggu UGD sampai ada staf medis yang memanggilku untuk masuk mengisi data dan melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan. Cukup waktu untuk diskusi dengan Luca tentang apa yang harus kami lakukan malam ini, sambil ia menelepon orang tuanya untuk datang membantu menemani Kaila selama aku di rumah sakit nanti. 

Pengisian data dibantu seorang biarawati. Ketika data administratif siap, seorang staf medis melengkapi data medisnya dan membawaku ke ruangan lain dimana seorang ginekolog perempuan yang berjaga hari itu sudah menungguku. Ginekolog ini menjelaskan beberapa pemeriksaan yang harus aku jalani. 

Pertama, ia melakukan pemeriksaan vaginal untuk memastikan bercak darah yang keluar. Kedua, ia memasang alat monitor kontraksi yang berfungsi juga memeriksa detak jantung dan gerak bayi. Dari data yg tercetak, kami lihat 4-5 kontraksi yg cukup kuat (40-50%) selama 30 menit. Dia langsung menelepon bagian USG dan mengirimku ke sana. Pada seorang staf UGD dia berpesan agar membawaku ke lantai 1 dgn kursi roda, meski sebenarnya aku masih kuat jalan. "Untuk mengurangi kelelahan," kata si Bu Dokter. Melihatku di atas kursi roda, Kaila tak bisa lagi menyembunyikan rasa ingin tahu & wajah kuatirnya. Aku, Luca, dan staf UGD menjelaskan padanya secara bergantian. Ujung-ujungnya, "Aku juga mau pake kursi roda, Papa dorong yang kencang ya!" katanya :)

Hasil USG bagus, tak ada masalah. Aku dibawa lagi ke lantai dasar, ke UGD, untuk diambil darah. Kali ini agak kurang menyenangkan. Yang memasang jarum permanen untuk mengambil darah, dan nantinya untuk memasang infus juga, adalah perawat baru yang masih belajar. Tusukan yang kurang pas membuat banyak darah keluar sebelum dipasang tabung-tabung kecil sampel darah. Akhirnya si staf senior UGD membantu dan menjelaskan bahwa si perawat adalah baru. Setelah sekian mililiter darahku diambil, aku langsung dikamarkan di kamar kelas 2 dgn 3 tempat tidur. Ini layanan yang ditanggung askes publik. Jika ingin kamar tunggal, maka kita hrs membayar biaya kamar.


Inklusif: multietnis, agama dan tempat yang ramah difabel
Satu hal lain yg aku suka dari RS ini adalah inklusivitas-nya. Inklusif dalam arti terbuka dan setara bagi berbagai kelompok di masyarakat.
Di ruang tunggu praktik dokter, akan kita temui seorang bapak setengah baya yang bekerja sebagai penerima pasien. Setelah 2-3 kali kunjungan, aku baru tahu kalau dia memiliki kaki yang "unik", mungkin karena polio atau kecelakaan. Di UGD, si staf medis senior yg membantuku juga bukan italiano asli, dan staf medis lainnya tampak menghargai kemampuan dia yang bekerja baik dan cekatan.

Di ruang tunggu USG, kita bisa temui seorang perempuan india sebagai penerima pasien merangkap perawat. Juga pagi ini, dokter kontrol ditemani seorang perawat perempuan india lainnya. Dari dalam kamarku, sekilas aku jg melihat seorang dokter berkerudung, yang bisa hampir dipastikan 99% dia muslim.

Pelayanan juga tak berkurang ramahnya setelah mereka tahu aku muslim, setelah seorang pastor mendatangiku pagi ini untuk mendoakanku dan ingin memberi rosario. "Aku akan tetap berdoa utkmu dan kau berdoalah dgn caramu," katanya lembut.
Inklusivitas di sini juga ditunjukkan dengan adanya layanan khusus untuk imigran yang tidak bisa berbahasa italia dengan lancar. Mereka akan menghubungi Kantor Mediasi Kultural untuk mengirimkan seseorang yang bisa membantu di sini.

Keindahan yang bisa dilihat dibalik tantangan .... 

Roma, 16 Juni 2011

Etalase: Mengenalkan Produk Indonesia dan Mereka yang Ada di Belakangnya; Catatan Umum dari “Bazar Indonesiano” KBRI Roma 09.06.2011


[catatan: tulisan ini untuk pertama kalinya dipasang di akun facebook tanggal 12 Juni 2011

Ide Terpendam vs Peluang
Sejak pindah ke Roma, aku mencoba bertanya ke beberapa staf KBRI tentang berbagai aktivitas di sana yang memungkinkan aku dan Kaila, dan juga Luca, untuk berinteraksi lebih sering dengan masyarakat Indonesia di Roma atau sekitarnya. Sejak berkenalan dengan beberapa teman muda yang kreatif dan aktif menghasilkan karya-karya cantik dan unik, aku bertekad untuk membawa produk mereka ke Italia. Jujur, aku tidak punya pengalaman sama-sekali dalam hal jual-menjual alias berdagang a.k.a bisnis. Ditambah kompleksitas perijinan dan perpajakan di Italia, terjadi tarik-menarik dalam diriku kapan akan mulai melangkah dengan rencanaku ini.

Aku mendapat kabar tentang adanya bazar 2011 ini dari seorang teman yang merupakan istri salah stau staf KBRI Roma, tepatnya 7 minggu sebelum hari H. Antusias dan keraguan berkelebat; antusias karena aku merasa, “Ya, inilah momennya!”, sementara keraguan muncul ketika aku merasa tidak cukup tahu selera mode orang Italia terhadap produk oriental. Melihat setumpuk koleksi yang demikian beragam dan belum terpakai, karena sebagian besar datang di musim gugu dan dingin tahun lalu yang tidak memungkinkan aku mengenakannya, aku malah melihat peluang di sisi lain.

Menjajagi pasar. Ya, aku ingin melakukan penjajagan pasar; melihat selera orang Italia—juga masyarakat Indonesia di Italia dan mengkaji daya beli atau keinginan beli mereka terhadap produk-produk Indonesia. Aku menyebut keinginan beliberkait dengan berapa besaran euro yang mau mereka keluarkan untuk membeli produk-produk Indonesia berdasarkanpengetahuan dan penghargaan mereka pada produk itu. Pengetahuan atas produk menurutku penting, karena aku memiliki persepsi bahwa batik atau produk etnik Indonesia lainnya kurang dikenal di Italia. Kalaupun ada beberapa pameran batik atau kain tradisional lainnya di Italia biasanya dilakukan oleh para disainer batik kelas atas semacam Biyan atau Ghea Panggabean dengan bahan batik tulis yang harganya jutaan, yang diadakan di hotel berbintang atau gedung pertunjukan untuk warga elit, dan acaranya dibuat untuk undangan eksklusif. Melalui promosi macam ini, bagaimana batik akan dikenal masyarakat umum Italia?

Penghargaan terhadap produk juga salah satu hal yang menjadi perhatianku. Serbuan barang impor dari Cina yang diproduk secara masal dengan mesin pabrik dan dijual dengan harga yang sangat murah, membuat orang Italia membangun citra bahwa produk oriental—Cina, India, Indonesia, Thailand, “Ya, segitu deh harga produk oriental!” Mereka memukul rata antara produk yang diproduksi masal di pabrik dengan yang dihasilkan tangan-tangan kreatif yang terus menggali ide dan memperkaya produknya. Fiuh…kerja keras untuk mengenalkan batik dank ain tradisional Indonesia lainnya telah terbayang-bayang di mata … (*nyanyikan dengan nada dangdut ya, bacanya!)

Ambil bagian dengan sekian motivasi
Akhirnya, aku memutuskan ambil bagian dalam bazaar ini. Katakanlah iseng-iseng berhadiah tapi dengan persiapan serius :D, ditambah bayangan banyaknya makanan Indonesia yang akan dijual di sana, semakin menguatkan tekadku untuk ikut bergabung. Aiya ya ya ya … Langkah pertama, aku mengecek koleksiku. Ketika mudik  Paskah di akhir April, aku memeriksa koleksi yang ada, yang belum terpakai dan layak jual, dan aku rela menjualnya (*karena ada beberapa koleksi yang sebenarnya layak sekali untuk dijual, tapi aku juga demikian menyukainya—dilema bakul mode on :D). Semua koleksi yang akan dijual ini aku angkut ke Roma. Selain itu, selama di Larino—kampung halaman Luca, aku mengobrol dengan adik-adik Luca yang memiliki toko perhiasan; bagaimana mereka menentukan harga, pandangan mereka tentang selera dan keinginan beli orang Italia atas produk oriental, dan beberapa isu teknis lainnya.

