Upaya memilih sekolahpun tak main-main. Sengaja kami mendatangi open house beberapa sekolah negeri untuk melihat fasilitas dan metode yang mereka kembangkan. Pilihan kami jatuhkan pada Istituto Comprensivo "Parco della Vittoria" Scuola Primaria Giacomo Leopardi yang terletak di dalam kompleks Taman Kota "Parco della Vittoria" yang letaknya sekitar dua kilometer dari rumah. Sekolah negeri ini termasuk pengikut metode Montessori, meski tidak sepenuhnya karena diadaptasikan dengan kurikulum nasional, dan banyak memiliki kegiatan alternatif yang sangat membantu proses pendidikan.
Jam Pelajaran Sekolah
Sekolah ini menerapkan jam sekolah penuh waktu, dari jam 8.15 pagi hingga 16.20. Tapi jangan membayangkan anak-anak akan duduk seharian di kursi mereka sepanjang waktu itu. Di kelas Si Sulung, misalnya, pelajaran pagi dimulai jam 8.30-10.30, istirahat pagi (anak-anak mendapatkan kudapan yang disediakan sekolah), lalu mereka bermain di luar kelas di bawah pantauan seorang guru. Anak-anak di sekolah ini beruntung karena memiliki hutan pinus dalam kompleks sekolah, dimana mereka masih bisa menemukan dan mengeksplorasi perilaku binatang dan tumbuhan di setiap musim dan pergantiannya. Bahkan, seringkali, pelajaran ilmu alam dimulai dari temuan mereka di hutan pinus ini. Seperti ketika seorang teman Si Sulung menemukan sebuah ulat dan mereka memutuskan untuk memeliharanya, menempatkannya dalam sebuah kotak dan anak-anak bergiliran untuk memberinya makan dan membersihkan kotaknya dan bersama-sama membuat catatan pertumbuhan dan metamorfosis Si Ulat Kecil Kuning, demikian mereka menamainya. Atau, yang terbaru, mereka berteman dengan Tito, seekor tupai yang acapkali mengintip mereka yang sedang bermain di hutan pinus.
Acara bermain dan belajar di luar ruang kadang digantikan dengan acara menggambar atau membuat pekerjaan tangan di dalam kelas ketika cuaca kurang bersahabata (hujan deras atau salju). Kedatangan seorang guru khusus untuk paper craft, memberikan inspirasi bagi anak-anak untuk membawa kertas bekas dari rumah, menyimpannya di kelas dan mengolahnya pada jam keterampilan atau di jam istirahat dimana mereka tidak bisa keluar kelas.
Makan siang dilakukan bersama di sebuah aula besar, bersama beberapa kelas lainnya secara bergiliran. Usai makan siang, mereka diberikan lima belas menit untuk bermain lagi, membiarkan perut mereka mencerna makanan, sebelum akhirnya mereka kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran dalam keadaan (mayoritas) duduk.
Metode Pembelajaran
Aku masih ingat minggu pertama Si Sulung masuk SD. Setiap pulang sekolah aku bertanya pada Si Sulung, "Bagaimana hari ini? Kamu senang?", baru kemudian bertanya, "Kamu belajar apa hari ini?" Si Sulung pun menjawab, "Gak belajar apa-apa tuh! Kami hanya bermain!"
"Hari ini kami diminta mengambil kertas kosong berwarna-warni, yang mendapatkan kertas dengan warna yang sama, harus duduk di meja yang sama. Setelah itu, kami diberikan selembar kertas kosong dan diminta menggambar apapun yang muncul di benak kami pertama kali hari ini." (Cerita hari pertama)
"Tadi kami dibagi dalam beberapa kelompok, lalu masing-masing diminta menyebutkan nama teman di satu kelompok. Lalu aku diberi kertas berwarna merah dan diminta mencari teman lain yang memiliki kertas warna merah juga. Kami jadi kelompok baru, lalu diminta lagi menyebutkan nama teman di kelompok merah, satu per satu." (Cerita hari kedua)
Di akhir minggu pertama, aku dan suami tidak sabar melihat buku tulisnya, apa yang ia pelajari minggu itu. Di hari Jumat, dia pulang dengan sebuah buku tulis dengan tiga halaman (saja) yang terisi: satu halaman berisi gambar dan tulisan, satu halaman mewarnai dan satu halaman berisi tempelan selebaran dari sekolah untuk orang tua.
Di hari-hari berikutnya, hingga dua bulan pertama, metode gunting-tempel, mewarnai, menggambar, bermain peran dan metode bermain lainnya banyak dipakai untuk membantu anak-anak mengenal huruf dan angka. Prosesnya begitu mengalir, mengikuti irama perkembangan sebagian besar anak-anak di kelas yang bersangkutan. Jika ada satu-dua anak yang lebih cepat dari yang lain, maka ia sedikit direm tanpa mengekang hasrat ingin tahunya yang bisa jadi lebih besar dari yang lain. Sebaliknya, kalau ada satu-dua anak yang butuh dukungan, maka para guru, orang tua dan teman-temannya akan mendorongnya bersama-sama.
Kelas 1 SD merupakan periode penting, sebuah periode transisi dari TK yang banyak bermain (di Italia) menuju SD yang membutuhkan lebih banyak konsentrasi dan 'bekerja' (istilah Si Sulung). Karenanya, guru-guru di SD ini bersepakat untuk tidak memberikan penilaian berbasis angka pada pekerjaan para siswa, melainkan cara penilaian yang lebih bersimpati untuk mendorong anak-anak merasa lebih nyaman belajar di SD. Memang, di buku tulis Si Sulung tak kami temukan angka-angka penilaian, sebagai gantinya terdapat banyak senyum atau stiker lucu-lucu sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras mereka dalam belajar.
Kami lega, kami merasa telah memilih sekolah yang tepat untuk Si Sulung. Sekolah yang tidak melulu mengejar target kurikulum, namun lebih pada esensi pendidikan itu sendiri: proses pembelajaran.