[catatan: tulisan ini pertama kali dipasang di blog lama pada 20 Oktober 2010]
Dari luar bangunan itu lebih menyerupai sebuah rumah tinggal, kecuali sebuah papan nama kecil “Casa Dei Bambini” (Rumah Anak-anak). Jika diamati lebih teliti, dengan mengintip sela-sela pagar yang ditutup dengan plastic hijau, memang terdapat mainan anak-anak di halaman yang tidak terlalu luas itu, hanya sekitar 3x8 meter, tidak terlalu lebar untuk sebuah sekolah untuk anak-anak. Memasuki pintu gerbang dan pintu utama, mulai terlihat bahwa ini sebuah sekolah, melalui foto-foto beberapa siswa yang dipajang di dinding sepanjang tangga naik dan beberapa kereta bayi yang diparkir di bawah tangga.
Ya, ini sekolah baru Kaila. Namanya Centro Educativo Maria Montessori yang beralamat di Via Tito Livio, 7A 00136 Roma. Alasan pertama kami mendatangi sekolah ini—untuk melihat-lihat—karena lokasinya yang dekat dengan rumah, tapi keputusan untuk memilih sekolah ini dibandingkan sekolah lain yang juga dekat adalah metodenya. Aku sendiri kurang mengenal metode Montessori yang ditawarkan sekolah ini, meski Luca sudah mengenalnya dengan baik. Aku langsung melakukan studi awal mengenai metode Montessori dan merasa cocok hampir 100 persen dengan pola pendidikannya, sejalan dengan yang kami terapkan ke Kaila selama ini.
Metode Montessori, namanya diambil dari nama pengembangnya, yaitu Maria Montessori. Dasar pemikiran utamanya adalah proses pendidikan yang mengacu pada perkembangan individu si anak, bukan pada target kurikulum yang harus dicapai dalam tahun akademik seperti yang kita kenal selama ini. Anak ditemani untuk mengenal dan mendalami kesukaan, kecenderungan, dan potensi lainnya, bukannya diarahkan pada aktivitas tertentu yang bisa jadi tidak disukai si anak. [Penjelasan tentang teori dan pendekatan metode Montessori bisa dicari lebih jauh di internet, salah satu situs yang lumayan membantuku untuk memahami metode ini aku adalah www.michaelolaf.net. Di situ bisa ditemukan sejarah Maria Motessori dan metode ini sendiri, filosofi dan praktek metode Montessori yang dibedakan berdasarkan kelompok usia. Singgah deh di sana! ;)]
Hari-hari Pengenalan
Kembali ke sekolah Kaila. Ini adalah sekolah Kaila yang ketiga, setelah yang pertama (satu bulan) di Asilo Nido Susteran di Larino dan yang kedua (enam bulan) di Creche, asilo-nido internal Universitas Institut Eropa di Florence. Di dua sekolah yang pertama, di hari-hari awal, pengenalan dilakukan dengan aku (baca: orang tua) harus meninggalkan Kaila (baca: anak) sendirian di sekolah secara bertahap; mulai dari 15 menit, ½ jam, 1 jam, dan seterusnya, sampai anak tidak lagi menangis ketika kita tinggalkan. Dengan jalan ini, Kaila menangis setiap kali kami tinggal dan jemput selama dua minggu lebih di sekolahnya yang pertama di Larino. Bisa jadi karena itu pengalaman dia yang pertama di usianya yang 23 bulan waktu itu. Di sekolah kedua, Kaila selalu menangis ketika kami tinggal dan jemput selama lima hari, meski tak selama dan separah di sekolah yang pertama.