Hal ketiga yang aku lakukan adalah mencoba mencari informasi harga batik di Roma, di seputaran orang-orang KBRI. Lagi-lagi, teman istri staf KBRI Roma yang menjadi sumber informasiku. Menurutnya, mereka biasanya membandingkan harga batik yang dijual di Roma dengan produk-produk H&M yang merupakan produk masal dengan harga yang terjangkau oleh kelas menengah-bawah. Duh … firasatku jadi kurang baik, sungguh. Banyak pertanyaan yang kemudian berkelebat di kepala, khusus tentang seputaran orang-orang KBRI atau masyarakat Indonesia yang ada di Roma; apakah mereka mengikuti perkembangan terkini menyangkut batik dan kain tradisional di Indonesia? Tren mode yang semakin beragam sehingga kadang harga pakaian jadi berbahan batik atau kain tradisional lainnya menjadi mahal karena memang modelnya yang unik atau baru. Permintaan pasar yang meningkat, hingga harga kain atau pakaian batik-pun meningkat tajam. Harga bahan yang juga melonjak membuat para pengrajin batik dna kain tradisional “terpaksa” menaikkan harga jual produk mereka. Apakah mereka mengikuti semua ini dari negeri Pizza ini?

Mengapa Etalase Nusantara?



Oleh karena aku tidak mau sekedar menjadi penjual, maka aku mencoba merumuskan konsep dasar projek-ku ini. Ya, projek, demikian aku menyebutnya. Yang pertama kali melesat kuat di kepalaku adalah ‘mengenalkan teman-teman muda yang berbakat dan penuh dedikasi itu ke masyarakat Italia dan sekitarnya, bukannya sekedar menampilkan produknya menjadi produk tanpa nama’. Kasarnya, bisa jadi orang akan mengenalku sebagai makelar produk, tak apa. Aku akan lebih senang jika kemudian mereka mengenal Nur Aini sebagai artisnya Naini Designn, atau Idha Jacinta dan Vegi Handayani sebagai perempuan-perempuan cantik dan kreatif di belakang Batik Centil, Lila Imelda Sari sebagai disainer produk Lemari Lila, atau Claudyna S. Sasono sebagai perempuan hebat di belakang Sasono Butik yang menggagas sekian usaha untuk mengayakan batik Semarangan dan memberdayakan perempuan di sekitarnya di saat yang sama.


Konsep ‘etalase’ menjadi pilihanku. Etalase yang ‘memajang produk tanpa mengubah label produsen/artis/pengrajin aslinya’, demikian aku mendefinisikannya. Layaknya sebuah toko, (semoga) nantinya orang-orang di Italia dan sekitarnya akan datang padaku, ke ‘toko’-ku, ‘etalase’-ku ketika mereka membutuhkan atau ingin membeli produk Naini Designn, Batik Centil, Lemari Lila, Sasono Butik, Sogan Batik Rejodani dari Indonesia. Amin!

Cantik! Tapi ….
Mengamati dan Merekam Respon Para Pengunjung
Rasanya senang ketika pengunjung singgah dan mengamati lebih dekat produk atau karya yang kita pajang di meja atau kapstok. Lebih-lebih jika mereka banyak bertanya. Syukur-syukur jika kemudian mereka memutuskan membeli. Secara sejak awal aku memutuskan bazar ini sebagai media penjajagan pasar, maka aku tidak menaruh ekspektasi tinggi atas penjualan yang tinggi. Karena itu, aku tidak terlalu khawatir ketika di satu jam pertama kebanyakan pengunjung hanya lewat dan tersenyum, hanya sebagian kecil yang singgah, memegang-megang beberapa aksesoris di meja.

Di jam-jam berikutnya, aksesoris dan baju anak-anak yang paling banyak terjual. Aksesoris terjual lebih dari 60 persen dan baju anak-anak hampir 50 persennya … lumayan kan untuk pengalaman pertama? Beberapa di antara mereka tampaknya jatuh cinta pada pandangan pertama pada aksesoris Naini Designn dan Neng Genit a.k.a Batik Centil-nya Idha dan Egi yang memang unik. Sebagian yang lain bisa jadi mereka membuktikan bahwa aksesoris koleksi Et-Nusa yang paling unik dan menarik, setelah mereka berkeliling dan kembali lagi ke meja kami untuk membelinya. Untuk baju anak, aku menyadari bahwa Et-Nusa satu-satunya yang menjual baju anak di bazar ini; aku baru tahu ketika ada waktu untuk berjalan-jalan melihat-lihat stand yang lain.

“Seorang ibu Italia datang melihat-lihat koleksi baju. Dari kebaya yang ia kenakan, aku bisa mengenali dia adalah salah satu anggota tim gamelan dari Vatikan. Ia bertanya kalau-kalau aku punya koleksi untuk anak laki-laki berusia 4-5 tahun. Dengan sangat menyesal aku mengatakan aku tidak punya. Ia tidak menyerah, ia memilah-milah sendiri koleksi baju anak yang aku punya. Ia berhenti ketika menemukan sebuah atasan model kimono warna coklat muda dengan sebuah pita serut di bagian pinggang. Ia amati lama-lama. Lalu ia memanggil anaknya. Ia cobakan, dan, “Bagus!” katanya. Ehm … boleh juga ternyata. Baru menyadari bahwa atasan kimono anak itu bisa jadi model uniseks, he3. Aku pun mengusulkan melepas tali serutnya, yang seharusnya ditalikan membentuk pita, untuk menghilangkan kesan feminin. Ia setuju dan membayarnya. ….
Tak berapa lama, ia kembali bersama anak perempuannya yang berusia sekitar 10-11 tahun. Mereka menemukan satu dress dengan aksen silang di dada untuk dicobakan. Sayang terlalu ketat di dada. Ia menjelajah lagi koleksiku. Aku menawarkan blus baby doll; anaknya suka karena modelnya yang lucu, ibunya kurang sreg dengan warnanya. Akhirnya mereka tak jadi mengambil keduanya. Beberapa waktu setelah itu, si Ibu masih saja bolak-balik ke stand Et-Nusa, mungkin sampai 4-5 kali, membolak-balik lagi koleksi baju, berlalu, dan kembali lagi. Hahahaha ternyata ia masih penasaran. Meski pada akhirnya ia tidak jadi membeli baju untuk anaknya, paling tidak koleksi Et-Nusa telah membuatnya penasaran. Aiya ya ya ya !”

Menjual baju dewasa tampaknya menjadi kompleksitas tersendiri. Ukuran dan harga menjadi isu yang paling keras muncul. Koleksi yang unik (satu model, satu warna, satu ukuran) pada titik tertentu menyulitkan calon pembeli untuk mendapatkan baju yang pas. Beberapa pengunjung misalnya, suka dengan koleksi Lemari Lila; yang satu suka yang warna hijau pupus, tapi sayang terlalu besar, aku tawarkan warna lain ia tidak mau karena ia suka warna hijaunya yang segar; sementara yang lainnya suka dengan warna lain tapi sayang ia tidak suka dengan lengan bajunya yang panjang. Belum lagi soal harga. Aku sedikit membuktikan dugaanku mengenai tingkat penghargaan orang Italia—paling tidak pengunjung stand Et-Nusa, kalau tidak mau melakukan generalisasi—bahwa mereka memiliki asumsi di kepala mereka kalau produk-produk oriental itu harganya, “Ya, segitu deh!” yang dibandingkan dengan harga produk massal Cina. Mereka tampak berpikir ulang ketika harus mengeluarkan euro lebih dari 20 atau 30 keping satuan untuk membayar baju oriental.

Bagi orang Indonesia sendiri, beberapa juga ragu membeli karena melihat harga yang bisa jadi memang dua kali lipat dibandingkan harga di Indonesia. Beberapa paham mengapa harganya bisa mencapai segitu, yang kemudian tak menghalangi mereka untuk membeli barang yang mereka suka atau butuhkan. Yang menarik, bagi beberapa orang Indonesia sendiri, kain tradisional Indonesia masih identik dengan batik …. Ketika aku menawarkan sepasang baju lurik buatan Sogan Batik Rejodani, mereka menjawab, “Ehm … saya lebih suka batik, lebih Indonesia!” Aiya ya ya ya …. Ingin rasanya aku bertanya balik, “Maaf, Indonesia bagian mana ya, Pak, Bu?”

Ini menjadi pe-er di masa depan, tentu saja, mengenalkan lebih baik produk kain Indonesia, tak hanya batik. Membukakan mata dunia bahwa produk tradisional adalah kekayaan budaya yang pada derajat tertentu tidak bisa dibandingkan dengan produk massal dari pabrik-pabrik bermesin teknologi tinggi—tentunya tanpa mengabaikan kenyataan bahwa pabrik-pabrik itu juga menjadi penopang ekonomi rakyat, sumber penghidupan rakyat kecil yang juga bekerja keras untuk mengoperasikan mesin-mesin itu.

Untuk mengakhiri, tapi semoga bukan yang terakhir (aiya, pidato banget :D), aku bersyukur atas kesempatan ini, kesempatan untuk belajar banyak hal, terutama mengenai dunia perbakulan dan fenomena sosial dibalik tren mode dan belanja di Italia, baik orang Italia maupun masyarakat Indonesia di sini. Terima kasih untuk semua artis, pengrajin, produsen batik yang telah mempersembahkan produk-produk terbaik mereka untuk ditampilkan Et-Nusa. Dan terima kasih yang dalam untuk Alia Swastika yang datang ke Roma di momen yang tepat, untuk dititipi beberapa barang, ikut menarik koper, menginstall kapstok, melayani pembeli dalam bahasa Inggris, dan menghibur Kaila supaya tidak bosan. Juga keluarga Evi Nurcahyani, yang meskipun tidak datang khusus untuk kami, tapi telah membantu “momong” Kaila sepanjang acara bazar dan membuatnya menjadi anak yang demikian menikmati acara di “Rumah Indonesia”.

Monday, February 27, 2012

BARU Empat Tahun


Februari 2008 - Februari 2012


Empat tahun usiamu, empat tahun kau menemani kami.

Empat tahun kau mengenalkan kepada kami betapa dirimu, dari nama pertamamu, yang murni dan (layak) dicintai itu merupakan harta yang bernilai tanpas batas.

Empat tahun dirimu, seperti makna nama keduamu, menerangi kehidupan kami, kedua orang tuamu, dan orang lain di sekitarmu.
"Dalam empat tahun itu, kau mulai belajar menyebut kata terima kasih, tolong dan maaf. Tiga kata ajaib yang menjadi dasar pembentukan karakternya di masa depan."
Empat tahun dia mencoba banyak hal baru, hingga dia menegaskannya satu demi satu: aku suka ini, aku tidak mau itu,  atau tidak, terima kasih.

Dalam empat tahun itu, kau menemukan kesukaanmu: mengoleksi segala sesuatu yang berkaitan dengan binatang (boneka, buku, tas dokter hewan) hingga Papa-mu berkata, "Rumah ini bagaikan kebun binatang lengkap dengan perpustakaan dan rumah sakitnya."

Empat tahun ini kau menunjukkan kecintaanmu pada buku dan dunia cerita anak; kau begitu tenangnya ketika kami mendongengkan cerita untukmu, kau demikian antusiasnya untuk memegang buku sendiri ketika kami sedang membacakannya untukmu, dan dengan penuh cintanya kau menceritakan ulang kisah-kisah dalam buku itu kepada adikmu atau pada dirimu sendiri sambil mematut diri di depan cermin memerankan setiap tokoh yang sedang kau ceritakan.
"Di tahun keempat dalam hidupmu, kau menjadi semakin istimewa karena kau menunjukkan diri sebagai seorang kakak yang baik hati dan penyayang. Adikmu, Orlando Kendra, akan bangga memiliki kakak sepertimu."

BARU empat tahun, demikian aku menyebutnya. BARU empat tahun kau menemaniku belajar menjadi orang tua, belajar menjadi diriku yang kini. BARU empat tahun kita berpetualang bersama. Semoga Gusti Allah memberikan empat tahun lainnya, empat tahun yang berlipat ganda untuk kita berempat bersama-sama belajar, berpetualang dan menjadikan diri kita bermanfaat bagi orang lain.

Selamat ulang tahun yang keempat, Nduk!

Bubu Cici

2K untuk Kai dan Ken

"Berawal dari satu, lalu berdua, kemudian bertiga, dan kini berempat"
Kaila Lucia (22.02.2008) telah menerangi hidup kami selama empat tahun dan semoga tetap menerangi jalan kami agar senantiasa menjadi orang tua yang tak lelah belajar.

Orlando Kendra (19.06.2011) hadir melengkapi keberagaman di rumah kecil kami. Karakternya yang mulai terlihat sejak dalam kandungan, yang sedikit banyak berbeda dengan Kaila, akan makin menguatkan semangat kami untuk belajar hal-hal baru.















Satu tak sama dengan dua, tak ringan bukan berarti berat, tapi lebih menantang. Karenanya, menjadi orang tua berarti menjadi orang yang tak pernah berhenti belajar.


Alih-alih Datang untuk Mengambil, Banyak dari Mereka yang Datang untuk Memberi

[catatan: tulisan ini pernah dipasang di blog lama untuk pertama kalinya pada 23 Juli 2010]

Malam itu adalah kedua kalinya aku mendapatinya di depan gelateria (baca: toko es krim) Badiana di Viale dei Mille, sebuah toko es krim yang cukup terkenal dan lumayan berkelas. Terkenal dan berkelas bermakna dikunjungi banyak orang, tak hanya orang Italia, melainkan juga orang asing yang tinggal menetap di sekitar Florence ataupun sekedar berwisata. Bahkan perempuan pemilik rumah yang aku sewa mengatakan bahwa banyak orang asing datang ke Florence untuk menjajal es krim Badiana ini.

Sekali lagi, ini adalah kedua kalinya aku memandangi lekat-lekat lelaki tua itu. Usianya aku perkirakan sekitar 60an tahun, mungkin, karena aku kurang mengenal ciri-ciri usia fisik orang-orang dari benua Afrika, sehingga sulit untukku memastikan kisaran usianya. Berbeda dengan kemarin, hari ini ia sudah duduk dan menggelar barang dagangannya, ketika aku tiba. Kesamaannya, tak ada orang yang, bahkan hanya sekedar, berhenti sejenak dan melihat-lihat barang yang ia tawarkan. Kesamaannya lagi, Kaila lah yang tertarik untuk mendekat, mulai memegang-megang aksesoris dan mainan yang ia gelar di atas selembar plastik.

Kemarin, aku mengamatinya sejak awal ia tiba di depan Badiana. Ia tarik selembar plastik lebar seukuran 50 x 100 cm. Dibentangkannya di depan sebuah pintu masuk apartemen yang berada tepat di samping Badiana. Dikeluarkannya barang-barang dagangan dan diaturnya secara rapi di atas bentangan plastik. Tak banyak barang yang dibawanya, kalau dikumpulkan semua, mungkin hanya satu plastik kresek ukuran sedang, terdiri dari aksesoris (kalung dan gelang) dan hewan-hewanan berbahan kayu. Kalau dari bentuk dan cirinya, barang-barang itu khas Afrika.

Setengah jam berlalu sejak ia datang dan menghamparkan barang dagangannya. Tak seorang pun melihat apalagi berniat membeli. Ah, jadi teringat pedagang kaki lima di Indonesia yang sering kena gusur Satpol PP. Tak jauh berbeda dengan di Indonesia, pedagang asongan di pusat kota Florence, sering menjadi kejaran polizia municipale (semacam satpol PP) dan guarda di finanza (polisi fiskal). Polizia municipale berkepentingan untuk memeriksa apakah mereka memiliki izin tinggal yang sah, sementara guarda di finanza akan membekuk mereka karena berdagang ilegal, tanpa bukti jual-beli alias nota penjualan alias bon, yang berarti tidak akan memberikan pemasukan pajak bagi pemerintah. [Catatanku: guarda di finanza tidak hanya mengejar para pedagang yang berasal dari kaum imigran, melainkan juga orang asli Italia. Caranya, secara acak, mereka akan memberhentikan pembeli yang baru keluar dari sebuah toko, jika diketahui ia membeli sesuatu dari toko yang dimaksud, maka ia akan diminta menunjukkan barang yang dibeli dan nota pembayarannya. Jika ia tidak bisa menunjukkan, maka baik pembeli atau penjual akan dikenai sanksi.]

Kembali ke lelaki tua itu. Di malam pertama aku melihatnya itu, kami sedang menunggu sepasang teman yang telah berjanji akan datang untuk makan es krim bersama. Sudah setengah jam lebih kami menunggu, Kaila pun sudah mulai bosan duduk. Melihat si Bapak Tua duduk dengan sekian banyak aksesoris, maka mulailah dia melakukan observasi. Seperti biasa ketika mengenal orang baru, dia akan mengamati dari jarak yang tidak terlalu dekat. Dia melewati depan si Bapak, bolak-balik, beberapa kali. Lalu dia mengucap, "La collana!" (Kalung!). Si Bapak Tua tersenyum kepada Kaila. Lalu dia mengambil sebuah gelang dan memberikannya kepada Kaila. Karena baru kenal, maka Kaila malu-malu dan tidak mau menerimanya. Gelang itu dilemparkannya ke arahku (si Bapak Tua sedang duduk, sehingga sulit baginya untuk berdiri mendekatiku untuk memberikan gelangnya), "Hadiah untuknya," dia bilang. Aku mengucapkan terima kasih dan aku coba pasangkan pada pergelangan tangan Kaila. Kaila menolak, dia tidak mau. Aku mencoba mengembalikan lagi kalung itu pada Si Bapak Tua, aku ucapkan lagi terima kasih dan meminta maaf karena Kaila tidak mau mengenakannya. Si Bapak Tua menolak dan berkata, "Ambil saja, mungkin besok pagi dia mau memakainya. Barang yang sudah saya berikan tidak bisa saya ambil kembali." Saya tertegun dibuatnya. Sambil tetap tersenyum, dia kembali menyelesaikan barang yang belum usai dia tata. 