Di sekolah ketiga ini, mereka menggunakan pendekatan yang lain. Para orang tua, salah satu tentunya, diminta untuk tinggal di dalam kelas, tidak meninggalkan si anak secara bertahap seperti di dua sekolah yang terdahulu. Aku diberikan tempat di sebuah sudut, diberikan setumpuk buku dan jurnal, sementara Kaila dibujuk oleh satu guru untuk bermain dengannya. Seorang guru senior berpesan padaku, “Tolong buat dirimu sibuk,” Ya, maka aku pun berpura-pura membaca atau menulis ketika Kaila menghampiri dan memeluk lenganku. Aku dan si guru saling menimpali memberikan penjelasan kepada Kaila bahwa aku tidak ke mana-mana, aku duduk di situ, menungguinya sambil membaca atau menulis. Kaila mengangguk dan ia pergi lagi bersama si guru untuk melakukan aktivitas lainnya. Setelah dua-tiga kali mendatangi dan memeluk atau mencubit lenganku, lama-lama Kaila hanya memandangiku dari jauh, memastikan bahwa aku masih tetap di kursiku. Usai jam makanan ringan, anak-anak dibawa ke halaman untuk bermain dan aku bilang pada Kaila bahwa aku harus ke supermarket dan akan kembali satu jam lagi untuk menjemputnya. Dia ragu-ragu, tapi kemudian dia mengangguk dan lari ke teman-temannya yang sudah mulai berebut main papan luncur.
Hari kedua, masih dengan pendekatan yang sama, tapi Kaila tidak lagi sering mendatangiku, hanya memandangiku dari jauh. Dia juga mulai percaya diri untuk berkeliling, menyentuh, mengamati, dan mencoba mainan yang ada. Mainan yang berbau air yang paling menarik untuk Kaila; tempat mencuci baju, mencuci tangan, atau cat air. Setiap ada anak yang ingin bermain di permainan berbau air ini, salah satu guru akan membantu mereka untuk mengenakan celemek dan lengan tahan air. Pada mereka ditunjukkan cara mengambil air di kamar mandi dan membawanya ke tempat permainan. Di akhir permainan, pada mereka juga ditunjukkan bagaimana membersihkan dan menempatkannya ke posisi semula. Menyenangkan sekali melihatnya, apalagi anak-anak yang melakukannya!
Guru dengan Stok Seribu Kesabaran dan “Tanpa Malu”
Yang juga lumaya menakjubkan buatku, tidak ada teriakan atau hardikan dari guru, bahkan ketika ada anak yang menjatuhkan air, pasir atau butiran kacang yang mereka mainkan. Jika ada sesuatu yang jatuh, yang mereka lakukan pertama adalah memastikan si anak tidak berjalan di atasnya yang bisa membuat mereka jatuh. Kemudian si guru akan meminta si anak untuk mengambil alat yang cocok untuk membersihkannya, dengan bantuan si guru tentunya. Jika si anak kotor, maka ia atau guru yang lain akan membawanya ke kamar mandi untuk belajar membersihkan diri. Jika pakaiannya basah, maka akan diajarkan kepada mereka untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sudah disiapkan, yang sudah ditinggalkan oleh orang tua di sekolah dalam sebuah tas kecil.
Para guru di sekolah ini masih muda, mungkin sekitar 20 tahunan usianya. Biasanya anak-anak muda identik dengan emosi dan amarah, tapi di sini mereka demikian sabar, tapi tegas, dalam menemani anak-anak bermain dan belajar. Mereka juga lihai menirukan banyak hal: binatang, kendaraan, bunga, dan melakukan banyak macam aksi yang menarik untuk anak-anak. Mereka juga dituntut untuk bisa menyanyi, tak harus indah layaknya penyanyi profesional, tapi bisa dan pintar berimprovisasi untuk memilih atau bahkan membuat sebuah lagu yang sesuai dengan situasi yang ada atau aktivitas yang sedang dilakukan.