Hingga hampir satu jam ia di sana, hingga ketika kami beranjak pulang, tak satu pun barang dagangannya berkurang terbeli, kecuali satu gelang yang ia berikan kepada Kaila.
Sekali lagi, malam ini, kedua kalinya aku melihatnya di depan Badiana. Entah sudah berapa lama ia di sana. Begitu melihatnya, aku berjanji dalam hati, aku akan membeli sesuatu darinya. Aku mendekatinya, menyapanya, menanyakan beberapa barang. Aku mengajak Maurizio, keponakanku, untuk memilih mainan yang ia mau. Ia memilih sebuah mainan ikan dari bahan kayu berukuran sekitar 10x15 cm, dengan cat warna-warni, "Dibuat dengan tangan," kata Si Bapak Tua. Aku bertanya berapa harganya, dia bilang 10 euro, tapi karena aku pembeli pertama malam itu (dan bisa jadi yang pertama dalam beberapa hari ini), maka ia memberikannya dengan harga 8 euro.

Sementara aku membayar, Maurizio dan Kaila sibuk mengambil gelang yang sama persis dengan gelang yang diberikan Si Bapak kepada Kaila dua hari sebelumnya. Aku bertanya apakah mereka menginginkannya, jika tidak maka aku minta mereka untuk mengembalikannya. Belum sempat mereka menjawab, Si Bapak Tua bilang bahwa mereka boleh membawanya, itu hadiah untuk mereka. Ah, berapa lagi keuntungannya berkurang setelah memberikan diskon 2 euro untuk ikannya, ditambah dua gelang yang diberikan secara gratis. Aku memaksa untuk membayar gelang-gelangnya, tapi dia menolak. "Kalau melihat anak-anak, saya teringat cucu saya. Sayang senang berbuat baik kepada anak-anak karena dalam hati saya berharap orang lain akan berbuat baik pula pada cucu-cucu saya," terang dia. Ah, Bapak, betapa sederhana falsafah kebaikanmu. Kau demikian percaya pada hukum karma 'kebaikan berbalas kebaikan, keburukan akan berbuah keburukan'.

Si Bapak Tua merupakan satu dari sekian ribu imigran yang memasuki Italia untuk mencari penghidupan yang lebih baik, layaknya para perantau di Indonesia yang melakukan urbanisasi ke Jakarta atau kota besar lainnya. Imigran di sini atau para perantau di Indonesia seringkali dipandang miring oleh masyarakat atau diusir-usir, parahnya, oleh pemerintah yang seharusnya berkewajiban memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya atau warga yang berkedudukan di negaranya.

Seberapa mengganggukah para imigran di Italia? Atau, jika kita berpikir positif, seberapa besarkah sumbangan para imigran bagi pembangunan dan ekonomi nasional Italia? Secara kasat mata, jarang sekali orang Italia yang bersedia menekuni sektor-sektor informal, macam penjual kaki lima di kawasan wisata, buruh bangunan, pekerjaan domestik (baby sitter, jasa pembersihan rumah, pramusiwi), atau buruh di sektor pertanian. Jika tidak ada mereka, siapa yang akan mengerjakan pekerjaan di pertanian yang tidak banyak diminati orang Italia sendiri, kalau bukan orang-orang Rumania, Maroko, atau Afrika? Siapa yang akan menjadi penjaga bayi atau perawat manula jika bukan imigran dari Filipina atau Peru?

Menurutku adalah kurang tepat jika mereka, beberapa orang Italia, memprotes para imigran dengan menyebutnya merebut lahan penghasilan mereka. Tidak, mereka tidak merebutnya. Sebaliknya, mereka datang untuk menawarkan jasa, mengisi kekosongan sektor yang selama ini tidak lagi diminati oleh orang Italia sendiri. Rasisme berdasar warna kulit atau batas negara tak lagi berlaku di dunia yang tanpa batas ini, maka bersikap adillah, sejak dalam pikiran hingga tingkah lakumu, Amico mio!

Casa dei Bambini: Rumah Anak-anak [Sebuah Tempat Bermain dan Berpetualang Senyaman Rumah]

[catatan: tulisan ini pertama kali dipasang di blog lama pada 20 Oktober 2010] 
Dari luar bangunan itu lebih menyerupai sebuah rumah tinggal, kecuali sebuah papan nama kecil “Casa Dei Bambini” (Rumah Anak-anak). Jika diamati lebih teliti, dengan mengintip sela-sela pagar yang ditutup dengan plastic hijau, memang terdapat mainan anak-anak di halaman yang tidak terlalu luas itu, hanya sekitar 3x8 meter, tidak terlalu lebar untuk sebuah sekolah untuk anak-anak. Memasuki pintu gerbang dan pintu utama, mulai terlihat bahwa ini sebuah sekolah, melalui foto-foto beberapa siswa yang dipajang di dinding sepanjang tangga naik dan beberapa kereta bayi yang diparkir di bawah tangga.
Ya, ini sekolah baru Kaila. Namanya Centro Educativo Maria Montessori yang beralamat di Via Tito Livio, 7A 00136 Roma. Alasan pertama kami mendatangi sekolah ini—untuk melihat-lihat—karena lokasinya yang dekat dengan rumah, tapi keputusan untuk memilih sekolah ini dibandingkan sekolah lain yang juga dekat adalah metodenya. Aku sendiri kurang mengenal metode Montessori yang ditawarkan sekolah ini, meski Luca sudah mengenalnya dengan baik. Aku langsung melakukan studi awal mengenai metode Montessori dan merasa cocok hampir 100 persen dengan pola pendidikannya, sejalan dengan yang kami terapkan ke Kaila selama ini.

Metode Montessori, namanya diambil dari nama pengembangnya, yaitu Maria Montessori. Dasar pemikiran utamanya adalah proses pendidikan yang mengacu pada perkembangan individu si anak, bukan pada target kurikulum yang harus dicapai dalam tahun akademik seperti yang kita kenal selama ini. Anak ditemani untuk mengenal dan mendalami kesukaan, kecenderungan, dan potensi lainnya, bukannya diarahkan pada aktivitas tertentu yang bisa jadi tidak disukai si anak. [Penjelasan tentang teori dan pendekatan metode Montessori bisa dicari lebih jauh di internet, salah satu situs yang lumayan membantuku untuk memahami metode ini aku adalah www.michaelolaf.net. Di situ bisa ditemukan sejarah Maria Motessori dan metode ini sendiri, filosofi dan praktek metode Montessori yang dibedakan berdasarkan kelompok usia. Singgah deh di sana! ;)]

Hari-hari Pengenalan
Kembali ke sekolah Kaila. Ini adalah sekolah Kaila yang ketiga, setelah yang pertama (satu bulan) di Asilo Nido Susteran di Larino dan yang kedua (enam bulan) di Creche, asilo-nido internal Universitas Institut Eropa di Florence. Di dua sekolah yang pertama, di hari-hari awal, pengenalan dilakukan dengan aku (baca: orang tua) harus meninggalkan Kaila (baca: anak) sendirian di sekolah secara bertahap; mulai dari 15 menit, ½ jam, 1 jam, dan seterusnya, sampai anak tidak lagi menangis ketika kita tinggalkan. Dengan jalan ini, Kaila menangis setiap kali kami tinggal dan jemput selama dua minggu lebih di sekolahnya yang pertama di Larino. Bisa jadi karena itu pengalaman dia yang pertama di usianya yang 23 bulan waktu itu. Di sekolah kedua, Kaila selalu menangis ketika kami tinggal dan jemput selama lima hari, meski tak selama dan separah di sekolah yang pertama.

Di sekolah ketiga ini, mereka menggunakan pendekatan yang lain. Para orang tua, salah satu tentunya, diminta untuk tinggal di dalam kelas, tidak meninggalkan si anak secara bertahap seperti di dua sekolah yang terdahulu. Aku diberikan tempat di sebuah sudut, diberikan setumpuk buku dan jurnal, sementara Kaila dibujuk oleh satu guru untuk bermain dengannya. Seorang guru senior berpesan padaku, “Tolong buat dirimu sibuk,” Ya, maka aku pun berpura-pura membaca atau menulis ketika Kaila menghampiri dan memeluk lenganku. Aku dan si guru saling menimpali memberikan penjelasan kepada Kaila bahwa aku tidak ke mana-mana, aku duduk di situ, menungguinya sambil membaca atau menulis. Kaila mengangguk dan ia pergi lagi bersama si guru untuk melakukan aktivitas lainnya. Setelah dua-tiga kali mendatangi dan memeluk atau mencubit lenganku, lama-lama Kaila hanya memandangiku dari jauh, memastikan bahwa aku masih tetap di kursiku. Usai jam makanan ringan, anak-anak dibawa ke halaman untuk bermain dan aku bilang pada Kaila bahwa aku harus ke supermarket dan akan kembali satu jam lagi untuk menjemputnya. Dia ragu-ragu, tapi kemudian dia mengangguk dan lari ke teman-temannya yang sudah mulai berebut main papan luncur.

Hari kedua, masih dengan pendekatan yang sama, tapi Kaila tidak lagi sering mendatangiku, hanya memandangiku dari jauh. Dia juga mulai percaya diri untuk berkeliling, menyentuh, mengamati, dan mencoba mainan yang ada. Mainan yang berbau air yang paling menarik untuk Kaila; tempat mencuci baju, mencuci tangan, atau cat air. Setiap ada anak yang ingin bermain di permainan berbau air ini, salah satu guru akan membantu mereka untuk mengenakan celemek dan lengan tahan air. Pada mereka ditunjukkan cara mengambil air di kamar mandi dan membawanya ke tempat permainan. Di akhir permainan, pada mereka juga ditunjukkan bagaimana membersihkan dan menempatkannya ke posisi semula. Menyenangkan sekali melihatnya, apalagi anak-anak yang melakukannya!

Guru dengan Stok Seribu Kesabaran dan “Tanpa Malu”
Yang juga lumaya menakjubkan buatku, tidak ada teriakan atau hardikan dari guru, bahkan ketika ada anak yang menjatuhkan air, pasir atau butiran kacang yang mereka mainkan. Jika ada sesuatu yang jatuh, yang mereka lakukan pertama adalah memastikan si anak tidak berjalan di atasnya yang bisa membuat mereka jatuh. Kemudian si guru akan meminta si anak untuk mengambil alat yang cocok untuk membersihkannya, dengan bantuan si guru tentunya. Jika si anak kotor, maka ia atau guru yang lain akan membawanya ke kamar mandi untuk belajar membersihkan diri. Jika pakaiannya basah, maka akan diajarkan kepada mereka untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sudah disiapkan, yang sudah ditinggalkan oleh orang tua di sekolah dalam sebuah tas kecil.

Para guru di sekolah ini masih muda, mungkin sekitar 20 tahunan usianya. Biasanya anak-anak muda identik dengan emosi dan amarah, tapi di sini mereka demikian sabar, tapi tegas, dalam menemani anak-anak bermain dan belajar. Mereka juga lihai menirukan banyak hal: binatang, kendaraan, bunga, dan melakukan banyak macam aksi yang menarik untuk anak-anak. Mereka juga dituntut untuk bisa menyanyi, tak harus indah layaknya penyanyi profesional, tapi bisa dan pintar berimprovisasi untuk memilih atau bahkan membuat sebuah lagu yang sesuai dengan situasi yang ada atau aktivitas yang sedang dilakukan.
Melihat mereka mengingatkanku pada seorang teman SMA di Lawang, yang sekarang menjadi guru di sebuah TK Islam di kampong halamannya, Singosari. Mengenalnya sebagai sosok yang aktif, ceria dan penuh ide, aku membayangkan dia menjadi guru yang asyik bagi murid-muridnya J

Dendangkan aktivitasmu
Ah, satu hal juga, di sekolah ini penuh dengan musik dan lagu. Selama permainan individual, di mana anak-anak akan memilih dan bermain sendiri-sendiri atau bersama 1-2 teman, si guru akan menyelipkan nyanyian-nyanyian yang cocok dengan permainannya. Ketika Kaila bermain merangkai kalung, misalnya, si guru menyanyikan sebuah lagu anak yang bertemakan kalung.
“Anak berbaju kuning ini bernama Kaila, la la la la la! Cowok kecil ganteng berbaju putih ini adalah Gabrielle, le le le! Putri cantik berbando merah ini namanya Elena, na na na na!”
Ketika cuplikan lagu itu terdengar, itu  pertanda bahwa aktivitas bersama di sekolah Kaila dimulai. Anak-anak diajak duduk dengan membentuk lingkaran. Seorang guru berjalan mengitari lingkaran, menyanyikan lagu perkenalan di atas sambil menunjuk, memeluk, memegang kepala atau pundak anak yang dimaksud. Lagunya dinyanyikan tidak dengan intonasi yang indah, tapi menarik dan mudah diingat oleh anak-anak. Setelah tiga hari mendengarkannya, Kaila bisa menirukannya di rumah.

Musik juga akan terdengar selama jam makanan ringan. Anak-anak duduk di kursi makan menunggu makanan ringannya disajikan oleh satu-dua teman yang bersedia membantu guru untuk membawakan ke teman-temannya. Sementara itu, satu-dua guru lainnya bermain musik. Kadang hanya dipasangkan musik “jadi”, namun tak jarang mereka memainkan alat musik yang sengaja digantungkan di dinding ruang makan. Melihat para guru memainkan alat musik, biasanya beberapa anak meminta mencoba memainkan dan mereka dibiarkan memainkan alat musiknya setelah mereka menyelesaikan makanan ringannya.

Kamu yang memilih permainan atau aktivitasnya, aku akan menemanimu
Di luar aktivitas kelompok dan bermain di halaman, setiap anak dibebaskan memilih permainan atau aktivitas yang mereka inginkan. Itu pun, ketika si anak tidak mau duduk bersama yang lain di dalam lingkaran kelompok atau di halaman, tidak ada paksaan untuk melakukannya. Andrea, misalnya, yang pertama kali masuk di hari yang sama dengan Kaila, ketika anak-anak yang lain duduk dalam lingkaran kelompok, ia hanya duduk sebentar dan kemudian beranjak ke ruangan lain. Ia mengamati mainan-mainan yang lain sambil sesekali melongok teman-temannya yang sedang beraktivitas bersama di lingkaran kelompok. Seorang guru menemaninya. Atau Gabrielle yang memilih tetap tinggal di dalam untuk mencuci serbet, ketika yang lain bermain di halaman.

Hari Baru, Cerita dan Lagu Baru
Hanya dua hari dimana aku benar-benar mengamati sekolah ini, tapi aku merasa cukup yakin dan senang bisa menemukan sekolah ini. Di hari-hari berikutnya pun Kaila hampir selalu merasa ringan dan senang untuk pergi ke sana. Seingatku, hampir sebulan Kaila di sekolah ini, hanya 2-3 kali dia menawar untuk tidak ke sekolah, salah satunya ketika Kakeknya datang mengunjungi kami. Biasanya kami mengobrol sedikit mengapa dia tidak mau ke sekolah. Beberapa kali dia menjawab karena ingin menonton film ini dan itu, yang kemudian aku mengatakan, “Film bisa ditonton nanti, tapi sekolah hanya ada di pagi hari,” atau, “Kaila hanya akan sendirian menonton film di rumah, Bubu juga tidak bisa menemani Kaila karena harus belanja dan sedikit bekerja. Di sekolah akan lebih menyenangkan karena ada guru-guru dan teman-teman. Kau ingin main apa hari ini?” Dengan pertanyaan pancingan ini biasanya dia akan menyebutkan apa yang ingin dia lakukan: mencuci serbet, menyapu ruang makan, atau menempel kertas gambar. Dan dia akan balik bertanya padaku, “Jajanan apa yang kau bawakan hari ini untuk makanan ringanku, Bubu?” Aha, ini cara Kaila mengatakan, “Aku akan ke sekolah!”

Setiap menjemput Kaila, pertanyaan standarku adalah, “Kaila senang di sekolah hari ini?” Itu yang menurutku penting, bahwa Kaila senang atau menikmati waktunya di sekolah. Mungkin untuk saat ini bahkan lebih penting dari pertanyaan, “Kaila tadi belajar apa di sekolah?” Karena bagaimanapun dari situasi yang menyenangkan dia pasti akan belajar sesuatu, meski tidak ditujukan secara khusus untuk belajar. Sebaliknya, ketika si anak ditargetkan untuk mempelajari sesuatu, maka sebenarnya yang dia dapat hanyalah nilai setoran, bukan pembelajaran yang sebenarnya.
Setiap dalam perjalanan pulang itu pula, Kaila menyerocos menceritakan apa yang dia lakukan hari itu, apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan. Seperti suatu hari sambil terengah-engah menaiki tangga pintas menuju rumah kami, Kaila bercerita:
“Hari ini kami ke hutan. [*Aku sempat bingung, ke hutan mana? Kalau ke hutan beneran, pastinya akan ada pemberitahuan ke orangtua bahwa hari itu ada acara keluar sekolah] Semua anak ikut. [*Masih diliputi kebingungan, aku mencoba merespon ceritanya dengan bertanya, “Siapa yang menemani ke hutan?”] Ditemani Maestra (Guru) Alessandra. Kami menanam pohon, pohon kursi. Kaila jadi harimau. Haum! [*Ah, itu dia. Mereka bermain dengan berimajinasi jalan-jalan ke hutan, dengan mengibaratkan kursi-kursi sebagai pepohonan dan anak-anak menjadi hewan hutan]”
Lain hari, dia mendendangkan lagu baru sepanjang jalan atau ketika bermain dengan boneka dan buku-bukunya di rumah. Atau dia akan menyebutkan nama teman baiknya, atau beberapa teman yang dia tidak temui hari itu. Yang juga lumayan sering, dia mengulang-ulang gerakan-gerakan baru yang dia pelajari hari itu dan akan berhenti jika aku mengamatinya dengan serius. Maka kadangkala aku pura-pura tidak melihat dan membiarkannya menikmati permainan barunya. Ketika dia mulai percaya diri dengan hal-hal barunya, maka aku akan bilang kalau aku suka dan bertanya apakah itu tadi.