Melihat mereka mengingatkanku pada seorang teman SMA di Lawang, yang sekarang menjadi guru di sebuah TK Islam di kampong halamannya, Singosari. Mengenalnya sebagai sosok yang aktif, ceria dan penuh ide, aku membayangkan dia menjadi guru yang asyik bagi murid-muridnya J
Dendangkan aktivitasmu
Ah, satu hal juga, di sekolah ini penuh dengan musik dan lagu. Selama permainan individual, di mana anak-anak akan memilih dan bermain sendiri-sendiri atau bersama 1-2 teman, si guru akan menyelipkan nyanyian-nyanyian yang cocok dengan permainannya. Ketika Kaila bermain merangkai kalung, misalnya, si guru menyanyikan sebuah lagu anak yang bertemakan kalung.
“Anak berbaju kuning ini bernama Kaila, la la la la la! Cowok kecil ganteng berbaju putih ini adalah Gabrielle, le le le! Putri cantik berbando merah ini namanya Elena, na na na na!”
Ketika cuplikan lagu itu terdengar, itu pertanda bahwa aktivitas bersama di sekolah Kaila dimulai. Anak-anak diajak duduk dengan membentuk lingkaran. Seorang guru berjalan mengitari lingkaran, menyanyikan lagu perkenalan di atas sambil menunjuk, memeluk, memegang kepala atau pundak anak yang dimaksud. Lagunya dinyanyikan tidak dengan intonasi yang indah, tapi menarik dan mudah diingat oleh anak-anak. Setelah tiga hari mendengarkannya, Kaila bisa menirukannya di rumah.
Musik juga akan terdengar selama jam makanan ringan. Anak-anak duduk di kursi makan menunggu makanan ringannya disajikan oleh satu-dua teman yang bersedia membantu guru untuk membawakan ke teman-temannya. Sementara itu, satu-dua guru lainnya bermain musik. Kadang hanya dipasangkan musik “jadi”, namun tak jarang mereka memainkan alat musik yang sengaja digantungkan di dinding ruang makan. Melihat para guru memainkan alat musik, biasanya beberapa anak meminta mencoba memainkan dan mereka dibiarkan memainkan alat musiknya setelah mereka menyelesaikan makanan ringannya.
Kamu yang memilih permainan atau aktivitasnya, aku akan menemanimu
Di luar aktivitas kelompok dan bermain di halaman, setiap anak dibebaskan memilih permainan atau aktivitas yang mereka inginkan. Itu pun, ketika si anak tidak mau duduk bersama yang lain di dalam lingkaran kelompok atau di halaman, tidak ada paksaan untuk melakukannya. Andrea, misalnya, yang pertama kali masuk di hari yang sama dengan Kaila, ketika anak-anak yang lain duduk dalam lingkaran kelompok, ia hanya duduk sebentar dan kemudian beranjak ke ruangan lain. Ia mengamati mainan-mainan yang lain sambil sesekali melongok teman-temannya yang sedang beraktivitas bersama di lingkaran kelompok. Seorang guru menemaninya. Atau Gabrielle yang memilih tetap tinggal di dalam untuk mencuci serbet, ketika yang lain bermain di halaman.
Hari Baru, Cerita dan Lagu Baru
Hanya dua hari dimana aku benar-benar mengamati sekolah ini, tapi aku merasa cukup yakin dan senang bisa menemukan sekolah ini. Di hari-hari berikutnya pun Kaila hampir selalu merasa ringan dan senang untuk pergi ke sana. Seingatku, hampir sebulan Kaila di sekolah ini, hanya 2-3 kali dia menawar untuk tidak ke sekolah, salah satunya ketika Kakeknya datang mengunjungi kami. Biasanya kami mengobrol sedikit mengapa dia tidak mau ke sekolah. Beberapa kali dia menjawab karena ingin menonton film ini dan itu, yang kemudian aku mengatakan, “Film bisa ditonton nanti, tapi sekolah hanya ada di pagi hari,” atau, “Kaila hanya akan sendirian menonton film di rumah, Bubu juga tidak bisa menemani Kaila karena harus belanja dan sedikit bekerja. Di sekolah akan lebih menyenangkan karena ada guru-guru dan teman-teman. Kau ingin main apa hari ini?” Dengan pertanyaan pancingan ini biasanya dia akan menyebutkan apa yang ingin dia lakukan: mencuci serbet, menyapu ruang makan, atau menempel kertas gambar. Dan dia akan balik bertanya padaku, “Jajanan apa yang kau bawakan hari ini untuk makanan ringanku, Bubu?” Aha, ini cara Kaila mengatakan, “Aku akan ke sekolah!”