Sungguh kami tidak menyesal mengirimkan Kaila ke sekolah ini, meski kami harus membayar cukup mahal dan ini sempat dipertanyakan seorang teman yang berpikir mungkin lebih baik tidak mengirimkan anak ke sekolah jika harus membayar sebanyak itu. Kalaupun kami punya pilihan untuk mengirimkannya ke sekolah negeri, maka kami akan melakukannya. Tapi pilihannya saat itu adalah sekolah swasta atau tidak sama sekali, karena di bulan September sekolah negeri sudah tutup pendaftaran dan, khususnya di kota besar, kuota siswa sudah penuh, serta Kaila yang usianya belum genap tiga tahun tidak akan diterima di sekolah negeri. Dan mengingat Kaila yang anak gaul, maka akan lebih membawa manfaat untuknya jika dia bersosialisasi dibandingkan hanya tinggal di rumah denganku, yang bisa saja akan lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi ketika aku harus melakukan sesuatu yang lain. Lebih baik dia menjadi pemain film di dunia anak yang nyata, daripada sekedar menjadi penonton :)

PRT: Pekerja Rumah Tangga, Pembantu Rumah Tangga, atau Partner (dalam menangani urusan) Rumah Tangga

[catatan: tulisan ini pernah dipasang d blog lama untuk pertama kalinya pada 18 Juli 2010]

Sore ini, sambil menunggu Kaila terbangun dari tidur siangnya yang terlambat (jam 17.30 baru tertidur), aku menemukan status seorang teman yang mengeluhkan susahnya mencari PRT. PRT secara umum singkatan dari Pembantu Rumah Tangga, beberapa menyebutnya Pekerja Rumah Tangga, dan satu teman yang aku temukan memaknainya sebagai Partner (dalam menangani urusan) Rumah Tangga. Menarik sekali, menurutku.

Saat ini di keluargaku tidak memiliki seseorang yang menjadi teman kerja menangani urusan rumah tangga, kecuali aku dan suami dan kelak juga Kaila, akan tetapi aku tidak serta merta terlepas dari interaksi dengan Si Teman ini dalam sejarah hidupku. Almarhumah ibuku, Endang Resminingsih, adalah seorang guru SD yang sibuk di masa hidupnya. Selain mengajar sekolah di jam-jam sekolah, dia juga sibuk mengikuti perkumpulan ibu-ibu, mulai dari PKK dan arisan di RT, RW, dan desa, juga organisasi lain di kecamatan dan kabupaten. Untuk memasak sehari-hari, ibuku dibantu oleh almarhumah Nenekku, Misinah, sementara ibuku akan menghabiskan hari Minggu untuk mengajak jalan-jalan dan memasak atau membuatkan kue yang top di zaman itu.

Urusan membersihkan rumah, menjadi tanggung jawab kami empat bersaudara. Dua kakak yang paling besar bertugas menyapu, mengepel dan menyiram bunga. Aku dan seorang kakak yang berselisih satu tahun lebih tua dariku, kebagian merapikan dan membersihkan perabot dari debu, juga mengepel teras (*yang ini kami lakukan dengan sangat senang hati karena kami bisa bermain air dan berseluncur dengan kain pel di teras rumah di Pandowo itu :D) Nah, untuk mencuci dan menyeterika pakaian, mungkin menurut ibuku terlalu berat untuk dilakukan oleh kami yang waktu itu masih berusia di bawah 12 tahun. Maka, ibu meminta seorang tetangga untuk membantu kami melakukan dua urusan itu. Setiap kali, ibuku selalu berpesan kepada kami, "Yang namanya pembantu ya hanya membantu. Yang utama untuk melakukan adalah kita. Maka kerjakan apa yang kau bisa kerjakan, yang tidak bisa baru meminta bantuan." Dan kata-kata itu tertanam betul di benakku, hingga sekarang.

Ibuku memang menggunakan istilah pembantu, hanya karena waktu itu istilah ini yang lebih umum dipakai. Dalam prakteknya, ibu menganggapnya bagian dari keluarga. Kepada nenekku yang kebagian tugas memasak, Ibu berpesan agar menghitung Mak Jum, nama tetangga yang membantu kami itu, dan keluarganya dalam jatah masakan tiap harinya. Mak Jum yang datang setiap pagi untuk mencuci, biasanya akan pulang tengah hari untuk shalat dan menyiapkan makanan untuk suami dan anaknya. Oleh karena dia di rumahku untuk mencuci, tentu saja dia tidak sempat memasak di rumah kan? Di sinilah Ibuku menempatkan dirinya sebagai "pembantu" dari Mak Jum, yaitu menyiapkan makanan untuk Mak Jum dan keluarganya. Meski pada prakteknya Nenekku yang memasak, hehehehe.

Ketika aku mulai memiliki rumahku sendiri di Jogja, rumah yang aku kelola sendiri, maksudnya, bukan rumah yang aku beli :p Aku mulai mencoba mempraktekkan didikan ibuku. Sebisa mungkin aku mengerjakan sendiri pekerjaan di rumah. Sayangnya, pekerjaan yang menuntutku untuk banyak bepergian (kok mirip banget sama almarhum ibuku ya? baru sadar ketika menulis ini) membuat aku tidak bisa fokus mengurus rumah sendirian. Maka, aku meminta seorang tetangga yang membutuhkan penghasilan tambahan untuk datang ke rumahku satu minggu sekali untuk membersihkan rumahku. Sementara urusan pakaian (mencuci dan menyeterika) aku bekerja sama dengan tukang cuci (alias jasa laundry) terdekat dari rumah.

Ada beberapa alasan aku tidak mau mengambil seseorang untuk membantuku menangani urusan rumah tangga secara penuh, termasuk memintanya tinggal di rumahku. Selain tidak nyaman dengan kehadiran "orang lain" untuk menetap di rumahku, juga aku khawatir membuat diriku manja dan tergantung pada orang lain. Kekhawatiran ini terbantahkan oleh model interaksi antara keluarga yang membutuhkan bantuan dan mereka yang membantu.

Salah satunya adalah konsep ngemong (dari sisi yang membutuhkan bantuan) atau ngenger (dari sisi yang memberikan bantuan). Aku kurang tahu bagaimana budaya di suku lain, aku mengambil contoh budaya di suku Jawa karena aku orang Jawa yang dibesarkan dalam lingkungan dan tradisi Jawa. Konsep ini sudah banyak dipakai orang Jawa zaman dulu, paling tidak di masa remaja ibuku. Ibuku lahir tahun 1951, sekitar tahun 1960an, ketika ia menginjak sekolah menengah, ibuku harus ngenger ke seorang kerabat jauh kakek-nenekku supaya bisa tetap sekolah. Kakekku yang mandor kecil perkebunan saat itu, tidak mampu membiayai sekolah ibuku hingga SMA, karena ia harus membiayai sekolah Om-ku, adik ibuku. Dengan rela hati ibuku ngenger pada sebuah keluarga yang menganggapnya sebagai anak angkat. Ibuku membantu menangani urusan rumah tangga di keluarga itu, sementara dia bisa melanjutkan sekolah di SPG. Hingga di tahun-tahun awal ibuku lulus SPG dan mulai menjadi guru, ia tetap di sana dan menjalankan perannya, hingga akhirnya ibuku menikah dengan bapakku dan tidak lagi tinggal di rumah keluarga angkatnya. Keluarga angkatnya itu pun tetap dianggap sebagai keluarga, sejak awal hingga kini, hingga orangtua angkat ibuku, yang aku panggil Eyang, telah meninggal, kami generasi ketiga tetap menjaga hubungan keluarga ini.

Menurutku, model ini bagus ketika kita ingin mengambil seseorang untuk membantu kita di rumah untuk kemudian diberdayakan di saat yang sama. Kita membutuhkan bantuannya, tapi kita tidak "memilikinya", sebaliknya mendukungnya untuk mengaktualisasikan potensi mereka. Ada yang meminta seseorang membantu di rumah dengan imbalan tambahan kursus menjahit, bahasa inggris, komputer, atau bahkan sekolah lain yang berijasah setara D1 atau D2. Bahwa pada akhirnya, dalam beberapa kasus, mereka memilih untuk tetap bekerja bersama di rumah kita, bisa jadi karena memang itu potensi mereka: mengelola rumah tangga :) Suatu keahlian yang layak dihargai karena kita yang meminta bantuan orang lain ini yang bisa jadi tidak memiliki keahlian itu.

Aku memberikan apresiasi kepada keluarga seorang teman yang menempatkan orang yang membantu di rumahnya sebagai mitra kerja ibunya dalam menangani urusan rumah tangga; menempatkannya dalam posisi yang setara dalam urusan tersebut (*bukan berarti kemudian dia dimintai pendapat apakah mau nambah anak atau tidak, he3). Tidak mudah buat kita untuk berbuat setara, termasuk kepada orang yang jelas-jelas memberikan jasanya membantu kita dalam mengurusi urusan rumah tangga yang kadang terasa tiada akhirnya (*kalau ini curhat nih :p)

Banyak pembantu bertingkah? Sering aku mendengarkan hal ini. Bisa jadi memang mereka "bertingkah", bisa jadi karena memang konsep yang dianut keluarga yang membutuhkan dan mereka yang memberikan bantuan berbeda. Beberapa keluarga masih menganut konsep "majikan-pembantu", sementara banyak pembantu sekarang yang sudah mengerti tentang hak-hak asasi pekerja rumah tangga. Maka tak jarang negosiasi antara (calon) majikan dan pembantu tadi berujung pada rasa kesal dan umpatan masing-masing karena yang satu menginginkan adanya orang yang mau memberikan jasanya 24 jam, 7 hari, 365 hari, sementara pihak lainnya mulai bicara soal standar upah minimal, jam kerja, jatah libur, dan asuransi (ada gak ya? yang butuh bantuan saja mungkin malah gak punya asuransi, hehehehe)

Saya adalah pendukung kesetaraan; gak peduli itu jender, mitra dalam menangani urusan rumah tangga, supervisor dan bawahan, orang tua dan anak, de el el, de es be. Karena itu saya lebih suka menyarankan mereka yang membutuhkan bantuan untuk lebih mengenal perkembangan bidang ini yang terbaru. Kenalilah calon mitra Anda nantinya, belajarlah tentang hak dan kewajiban masing-masing, buatlah kesepakatan yang memanusiakan masing-masing pihak. Bagaimanapun kita dan mereka juga manusia, punya rasa, punya hati, jangan samakan denngan ... alah, kok malah nge-rock!

Akhirul kata, untuk yang mencari teman kerja menangani urusan rumah tangga: banyak sabar dan tawakal, memang banyak rambu-rambu di luar sana, tapi sebenarnya lampu lalu-lintasnya berangkat dari hati kita, bahwa kita manusia yang ingin diperlakukan setara. Untuk mereka yang ingin memberikan jasanya untuk membantu mereka yang kekurangan keahlian untuk mengelola urusan rumah tangga: jadilah teman kerja yang baik, imbangkanlah hak dan kewajiban yang harus kalian jalani, bagaimanapun mereka juga manusia yang memiliki kekurangan seperti halnya kalian.

Salam dari ibu rumah tangga tanpa sesorang yang membantu di rumah, yang menjalankan peran bersama suami mengurus rumah tangga berdua, eh dua setengah dengan si Jagoan Kecil Kaila Lucia :)

Tradisi Memberikan Hadiah atau Sumbangan: Modal Sosial atau Beban Sosial?

(Catatan: Tulisan serupa pernah dimuat di Buletin Flamma Ed. 32, IRE Yogyakarta)

Italia dan Indonesia, dua negara yang sama-sama diawali dengan huruf  "I" namun berada di belahan dunia yang berbeda; satu di Eropa dan yang lain di Asia. Kesamaan lainnya, memiliki makanan khas yang enak-enak (alah, makanan kok mesti nomer 1!) dan masih menganut nilai kekeluargaan yang kuat. Dalam bukunya, The Italians, Luigi Barzani menuliskan, “Pengamat sosial mengakui bahwa kekerabatan di Italia sebagai satu-satunya institusi yang fundamental di negara tersebut, sebuah penciptaan spontan atas intelektual bangsa, yang beradaptasi selama berabad-abad terhadap kondisi yang terus berubah, serta dasar nyata bagi eksistensi tatanan sosial apapun.” Tidak mengherankan jika kekerabatan menjadi sumberdaya penting bagi penggalangan dukungan politik, khususnya di tingkat lokal, atau pembentukan konglomerasi lokal di bidang ekonomi, juga kelompok kejahatan yang berbasis ikatan keluarga macam mafia atau camorra.

Dalam kehidupan sehari-hari, kentalnya ikatan keluarga ini bisa kita temui dengan lumayan seringnya orangtua mengajak anaknya untuk jalan-jalan ke alun-alun, taman kota, atau membeli es krim di musim panas. Keluarga besar yang tinggal berdekatan, biasanya mengadakan acara makan siang bersama di hari Minggu. Jadi, lumayan sering juga mereka bertemu, tak harus menunggu acara arisan keluarga seperti di Indonesia.

Satu tradisi yang menarik adalah kebiasaan saling memberikan hadiah dalam berbegai kesempatan, mulai dari pernikahan, kelahiran, ulang tahun, maupun momen keagamaan, seperti pembaptisan dan komuni pertama dalam tradisi Katolik. Kenapa menarik? Selain menunjukkan simpati atau empati atas sebuah peristiwa, pemberian hadiah juga untuk membangun citra (image building). Kalau yang pertama, pemberian hadiah dilakukan dengan kesukarelaan dan dilatarbelakangi solidaritas, sedangkan yang kedua, pembentukan citra, mengandung makna “keharusan” dan unsur persaingan ‘semakin bagus dan mahal hadiah yang diberikan, semakin tinggi citra yang terbentuk’.

“Memberikan Hadiah” di Italia dan “Menyumbang” di Indonesia
Jika di Indonesia kebiasaan memberikan hadiah (atau lebih tepatnya sumbangan) tidak sebatas momen perayaan namun juga musibah, maka di Italia tradisi ini lebih mengarah pada peristiwa-peristiwa perayaan. Di wilayah darimana Luca berasal, Molise, kebiasaan menyumbang saudara yang sedang mengalami musibah hampir-hampir tidak ada. Jika ada saudara yang sakit, mereka cukup menjenguk ke rumah sakit atau rumah tanpa membawa apa-apa. Kalau ada kerabat yang mendapat musibah kematian, sebagian kecil masyarakat, terbatas di lingkungan keluarga, datang membawa gula dan kopi untuk diberikan kepada keluarga yang terkena musibah. Sifatnya hanya simbolik, tentu saja, karena sebenarnya bahan-bahan itu mampu dibeli oleh keluarga yang sedang mengalami musibah.

Kalau di Indonesia, ketika akan menjenguk orang sakit atau melayat, maka orang akan sibuk menyiapkan "bawaan". Tentu tujuannya baik, membantu meringankan orang yang terkena musibah (meski seringkali kalau membawa makanan untuk orang sakit, si sakit malah tidak bisa menikmatinya karena sedang melakukan diet). Tapi bantuan beras, gula, kopi, dan bahan makanan lainnya pasti membantu keluarga yang mendapat musibah kematian karena, di Indonesia, musibah kematian biasanya akan diikuti dengan acara selamatan atau kenduri dimana si keluarga harus menyiapkan makanan untuk mereka yang datang di acara kenduri.

Dalam momen perayaan, di Indonesia bisa jadi tidak seberagam di Italia, biasanya “hanya” meliputi pernikahan, kelahiran bayi, ulang tahun, dan khitanan. Sementara di Italia, pemberian hadiah juga dilakukan pada momen perayaan keagamaan, seperti pembaptisan dan komuni pertama. Pada momen perayaan keagamaan, hadiah yang diberikan berupa uang atau perhiasan emas; biasanya berupa liontin salib atau gambar wajah Yesus atau Maria yang akan dikenakan oleh si anak yang dibaptis atau mendapat komuni pertama. Sebuah model baru pengelolaan hadiah, keluarga yang anaknya dibaptis atau diberikan komuni pertama meminta hadiah berupa uang tunai untuk kemudian disumbangkan kepada organisasi sosial, salah satunya UNICEF di Italia. “Pesanan” ini mudah dilakukan karena yang diundang untuk momen perayaan ini hanyalah keluarga atau teman dekat, sehingga tidak ada rasa segan untuk memberikan pesan atas hadiah apa yang mereka inginkan.

Pada momen perayaan umum (non-religius), hadiah biasanya diberikan dalam bentuk uang atau barang selain perhiasan emas, kecuali dalam perayaan ulang tahun ke-18 yang nilainya sama dengan ulang tahun ke-17 di Indonesia sebagai tanda memasuki kedewasaan. Nilai nominal hadiah yang diberikan biasanya lebih tinggi dari barang-barang yang digunakan si pemberi sehari-hari. Misalkan si pemberi membelikan baju seharga 15 euro untuk anaknya, maka ia akan membeli baju seharga 20 euro untuk diberikan sebagai hadiah. Jika diberikan dalam bentuk uang, bisa jadi akan lebih besar, dinilai berdasarkan kepantasan.
Kenapa di Italia orang cenderung memberikan hadiah dalam momen perayaan, sementara di Indonesia lebih banyak menyumbang dalam peristiwa musibah? Mari kita lihat konteks poleksosbud-nya (gak usah pakai hankam deh, nanti dpikir Wawasan Nusantara, kan kita mau bicara soal Selera Nusantara. Alah, makanan lagi!)