Setiap menjemput Kaila, pertanyaan standarku adalah, “Kaila senang di sekolah hari ini?” Itu yang menurutku penting, bahwa Kaila senang atau menikmati waktunya di sekolah. Mungkin untuk saat ini bahkan lebih penting dari pertanyaan, “Kaila tadi belajar apa di sekolah?” Karena bagaimanapun dari situasi yang menyenangkan dia pasti akan belajar sesuatu, meski tidak ditujukan secara khusus untuk belajar. Sebaliknya, ketika si anak ditargetkan untuk mempelajari sesuatu, maka sebenarnya yang dia dapat hanyalah nilai setoran, bukan pembelajaran yang sebenarnya.
Setiap dalam perjalanan pulang itu pula, Kaila menyerocos menceritakan apa yang dia lakukan hari itu, apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan. Seperti suatu hari sambil terengah-engah menaiki tangga pintas menuju rumah kami, Kaila bercerita:
“Hari ini kami ke hutan. [*Aku sempat bingung, ke hutan mana? Kalau ke hutan beneran, pastinya akan ada pemberitahuan ke orangtua bahwa hari itu ada acara keluar sekolah] Semua anak ikut. [*Masih diliputi kebingungan, aku mencoba merespon ceritanya dengan bertanya, “Siapa yang menemani ke hutan?”] Ditemani Maestra (Guru) Alessandra. Kami menanam pohon, pohon kursi. Kaila jadi harimau. Haum! [*Ah, itu dia. Mereka bermain dengan berimajinasi jalan-jalan ke hutan, dengan mengibaratkan kursi-kursi sebagai pepohonan dan anak-anak menjadi hewan hutan]”
Lain hari, dia mendendangkan lagu baru sepanjang jalan atau ketika bermain dengan boneka dan buku-bukunya di rumah. Atau dia akan menyebutkan nama teman baiknya, atau beberapa teman yang dia tidak temui hari itu. Yang juga lumayan sering, dia mengulang-ulang gerakan-gerakan baru yang dia pelajari hari itu dan akan berhenti jika aku mengamatinya dengan serius. Maka kadangkala aku pura-pura tidak melihat dan membiarkannya menikmati permainan barunya. Ketika dia mulai percaya diri dengan hal-hal barunya, maka aku akan bilang kalau aku suka dan bertanya apakah itu tadi.
Sungguh kami tidak menyesal mengirimkan Kaila ke sekolah ini, meski kami harus membayar cukup mahal dan ini sempat dipertanyakan seorang teman yang berpikir mungkin lebih baik tidak mengirimkan anak ke sekolah jika harus membayar sebanyak itu. Kalaupun kami punya pilihan untuk mengirimkannya ke sekolah negeri, maka kami akan melakukannya. Tapi pilihannya saat itu adalah sekolah swasta atau tidak sama sekali, karena di bulan September sekolah negeri sudah tutup pendaftaran dan, khususnya di kota besar, kuota siswa sudah penuh, serta Kaila yang usianya belum genap tiga tahun tidak akan diterima di sekolah negeri. Dan mengingat Kaila yang anak gaul, maka akan lebih membawa manfaat untuknya jika dia bersosialisasi dibandingkan hanya tinggal di rumah denganku, yang bisa saja akan lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi ketika aku harus melakukan sesuatu yang lain. Lebih baik dia menjadi pemain film di dunia anak yang nyata, daripada sekedar menjadi penonton :)