Italia, meski belum semaju negara-begara kesejahteraan rakyat (welfare state) di kawasan Skandinavia, telah memiliki skema dasar pelayanan sosial, diantaranya kesehatan dan pendidikan. Dikatakan pelayanan dasar karena menunjuk pada jenis pelayanan untuk bertahan hidup. Negara menanggung pelayanan kesehatan di dokter keluarga, gartis, tapi harus membayar jika mendapat rujukan ke rumah sakit, meski kadang membayarnya juga tidak terlalu mahal di rumah sakit umum. Pendidikan di sekolah negeri tidak dipungut biaya, mulai TK sampai SMA, di universitas negeri membayar dengan biaya yang relatif murah.
Jadi, ketika ada warga yang sakit, ya mudah saja, ke dokter atau minta rujukan ke rumah sakit. Para tetangga tidak perlu menyumbang untuk membantu biaya pengobatannya. Jika ada yang meninggal, jarang sekali ada sumbangan berupa uang untuk anggota keluarga yang ditinggalkan karena setiap orang bekerja di Italia telah dipotong gajinya untuk menyiapkan dana pensiun mereka, atau dalam kasus meninggal, uangnya akan diberikan kepada ahli warisnya. Bagi keluarga yang ditinggalkan penopang ekonomi keluarga (ayah dan/atau ibu), maka istri atau suami atau anak yang mencari pekerjaan akan diprioritaskan dibandingkan pelamar kerja lainnya yang memiliki spesifikasi keahlian yang setara. Bahkan ada posisi pegawai negeri tertentu yang memang disediakan untuk para yatim-piatu sehingga mereka bisa mendukung ekonomi keluarga. Dengan adanya jaminan-jaminan ini, bisa jadi masyarakat di Italia berpikir bahwa bukanlah sebuah “keharusan” bagi mereka untuk membantu keluarga yang mengalami musibah.

Ketika Modal Sosial menjadi Beban Sosial
Tradisi memberikan hadiah ini, di satu sisi, bisa kita lihat sebagai sebuah modal sosial di mana ikatan kekerabatan atau pertemanan tetap terjaga dengan dimaknainya pemberian hadiah ini sebagai bentuk pernyataan simpati atau empati. Akan tetapi, tradisi ini berkembang bukan sekedar pernyataan simpati atau empati, namun seringkali demi gengsi semata. Orang akan merasa malu jika ia tidak memberikan hadiah kepada seseorang, sementara ia pernah mendapatkan hadiah dari orang tersebut. Di lain tempat, seseorang akan berusaha memberikan hadiah yang memiliki nilai nominal minimal setara, kalau bisa lebih, dari hadiah yang ia terima dari orang yang dimaksud. Parahnya, gejala ini juga melanda keluarga-keluarga dengan tingkat ekonomi yang kurang bagus. Bagaimana ia bisa memberikan hadiah dengan nilai nominal yang setara dengan keluarga yang tingkat ekonominya lebih tinggi? Agak tidak masuk akal memang, tapi demi gengsi, mungkin mereka rela mengambil tabungan mereka atau mengurangi konsumsi bulanan untuk dialihkan guna memberi hadiah pada seseorang.

Gejala sosial ini juga melanda beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Di sebuah desa di Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, dimana penduduknya mayoritas bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan harian berkisar antara Rp 10.000,- (perempuan) hingga Rp 12.000,- (laki-laki) (2003-2004). Ketika ada tetangga yang punya hajat pernikahan atau khitanan atau lainnya, maka yang ibu-ibu akan datang dengan membawa lima kilogram beras, dua kilogram gula, satu kilogram kopi, satu pak besar teh, dan masih ditambah sayuran berupa kentang, wortel, atau lainnya. Bisa jadi upah mereka satu minggu menjadi buruh akan habis untuk kunjungan ke satu hajat pernikahan. Bagaimana kalau yang punya hajat lebih dari satu tetangga, apa yang mereka makan untuk keseharian mereka? Kadangkala meminjam uang atau berhutang ke warung menjadi jawabannya.

Mengelola Tradisi Memberikan Hadiah menjadi Lebih Bermanfaat
Kebiasaan memberikan hadiah atau menyumbang ini pada gilirannya berdampak pada ekonomi sebuah keluarga. Bayangkan saja jika dalam satu bulan ada lebih dari peristiwa perayaan, berapa uang yang harus dikeluarkan di luar kebutuhan sehari-hari; atau bahan makanan yang disumbangkan yang berarti mengurangi jatah bulanan konsumsi keluarga.

Satu temuan menarik dalam sebuah perayaan pernikahan di Italia adalah lista nozze, sebuah daftar hadiah yang dibuat oleh si calon pengantin berisi barang-barang yang mereka butuhkan atau inginkan. Daftar ini kemudian ditinggalkan di toko-toko yang ditunjuk, yang kemudian si pemilik toko akan menambahkan harga di setiap item barang yang tertulis. Ketika mengantarkan undangan, si calon pengantian akan memberitahukan bahwa mereka meninggalkan lista nozze di toko yang mereka tunjuk, jika orang yang diundang ingin memberikan hadiah berupa barang. Lagi-lagi, cara ini dilakukan tanpa rasa sungkan karena yang diundang adalah kerabat atau teman dekat.

Berikutnya, orang yang ingin memberi hadiah barang akan datang ke toko yang ditunjuk. Ia melihat daftarnya dan memilih barang berdasarkan jumlah uang yang ingin mereka belanjakan untuk hadiah. Si pemberi hadiah hanya datang, memilih, membayar, dan menuliskan pesan (jika ingin), selanjutnya si pemilik toko yang akan mengurus hadiah hingga sampai ke pengantin; membungkusnya dengan indah dan mengantarkan ke rumah pengantin. Jika barang di dalam daftar sudah habis, si pemberi hadiah biasanya akan memberikan hadiah dalam bentuk uang atau menghubungi si calon pengantin untuk mengetahui barang lain yang ia butuhkan. Pembelian hadiah dalam lista nozze tersebut seringkali juga dilakukan secara patungan oleh beberapa orang, jika dirasa hargan sebuah barang terlalu tinggi untuk ditanggung oleh satu orang.

Pengelolaan hadiah ini, menurut saya, lebih efisien dan efektif bagi kedua belah pihak, baik si pemberi hadiah maupun si pengantin sebagai penerima. Hadiah yang diberikan juga jadi lebih bermanfaat dan menyenangkan bagi si pengantin yang akan membangun rumah tangga baru. Saya ingat dengan pernikahan kakak saya, sekitar tahun 1995, dia mendapatkan banyak sekali hadiah—hampir separuh kamar pengantin! Tapi hanya separuh dari itu yang dia pakai, selebihnya dia berikan kepada keluarga, teman atau tetangga dekat (dengan diam-diam tentu saja supaya tidak menyinggung si pemberi hadiah), karena dia tidak membutuhkannya atau tidak suka dengan warna atau model hadiahnya. Demi alasan itu pula, di Indonesia saat ini, orang cenderung memberi hadiah berupa uang, sehingga si pengantin nantinya bisa membelanjakan sendiri kebutuhannya.

Upaya mengelola pemberian hadiah atau sumbangan juga coba dilakukan oleh warga Dusun Krebet, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajang, Bantul, D.I. Yogyakarta. Ketika dilibatkan dalam Program Diskusi Komunitas IRE tahun 2001, warga memilih isu “memberikan hadiah atau sumbangan” ini untuk mereka diskusikan. Asalnya, beberapa warga merasa terbebani dengan tradisi menyumbang ini yang diwarnai dengan persaingan gengsi, sehingga besar hadiah atau sumbangan yang diberikan seringkali tidak masuk akal bagi warga yang rata-rata bekerja sebagai petani lahan kering atau pengrajin topeng batik.

Dalam serangkaian diskusi, warga mencoba memetakan jenis, manfaat, dan tujuan pemberian hadiah dan sumbangan. Menurut mereka, ada dua jenis, yang pertama disebut memberikan hadiah karena berkait dengan momen perayaan seperti pernikahan atau khitanan, sedangkan yang kedua disebut sumbangan bagi peristiwa yang sifatnya musibah. Mereka bersepakat untuk mengutamakan sumbangan bagi warga yang mengalami musibah, yang datangnya tiba-tiba, sehingga sumbangan yang diberikan bisa memberikan kemanfaatan lebih bagi si penerima. Sementara bagi momen perayaan, mereka mengasumsikan si penyelenggara acara tentunya sudah mempersiapkan momen tersebut dan tidak membutuhkan bantuan sebesar keluarga yang mendapatkan musibah. Dan, diminta warga tidak menggunjing atau membicarakan warga yang menyumbang sedikit dalam pesta-pesta perayaan, sehingga tidak menimbulkan beban sosial.

Terobosan-terobosan ini tentu saja tidak selalu sukses. Di Italia, beberapa orang menolak memberi hadiah berdasarkan lista nozze yang sudah dibuat. Akibatnya, kadangkala si pengantian akan datang kembali ke toko yang dimaksud untuk menukar hadiahnya karena mereka merasa kurang cocok. Di Krebet, bisa jadi rasa pakewuh masih akan melingkupi warga dan mendorong mereka untuk “harus” menyumbang berlebihan. Pelajarannya, paling tidak masyarakat berupaya untuk mendiskusikan masalahnya dan menemukan mekanisme baru untuk membangun masyarakat yang demokratis dan berkemanfaatan.